Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyatakan negara belum mampu melindungi perempuan korban kekerasan di Papua.

Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang dimulai hari ini, 25 November, LBH Papua minta negara segera mengambil langkah konkret untuk melindungi perempuan di wilayah konflik bersenjata atau daerah operasi militer (DOM)) dan aparat penegak hukum wajib memiliki keberpihakan terhadap perempuan korban kekerasan di Papua.

“Pada kesempatan memperingati Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan perlu dilihat kembali komitmen negara melalui pemerintah dalam rangka melindungi perempuan dari tindakan kekerasan,” kata Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, sebagaimana tertuang dalam rilis pers yang diterima Jubi di Jayapura, Rabu (25/11/2020).

Lebih jauh Gobai memaparkkan secara hukum, negara melalui pemerintah telah merumuskan dan memberlakukan beberapa ketentuan hukum, dimulai dari Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang Undang Nomor 39 Tentang HAM, UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

“Sekalipun telah ada ketentuan hukum tersebut, namun pada prakteknya kekerasan terhadap perempuan terus terjadi di depan mata. Berdasarkan kasus-kasus yang ditangani, tindakan kekerasan terhadap perempuan terjadi baik di ruang publik maupun privat, dengan pelaku yang bervariasi, baik oknum anggota pemerintah (ASN, legislatif, dan alat kemanan negara-TNI-POLRI), maupun sesama masyarakat sipil,” papar Gobai.

Sekalipun fakta kekerasan terhadap perempuan demikian, lanjutnya, namun sampai saat ini hukum sangat lemah dan bahkan tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi perempuan korban kekerasan.

“Kenyataan ini terkesan menunjukkan Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat (3), UUD 1945) yang tidak mampu memberikan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan,” tandasnya.

Dari hasil pantauan LBH Papua, kata Gobai, ketidakmampuan hukum memberikan keadilan bagi perempuan korban kekerasan terjadi akibat dua hal yaitu : pertama, kekosongan dasar hukum yang melindungi perempuan, dan kedua, ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam penegakan hukum.

Fakta ketidakmampun hukum memberikan keadilan bagi perempuan korban kekerasan akibat kekosongan hukum sebagaimana dialami oleh perempuan di daerah konflik bersenjata atau daerah operasi militer seperti dalam kasus pengungsian dan penghilangan hak hidup di Kabupaten Nduga (baca : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49233527 dan https://www.suara.com/news/2019/10/13/154702/lima-5-mayat-ditemukan-dalam-1-lubang-di-nduga-papua-tni-bantah-menembak?page=all) serta kasus pengungsian di Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Mimika yang jelas-jelas menunjukan fakta kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk kekerasan fisik dan kekerasan psikis (Baca : https://suarapapua.com/2020/03/12/lbh-papua-desak-negara-tangani-40-819-pengungsi/).

“Selain itu, kekerasan fisik dan penelantaran keluarga dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan yang hidup dalam keluarga yang menikah secara adat (hanya membayar maskawin) yang tidak dapat ditangani oleh pihak kepolisian akibat tidak adanya akta perkawinan yang diterbitkan oleh Dinas Catatan Sipil di seluruh kabupaten/kota dalam Provinsi Papua maupun Papua Barat,” katanya.

Fakta ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam penegakan hukum sebagaimana terjadi dalam kasus penegakan hukum terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum terkadang ambisi penegakan hukum mengorbankan hak anak yang wajib mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup oleh orangtua.

Hal itu nyata terjadi ketika penolakan penangguhan penahan atas kasus perempuan berhadapan dengan hukum atas pertimbangan pemenuhan hak anak yang diberikan kepada petugas kepolisian pada tingkat penyelidikan dan penyidikan petugas kejaksaan pada tahapan pra penuntutan dan hakim ketika tahapan penuntutan di pengadilan negeri.

Selain itu melalui penerapan restorative justice (penyelesaian di luar hukum/penyelesaian secara kekeluargaan) dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang dipraktekan oleh pihak kepolisian di wilayah hukum Polda Papua dan Papua Barat, yang tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan.

16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Setiap tanggal 25 November tiap tahunnya dunia memperingati Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva, dan Maria Teresa) akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan pengusasa diktator Republik Dominika.

Kondisi kekerasan yang dialami oleh keluarga Mirabal bersaudara pada tahun 1960-an secara riil dialami juga oleh perempuan Papua, sebagaimana terlihat dalam kasus Yosepha Alomang dan Yuliana Magal, yang ditangkap dan dibawa ke pos militer dan kemudian dipindahkan ke pos polisi.

Di sana, mereka disekap dalam kontainer yang digunakan aparat keamanan sebagai kakus. Bertahan hidup dalam genangan tinja selama satu bulan lamanya. Selama masa penahanan, mereka mengalami penyiksaan yang luar biasa pada tahun 1994. (https://suarapapua.com/2020/03/21/catatan-kelam-perempuan-amungme-di-wilayah-freeport-hidup-dalam-kekerasan-6/)

Kasus Biak Berdarah, dimana banyak perempuan diperkosa, perempuan-perempuan hamil dibunuh, perutnya disobek, bahkan bayinya dikeluarkan yang terjadi di tahun 1998. (Baca : 22 (Dua puluh dua) Tahun Tragedi Biak Berdarah : https://www.komnasham.go.id)

Berikut, lima poin seruan Lembaga Bantuan Hukum Papua kepada Pemerintah RI:

  1. Presiden Republik Indonesia dan Ketua DRP RI segera membentuk peraturan perundang-undangan tentang perlindungan perempuan di daerah konflik bersenjata atau daerah operasi militer sesuai dengan prinsip Undang-Undang No. 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949;
  2. Komnas HAM RI dan Komnas Perempuan segera membentuk tim investigasi dan turun melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran hak perempuan di daerah konflik bersenjata atau daerah operasi militer, baik di Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, maupun Kabupaten Mimika;
  3. Gubernur dan Ketua DPRP Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat segera membentuk Peraturan Daerah Tentang Penerbitan Akta Perkawinan Atas Perkawinan Secara Adat Papua;
  4. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak provinsi dan kabupaten/kota se-Provinsi Papua dan Propinsi Papua Barat segera membentuk kebijakan bersama dengan polda, kejati, pengadilan tinggi tentang Kewajiban Penanguhan Penahanan Terhadap Perempuan Dalam Kasus Perempuan Berhadapan Dengan Hukum;
  5. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak propinsi dan kabupaten/kota se-Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat segera membentuk kebijakan bersama dengan Polda Papua dan Papua Barat tentang larangan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan mengunakan mekanisme restorative justice (penyelesaian diluar hukum/penyelesaian secara kekeluargaan). (*)

Editor: Dewi Wulandari

Leave a Reply