Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Jeffrey Wall
Keputusan langka Pemerintah Papua Nugini (PNG) untuk dengan efektif melakukan nasionalisasi atas tambang emas Porgera, dapat membuka pintu bagi Republik Rakyat Tiongkok untuk meningkatkan desakannya yang agresif, guna mengakuisisi perusahaan tambang di negara itu.
Tambang emas Porgera berada di Provinsi Enga, di daerah pegunungan tinggi utara PNG, adalah wilayah yang terkenal karena perang suku, penambangan ilegal, dan pelanggaran hukum lain secara umum. Saham perusahaan itu dimiliki oleh Porgera Joint Venture — kemitraan antara Barrick Gold dan Zijin Mining Group dari Tiongkok — yang terdaftar di bursa saham Shanghai dan Hong Kong. Tambang ini dioperasikan oleh Barrick, yang kantor pusatnya berada di Kanada, dan merupakan produsen emas terbesar di dunia.
Porgera Joint Venture telah berupaya memperpanjang izin operasi tambang khusus untuk 20 tahun. Namun Jumat malam lalu (24/4/2020), Perdana Menteri James Marape mengumumkan bahwa izin Barrick tidak akan diperpanjang, dan mereka akan memulai ‘negosiasi’ dengan Porgera Joint Venture dengan tujuan agar tambang itu dialihkan ke pemerintah.
Dipimpin oleh Barrick, konsorsium itu dengan tegas menolak melakukan transfer dan mengancam akan mengambil tindakan hukum untuk mendapatkan perpanjangan izin itu.
Keputusan pemerintah PNG setelah ini akan semakin melemahkan kepercayaan investor yang sudah menipis oleh ekonomi yang dilanda krisis, situasi fiskal yang kian memburuk, dan kegagalan-kegagalan sebelumnya dalam mencapai kesepakatan dengan proyek besar lainnya, seperti LNG Papua dan proyek tembaga dan emas Wafi-Golpu. Kedua proyek itu masih dalam tahap negosiasi ketika Marape terpilih sebagai perdana menteri pada Mei 2019.
Ini juga akan membuat donor internasional negara itu cemas, terutama Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan Australia, yang telah mendesak pemerintah PNG untuk fokus pada investasi besar pada sektor sumber daya mineral agar dapat memulai tugasnya untuk memastikan masa depan ekonomi dan fiskal bangsa itu.
Tidak ada yang ragu bahwa keputusan tersebut didorong oleh kebijakan ‘nasionalisme ekonomi’ Marape. Ia sering membahas mengambil kembali alih PNG, meskipun masih belum jelas apa maknanya.
Keputusan untuk menasionalisasikan tambang Porgera juga didorong oleh tekanan publik atas ia dan pemerintahnya. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok-kelompok lingkungan dan anti-tambang di dalam dan luar negeri terus menerus melancarkan kampanye media sosial dengan sasaran Porgera dan Barrick, akibat dampak lingkungan hidup dan sosial dari tambang itu serta klaim pendekatan menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi dan staf keamanan perusahaan itu.
Marape menyebutkan persoalan-persoalan itu ketika menerangkan penolakan pemerintah untuk memperpanjang izin Porgera.
Media sosial adalah senjata yang kuat di PNG. Media sosial membantu menggulingkan perdana menteri terakhir, Peter O’Neill, dan itu telah mulai menjerembabkan Marape, meskipun perlahan-lahan, akibat korupsi politik dan isu-isu pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam dan mineral. Marape telah dikritik karena lambat dalam bertindak dan memenuhi janji-janji yang ia buat sebelum dan setelah ia terpilih sebagai perdana menteri.
Selama ini Porgera Joint Venture telah beroperasi di tengah-tengah lingkungan yang sulit, sudah bertahun-tahun lamanya, dan belum benar-benar menangani kampanye media sosial agresif yang dilayangkan padanya.
Tetapi perusahaan itu yakin, berdasarkan pernyataan-pernyataan awal dari pemerintah yang baru dan sebuah putusan pengadilan yang menguntungkannya pada Agustus 2019, bahwa izinnya akan diperbarui, meskipun dengan persyaratan dan ketentuan yang lebih ketat.
Namun, siapa pun yang menyimak berbagai, dan sering kali membingungkan, pernyataan PM dan menteri-menteri seniornya selama 11 bulan terakhir, bisa merasakan keraguan apakah izin itu akan diperbarui, dan tentu saja, dengan pembagian keuntungan, perpajakan, dan cukai lainnya yang lebih tinggi.
Penolakan pemerintah untuk meneruskan proses pembahasan lebih lanjut tentang izin yang baru, dan pengumumannya bahwa negara akan mengambil alih kepemilikan dan operasi tambang itu, telah mengejutkan semua pihak, bahkan dari luar PNG, dan mengkhawatirkan operator tambang dan migas lainnya yang beroperasi di sana, sebagian besar darinya adalah aset milik dan dikelola oleh Australia.
Pertanyaan paling penting sekarang adalah siapa yang akan menjalankan operasi tambang raksasa itu?
Pemerintah PNG tidak bisa mengoperasikan perusahaan ini di daerah yang tidak stabil secara politis dan sosialnya. Ini meninggalkan Tiongkok sebagai operator, dan mungkin pemilik tambang, dengan persetujuan pemerintah PNG.
Kelompok usaha Zijin Mining Group memiliki koneksi dengan Partai Komunis Tiongkok dan memegang 47,5% saham dalam Porgera Joint Venture dengan Barrick. Bagaimana tanggapannya terhadap keputusan itu akan menjadi indikasi penting.
Tiongkok telah berupaya dengan agresif untuk mendapatkan kepemilikan usaha di wilayah pegunungan tinggi PNG, yang merupakan rumah bagi 40% populasi PNG dan kaya akan minyak, gas, emas, perak, dan tembaga.
Mengambil alih sebuah tambang emas dan perak yang besar itu sangat menarik bagi Tiongkok. Saat ini Tiongkok adalah pemilik dan operator Tambang Nikel Ramu di Provinsi Madang.
Pandangan pemerintah Marape terhadap kepemilikan atau pengelolaan tambang Tiongkok sulit untuk dibaca. Kebijakan pro-Tiongkok pemerintah O’Neill di bidang non-sumber daya mineral belum diubah oleh Marape. Pengaruh Tiongkok masih kuat dan terus berkembang. (The Strategist)
Jeffrey Wall sudah bekerja dengan Papua Nugini selama 43 tahun, termasuk sebagai seorang penasihat perdana menteri dan menteri-menteri senior, serta sebagai konsultan bagi Bank Dunia.
Editor: Kristianto Galuwo