Menjadi alasan mereka mendukung Asosiasi Penambang menolak salah satu poin Raperda RZWP3K yang menghapus zonasi tambang di pesisir pantai
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Pangkalpinang, Jubi – Nelayan Kabupaten Bangka Barat dan Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi penambang pasir timah di pesisir pantai setempat saat cuaca sedang buruk. Profesi sampingan itu menjadi alasan mereka mendukung Asosiasi Penambang menolak salah satu poin Raperda RZWP3K yang menghapus zonasi tambang di pesisir pantai di daerah itu.
“Kami menolak penghapusan zona penghapusan tambang pesisir pantai, karena penambangan bijih timah masih menjadi mata pencarian utama masyarakat,” kata perwakilan nelayan Bangka Barat, Muhamad Zainuri, di DPRD Provinsi Kepulauan Babel, Selasa, (27/8/2019).
Baca juga : Pulau ini terancam rusak digerogoti penambang pasir
Penambangan emas Koroway seharusnya dikelola orang Koroway
Penambang timah liar rambah lahan pemerintah
Zainuri yang mengaku datang datang bersama puluhan nelayan Bangka Barat ke DPRD Provinsi Kepulauan Babel untuk memastikan apakah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) sudah disahkan atau belum.
“Sebanyak 70 persen masyarakat Bangka Barat berprofesi penambang bijih timah, sementara sisanya nelayan tradisional,” ujar Zainuri menambahkan.
Menurut dia, nelayan menambang bijih timah saat cuaca di perairan memburuk yang membahayakan keselamatan kapal nelayan tersebut. Penambangan dilakukan nelayan saat musim angin barat dan menjelang musim angin timur. Saat musin itu mereka tak melaut dan memanfaatkan menambang bijih timah dengan mengorek tailing di pesisir pantai.
Perwakilan Asosiasi Penambang Daerah, Ali Hartono mengatakan informasi mengenai Raperda RZWP3K masih simpang siur, hal itu menjadi alasan ia bersama penambang laindatang ke DPRD untuk dengar pendapat dari dewan.
“Informasi yang kami dapat zona tambang di laut akan dibersihkan dari aktifitas tambang, sedangkan masyarakat di Belo Laut Bangka Barat, masih sangat tinggi ketergantungan terhadap timah,” kata Ali Hartono. (*)
Editor : Edi Faisol