Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
SD Negeri Muko Tanah Merah, Distrik Yaro, di Kabupaten Nabiret terletak di dalam hutan, tiga kilometer dari Jalan Trans Nabire-Wasior. Lokasinya dari Kota Nabire bisa ditempuh setengah jam dengan sepeda motor atau mobil. Penduduk di sana dominan suku asli Wamena.
Layaknya sebuah perkampungan di tengan hutan, kampung tersebut masih jauh dari pengaruh perkotaan. Kehidupan masyarakat hanya bergantung pada hasil kebun dan pertanian. Bahkan letak satu rumah dengan lainnya sangat jauh.
SD Negeri Muko Tanah Merah dengan 98 murid memiliki sebuah asrama yang dihuni 26 anak, empat di antaranya perempuan. Mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu, yatim piatu, atau salah satu. Nama sekolah diambil dari dua marga yang mendiami daerah tersebut, Murib dan Kogoya, disingkat Muko.
Keceriaan menghiasi wajah anak-anak asrama ketika menyambut Komunitas Nabire Membaca (Koname), Rabu, 5 September 2018. Komunitas yang peduli terhadap dunia pendidikan anak-anak Papua tersebut memberikan sedikit bantuan untuk anak-anak asrama.
Seragam sekolah lengkap dari topi hingga sepatu, pakaian layak pakai, perlengkapan makan dan minum, serta bahan makanan (bama) berupa beras, mie instan, dan lainnya.
Amalia, anggota komunitas Koname, mengatakan kedatangannnya dan kawan-kawan pertama kali ke asrama tersebut sebagai wujud kepedulian.
“Motivasi kami hanya ingin melihat anak-anak asli Papua tersenyum, semangat, dan punya kemauan untuk bersekolah,” ujarnya.
Kepala SD Negeri Muko Tanah Merah, Agusthina Taihuttu, sangat berterima kasih kepada Koname yang telah memberikan bantuan kepada anak-anak asuhnya, terutama mereka yang tinggal di asrama.
“Dorang (mereka) sangat membantu anak-anak asrama, kebetulan hari ini beras habis dan baru mau cari,” ujarnya.
Taihattu bercerita, dia mendapatkan surat tugas dari Dinas Pendidikan Nabire untuk menghidupkan kembali Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang nyaris dua tahun terhenti.
“Saya dipindahkan ke sini dan menempati rumah dinas yang ada di sekolah, waktu itu sekolah tidak ada penghuni,” ujarnya.
Ia melihat situasi banyak murid yang berasal dari keluarga tidak mampu, anak yatim, dan yatim piatu. Belum lagi siswa-siswi menempuh sekolah dengan jarak yang cukup jauh, hampir dua hingga tiga kilometer.
Ibu tiga anak ini berinisiatif mendirikan asrama dan menampung siswa yang berlatar belakang tidak mampu tersebut.
Setelah memberikan pemahaman kepada orang tua dan warga, Taihattu dan seorang rekannya dengan biaya pribadi lalu mendirikan asrama di samping rumah guru yang ia tempati.
“Masyarakat terima apa yang saya sampaikan, sebab saya lihat kondisi mereka sangat jauh dari harapan,” katanya.
Asrama selesai dan menampung anak-anak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, perempuan asal Ambon tersebut bersama seorang guru lainnya, rela jatah beras mereka tiap bulan diberikan untuk asrama. Bahkan biaya hidup lainnya termasuk kebutuhan sekolah mereka tanggung.
“Asrama dekat rumah, kontrolnya mudah, dan kami harus memberikan apa yang kami punya untuk mereka,” katanya.
Ia memutuskan membuka asrama karena kondisi anak-anak yang sangat jauh dari harapan, terutama anak yatim dan piatu atau orang tuanya tidak mampu.
“Bagaimana mereka bisa memperhatikan kalau dalam satu rumah ada 10 sampai 15 orang, lalu bagaimana mengurus anak yang tidak punya orang tua,” ujarnya.
Belum lagi, lanjutnya, jika anak yang orangtuanya tidak mampu, atau tidak punya kendaraan, atau sekolah jauh dari rumah. Ini butuh perhatian kalau anak-anak ingin bersekolah.
“Kalau beras tidak cukup, saya akan titip uang ke Pak RT untuk beras raskin sebagai tambahan sebab dari beras jatah saja tidak cukup,” ujarnya.
Ia berharap kepada semua pihak, baik Pemkab Nabire maupun yang peduli terhadap dunia pendidikan untuk lebih memperhatikan kondisi anak usia sekolah di daerah pinggiran.
“Kita semua harus peduli, bukan peduli karena ada maunya, tetapi peduli untuk memajukan dunia pendidikan, khususnya anak asli Papua,” katanya.
Bukanu Murib, tokoh masyarakat setempat, mengatakan sekolah tersebut didirikan sejak 2012. Namun pada 2014 sampai 2016 sekolah tidak beroperasi karena kepala sekolahnya meninggalkan tempat tugas tanpa alasan.
Sekolah pun nyaris ditutup dan anak-anak tidak sekolah lagi. Setelah kepsek baru, Agusthina Taihuttu, datang pada 18 Juli 2016 anak-anak kembali bisa bersekolah.
“Mewakili masyarakat di sini saya berterima kasih kepada Ibu kepsek sudah buat anak-anak kami tahu baca, bisa sekolah kembali, bangun asrama, sekali lagi terima kasih Ibu,” kata Murib.
Ones Telenggen, siswa Kelas 6, sangat berterima kasih atas kepedulian Koname membantu murid di sekolahnya, terutama yang tinggal di asrama.
“Kami berterima kasih kepada kakak-kakak yang sudah kasih (berikan) kami baju, sepatu, serta makanan. Tuhan memberkati kakak dorang,” ujarnya. (*)