Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Misionarls Katolik, termasuk misionaris dari Tarekat atau Ordo Missionaris Hati Kudus atau MSC, sangat peduli dengan budaya masyarakat asli di pesisir selatan Papua. Para misionaris MSC misalnya, menyusun kamus bahasa Yakai dan menerjemahkan sejumlah cerita Kitab Suci ke dalam bahasa masyarakat adat di pesisir selatan Papua itu.
Hal itu disampaikan Pastor Alberto Setyo MSC selaku pembicara dalam Semiloka “Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura sejak Senin (21/3/2022).
“Pada tahun 1938, Pastor Drabbe MSC dipindahkan ke Kokonao. Di sana, ia mempelajarai bahasa Mimika. Tak lama, ia dipindahkan lagi ke daerah Mappi dan dalam beberapa bulan saja menyusun kamus kecil Bahasa Yakai,” kata Pastor Alberto Setyo MSC.
Baca juga: Menelusuri sejarah Gereja Katolik dan karya Tarekat MSC di Papua
Berbekal kefasihan berbahasanya, Pastor Drabbe MSC menerjemahkan buku Katekismus dan buku doa dalam bahasa Yakai. Pastor Drabbe MSC juga menerjemahkan sejumlah cerita dari Kitab Suci dalam bahasa Yakai.
“Selain itu, para imam turut mendorong tradisi mengukir. Dorongan itu membawa berkat dengan adanya produksi karya asli Suku Asmat yang bertahan hingga hari ini,” katanya.
Pastor Alberto Setyo MSC Gereja Katolik membantu Program Seni Suku Asmat berkerjasama dengan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimulai pada tahun 1968. “Dua tahun kemudian, Uskup Agats Alphonsus Augustus Sowada OSC memulai pembangunan museum seni, budaya, dan perkembangan suku Asmat di Agats. Ia juga membuat lomba mengukir yang berlanjut hingga hari ini,” katanya.
Baca juga: Dari Kei, agama Katolik masuk tanah Papua
Pastor Alberto Setyo MSC mengatakan keterbukaan Gereja Katolik akan inkulturasi dikarenakan keyakinan bahwa Tuhan datang untuk semua orang, dan orang-orang bukan Katolik pun berhak memperoleh keselamatan. “Oleh karena itu, terdapat ruang rasa penghargaan yang lebih besar terhadap kebudayaan tradisional Papua dan kepercayaan tradisional mereka. Pola berpikir itu pula yang mengantarkan Gereja Katolik untuk selalu kembali kepada kecenderungan membantu orang-orang Papua,” kata Pater Alberto Setyo.
Ia mengatakan, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Papua, pihak Gereja telah membangun sekolah-sekolah di lokasi-lokasi pusat dan secara bertahap mengenalkan pendidikan. “Kesehatan juga menjadi perhatian utama dengan awal pemberantasan penyakit kelamin dan penyakit Frambusia, bersama dengan gerakan untuk menggalakan kebersihan khususnya air minum,” katanya.
Sekretaris Panitia Penyelenggara Semiloka “Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Papua”, Soleman Itlay menyebut berbagai terekat atau ordo misionaris Katolik yang berkarya di Tanah Papua—seperti tarekat MSC, SJ, OFM, OSA, dan OSC—masuk ke Tanah Papua dalam waktu dan periode yang berbeda beda. Hal itulah yang melatarbelakangi semiloka “Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Papua”.
Baca juga: Uskup se-Regio Papua diminta tetapkan 22 Mei sebagai Hari Misi Katolik
“Untuk sementara waktu, kita tidak bisa menyimpulkan tanggal sejarah Gereja Katolik masuk di Tanah Papua. Ada tim [yang] harus menggali lebih dalam berdasarkan [hasil] semiloka antara delegasi Keuskupan Agung Merauke dan Keuskupan Manokwari-Sorong, Keuskupan Timika, Keuskupan Agast Asmat, Keuskupan Jayapura,” katanya.
Itlay mengatakan tim penyusun nantinya akan menyusun data sejarah dari lima keuskupan dan setiap tarekat yang berkarya di Papua. Data itu akan diolah menjadi rekomendasi bagi lima keuskupan yang ada di Tanah Papua untuk menyepakati tanggal dan tempat kali pertama masukkan Gereja Katolik di Tanah Papua.
“Kami [akan] sampaikan kepada pimpinan gereja, agar mereka yang menetapkan tanggal berapa dan di mana sejarah Gereja Katolik masuk ke Tanah Papua. Baru bisa kami ikuti, berdasarkan kesepakatan mereka. Saya harap kita semua dapat memahami hal itu,” kata Itlay. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G