Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Natalie Whiting
Di hutan kecil di Pulau Manus, seorang bocah berusia dua tahun dengan gembiranya digendong oleh ibu dan neneknya di depan gubuk mereka yang sederhana, tetapi kulitnya yang lebih terang membuatnya kelihatan berbeda.
Christopher masih terlalu belia untuk mengerti bahwa dia berbeda. Ia adalah satu dari 40 anak yang berayah pencari suaka dan pengungsi yang ditahan di Pulau Manus.
Ibunya, Flora Boyoeu, sudah tidak lagi menjalin hubungan romantis dengan ayah Christopher. Untuk anak-anak seperti Christopher, bertumbuh dewasa di Pulau Manus dengan ayah orang asing atau tanpa seorang ayah, dapat mempersulit hidupnya.
“Saya sering berpikir tentang hal ini dan saya khawatir tentang dia,” kata Flora.
Ketika pusat penahanan imigrasi di pulau itu ditutup pada 2017, para pengungsi dan pencari suaka dipindahkan ke kota paling besar di Manus, Lorengau.
Banyak laki-laki yang menjalin hubungan romantis dengan perempuan lokal – sebagian hanya main-main, lainnya jangka panjang – dan puluhan pasangan memiliki anak-anak.
Karena sejumlah pengungsi telah di dimukimkan kembali di Amerika Serikat, dan yang lainnya kemungkinan akan ke Australia untuk evakuasi medis (medevac), masa depan anak-anak mereka masih terombang-ambing.
Juru bicara dari Departemen Dalam Negeri Australia membenarkan lewat pernyataan kepada ABC News, bahwa anak-anak itu juga dilindungi oleh UU medevac yang baru dan dapat dipindahkan ke Australia sebagai ‘legacy minor’.
Bagaimana hal itu akan dilakukan dan apa saja ketentuan yang harus dipenuhi sebelum mereka dapat dipindahkan, pun masih belum jelas.
Orang tua yang ingin melindungi keluarganya
Vali Papi adalah anggota jemaat dari salah satu gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Manus yang rajin beribadah, dan dia percaya bahwa kedatangannya di Manus dan pertemuan dengan istrinya, Judith Andreas, adalah rencana Tuhan.
Namun sekarang, pengungsi asal Iran itu, berusaha keras untuk berjuang agar keluarganya bisa tetap bersama-sama.
“Saya khawatir tentang keluarga saya dan masa depan keluarga saya,” kata Papi.
“Saya ingin melindungi mereka dan membawa mereka ke Australia atau di mana saja. Mungkin AS atau Selandia Baru. Di mana saja. Saya tidak ingin tinggal di sini.”
Papi merasa ia tidak dapat memberi keluarganya kehidupan yang layak di Manus. Ia memiliki seorang anak kandung laki-laki bernama Cyrus dengan istrinya, ia juga telah mengadopsi anak lainnya, Gibson.
“Saya (juga) ingin membawanya ke mana pun saya pergi. Saya mencintai anak-anak saya,” tuturnya.
Judith Andreas juga bersedia meninggalkan PNG untuk mengikuti suaminya. “Dia adalah hidup saya, dan ke mana pun dia pergi, saya dan dua anak saya harus ikut,” katanya.
Pengungsi asal Iran lainnya, Amin Abofetileh, juga adalah ayah lainnya yang berupaya keras untuk memastikan istri dan anaknya dapat tinggal bersama-sama dengan dia. Abofetileh telah menikah dengan istrinya, Kate Yang, selama tiga tahun, dan mereka memiliki seorang putri berusia 18 bulan, Liberty.
“Saya dengar mereka akan memindahkan beberapa pengungsi dan pencari suaka ke Pulau Christmas. Mudah-mudahan saya bisa menjadi salah satu yang dipindahkan. Ini sangat sulit bagi kami, tetapi mudah-mudahan saya bisa pergi bersama keluarga saya,” ujar Abofetileh.
Dia juga sedang menunggu kabar apakah dia akan dimukimkan kembali di AS, setelah melalui proses wawancara.
“Saya sudah bilang kepada mereka, jika saya pergi ke AS, saya harus pergi dengan bayi dan istri saya,” ujarnya.
Kate menangis ketika ditanyai seberapa sulit baginya, jika dia dan Liberty tidak bisa pergi dengan suaminya.
ABC News juga mewawancarai dua ayah lain yang juga putus asa, mencari informasi tentang bagaimana mereka dapat membawa anak-anak mereka jika mereka meninggalkan Manus, tetapi tidak semua ayah menginginkan hal yang sama.
Seorang perempuan lokal, sendiri membesarkan anaknya setelah sang ayah kembali ke negara asalnya. Yang lainnya lagi akan segera melahirkan, tetapi ayah dari anaknya telah dipindahkan di Amerika Serikat.
Masa depan tanpa kepemilikan tanah
Ada pasar tradisional yang membentang di sepanjang tepi pantai di Lorengau. Warga setempat menjual buah-buahan, ikan, dan sayuran di kios-kios darurat.
Banyak warga setempat yang menyambut baik lapangan pekerjaan yang diciptakan dari pusat pemrosesan pencari suaka. Namun hubungan romantis tahanan dengan perempuan lokal, juga mengkhawatirkan.
“Kami senang dengan pekerjaan yang diciptakan bagi para pria untuk mengawasi mereka – itu adalah sisi yang baik,” Lalu So berkata dari belakang kiosnya. “Tetapi hal yang buruk adalah mereka menghancurkan hidup putri-putri kami. Saya ingin mereka (pencari suaka) pergi, karena sekarang anak-anak mereka (yang dilahirkan) tidak akan memiliki kehidupan di sini. Mereka akan menjadi tuna wisma,” katanya.
Orang-orang di pasar itu berkata hubungan romantis itu umumnya memang suka sama suka, tetapi beberapa perempuan yang terlibat masih remaja.
Ben Pokarup dari Manus Province Civil Society berkata, tatanan sosial di Manus telah rusak total akibat hubungan-hubungan asmara itu. Ia yakin setidaknya 37 bayi sudah dilahirkan, tetapi bisa jadi masih lebih banyak lagi.
“Menurut budaya adat dan tradisi kami, mereka akan masuk di sistem mana? Kami adalah masyarakat yang patrilineal,” katanya.
Masyarakat patrilineal berarti hal-hal seperti kepemilikan tanah – di PNG 97% adalah tanah adalah milik pribadi – diturunkan melalui ayah.
“Masa depan mereka sudah pasti akan sangat suram,” kata Pokarup. “Mereka akan selalu dihiraukan. Mereka tidak akan memiliki suara. Tidak akan ada pengakuan sama sekali.”
Inspektur Kepala Kepolisian Provinsi Manus, David Yapu, juga khawatir.
“Ketika para pengungsi ini meninggalkan provinsi kami dan dipindahkan ke negara lain, siapa yang akan bertanggung jawab atas ibunya? Siapa yang akan bertanggung jawab atas anak-anak?” ia bertanya-tanya.
Hambatan akibat tidak memiliki status kewarganegaraan
Karena anak-anak ini dilindungi oleh UU medevac, Pemerintah Australia perlu bukti identitas mereka.
Hal ini bisa menyulitkan karena tidak semua kelahiran didaftarkan, dan sebagian orang tua melaporkan kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran.
Amin dan Kate sudah berusaha selama lebih dari enam bulan, untuk mendapatkan akta kelahiran Liberty.
“Saya rasa kantor imigrasi mempersulit upaya kami untuk mendapatkan dokumen itu, tetapi saya tidak yakin,” katanya. “Kami tidak punya dokumen apa pun untuk membuktikan bahwa ia adalah anak saya.”
Kate sekarang akan ke Port Moresby untuk mencoba mendapatkan akta kelahiran anaknya. Dia harus pergi sendirian dengan Liberty karena Amin, sama seperti hampir semua pengungsi di Pulau Manus, tidak memiliki dokumen perjalanan dan tidak dapat meninggalkan pulau itu.
Seorang pencari suaka lainnya yang sedang berusaha untuk menjadi warga negara PNG, agar ia dapat tinggal di Manus bersama keluarganya berkata, ia dan istrinya juga sulit mendapatkan akta kelahiran untuk kedua anak mereka.
Ada juga pertanyaan tentang ketentuan hukum yang memungkinkan anak-anak ini, dapat dipindahkan dengan alasan kesehatan di bawah UU medevac yang baru.
Situasinya akan lebih rumit bagi anak-anak yang orang tuanya sudah berpisah, seperti Flora dan anaknya, Christopher. Ayah Christopher menginginkan hak asuh atas bayi itu, tetapi Flora bingung dengan UU medevac dan apa artinya hukum itu bagi putranya.
“Saya mau mereka datang dan menjelaskan kepada saya, agar saya bisa mengerti,” katanya.
Ayah Christopher juga sedang menanti jawaban apakah ia akan dipindahkan di AS. Flora berkata ia hanya akan membiarkan bayinya pergi dengan ayahnya, jika mereka ke negara yang baik. (ABC News)
Editor: Kristianto Galuwo