Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Ada 59 negara baru lahir pada 1919 . Meningkat jadi 69 negara pada 1950, dan 191 negara setelah era Perang Dingin serta runtuhnya Soviet.
Sebuah negara didefinisikan sebagai alat penguasa wilayah. Dengan konsep kedaulatan tertentu. Perangkat negara kemudian terdiri dari eksekutif, birokrasi, pengadilan dan institusi lainnya. Tidak lupa ada pajak negara yang dikenai kepada setiap warganya untuk mengoperasikan aparatur negara.
Selama ribuan tahun, kebangkitan dan kejatuhan sebuah negara-bangsa bukan sesuatu hal aneh, jika bukan suatu keniscayaan.
Robert I. Rotberg dalam bukunya berjudul Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators (2011) menyebutkan, kini berbagai negara muncul dengan ragam variasi yang lebih banyak dibandingkan setengah abad yang lalu.
Pada tahun 1914, setelah runtuhnya imperium Turki Usmani dan Austro-Hungaria, ada 50 pemerintahan nasional yang diakui. Setelah banyak lepas dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme, sebuah negara-bangsa bisa berkembang menjadi kekuatan kolonialis baru.
Amerika Serikat salah satunya. Lepas dari Inggris pada 1776, menjadi kolonialis baru setelah melewati ancaman perpecahan pada Perang Sipil 1861-1865. Indonesia juga sama. Menyatakan merdeka dari Belanda pada 1945, mencaplok Timor Leste pada 1975 dan akhirnya kehilangan koloni bekas Portugis tersebut pada referendum 1999.
Perang sipil yang mewarnai kegagalan negara umumnya berakar dari permusuhan berbasis etnis, agama, bahasa, dan faktor-faktor komunal lainnya. Terlebih ketika diperkuat dengan penemuan sumber kekayaan alam baru yang kemudian diperebutkan seperti endapan minyak bumi, ladang berlian, dan mineral lainnya.
Bila merujuk pada jurnal David S. Siroky dan John Cuffe berjudul Lost Autonomy, Nationalism and Separatism, menunjukkan pemberian status otonomi kepada suatu daerah yang bergejolak bisa mendorong tuntutan pemisahan diri yang lebih besar atau sebaliknya, meredam separatisme.
Faktor lain seperti ekonomi turut menentukan arah gerak bandul. Catalunya atau Catalonia, daerah otonomi di Spanyol, telah mendapat otonomi sejak 1970an setelah puluhan tahun berada di bawah rezim Fasis Franco. Namun, kemandirian ekonomi yang beriringan dengan eksploitasi oleh pemerintah pusat menyebabkan tuntutan kemerdekaan Catalunya kembali mengeras.
Negara (negara) di Indonesia
Di Indonesia sendiri, usaha-usaha untuk memisahkan diri dari Indonesia bukanlah hal baru.
Di era Sukarno, separatisme lahir dari gerakan-gerakan seperti Republik Maluku Selatan, PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi.
Menurut Khairul Ikhwan Damanik dkk. dalam buku Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia, asal-muasal munculnya PRRI dan Permesta berawal dari ketidakpuasan para pemimpin militer di daerah yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Mereka menuntut otonomi wilayah yang lebih luas tetapi tidak dihiraukan.
Memasuki era Orde Baru, separatisme muncul di Aceh yang direpresentasikan lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua yang diwakili oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta gerakan-gerakan pembebasan sejenis.
Yang tersisa dan paling menonjol hingga kini adalah gerakan kemerdekaan di Papua. Akar aspirasi kemerdekaan Papua berasal dari deklarasi kemerdekaan orang Papua pada 1961, lengkap dengan bendera Bintang Kejora dan lagu kebangsaan.
Beberapa tahun setelah referendum, kurang lebih 30.000 rakyat Papua dibunuh oleh militer Indonesia. Mendapat perlakuan yang brutal dan sederet pelanggaran HAM nyatanya tidak pernah memadamkan semangat dan keinginan Papua untuk merdeka.
Dana otonomi khusus (otsus) dan istimewa dari pemerintah pusat dipandang tidak efektif mengikis kesenjangan sosial di tiga daerah yakni Provinsi Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Papua/Papua Barat.
Ketidakefektifan dana otsus dan istimewa mengatasi ketimpangan sosial muncul karena beragam alasan. Salah satunya, pendanaan khusus itu kerap hanya digunakan segelintir elit lokal untuk kepentingan golongannya.
"Kentalnya nuansa politis dan intervensi dari para penguasa lokal dan politisi setempat, yang telah mencederai upaya transparansi dalam proses penganggaran," kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nyimas Letty Aziz.
Pada pengelolaan anggaran di Papua/Papua Barat, Letty menilai kentalnya kepentingan elit lokal. Menurutnya, dana otsus lebih banyak dinikmati segelintir elit dan birokrasi sehingga kurang terdistribusi ke masyarakat.
"Akibatnya, orang asli Papua tak banyak mendapat manfaat dari dana yang diberikan," katanya.(*)
Sumber: Tirto.id/CNN Indonesia