Mirip ‘negara polisi’, kelompok katolik di Papua Nugini minta UU Pandemi dibatalkan

Papua Nugini Pasifik
Catholic Professional Society (CPS) di Papua Nugini telah meminta Mahkamah Agung untuk memeriksa keabsahan konstitusional UU Pandemi Nasional yang disahkan untuk menangani pandemi Covid-19. - Post-Courier PNG

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Port Moresby, Jubi – Sebuah kelompok profesional Katolik meminta Mahkamah Agung Papua Nugini agar segera turun tangan dalam gugatan atas kesahihan konstitusional Undang-undang Pandemi Nasional atau National Pandemic Act 2020. Post-Courier PNG melaporkan kelompok itu juga meminta pemerintah Perdana Menteri, James Marape, untuk segera mencabut undang-undang tersebut.

Catholic Professionals Society (CPS) telah mengajukan gugatan atas keabsahan konstitusional Undang-undang (UU) Pandemi Nasional pada bulan lalu. Sejak awal CPS sudah menentang UU itu, bahkan sebelum itu disahkan pada 12 Juni 2020.

Read More

Pemerintah mendalilkan bahwa UU itu disahkan untuk menangani krisis pandemi Covid-19. CPS sejak awal meminta penyusunan UU itu didahului konsultasi publik yang lebih luas, mengingat implikasi UU tersebut terhadap konstitusi dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) warga Papua Nugini.

Baca juga: Deklarasi PNG sebagai negara Kristen itu tidak ‘Kristen’

Menurut Presiden CPS, Paul Harricknen, beberapa perwakilan CPS sudah bertemu dengan Menteri Kesehatan Papua Nugini, Jelta Wong, dan Kepala Penanggapan Covid-19 Papua Nugini, David Manning pada 19 Juni 2020. Dalam pertemuan itu, CPS telah menyampaikan secara langsung keprihatinan mereka mengenai UU tersebut.

Pemimpin blok oposisi, Belden Namah juga telah mempertanyakan keabsahan konstitusional UU tersebut di Mahkamah Agung pada 5 Agustus 2020. CPS sangat mendukung upaya hukum Belden Namah itu.

“Kita puas karena pemimpin oposisi telah meminta Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan tafsiran konstitusial mengenai UU tersebut, dan implikasinya. CPS juga telah mengajukan permohonan yang sama pada 14 Agustus 2020, untuk meminta MA turun tangan dalam proses persidangan, dan agar permohonan kami diproses berbarengan dengan permohonan Namah,” kata Harricknen pada hari Jumat (28/8/2020).

Baca juga: Cangkang keong laut kembali digunakan sebagai mata uang di pedalaman PNG

Harricknen mengatakan UU itu telah berlaku sejak 17 Juni 2020, berdasarkan Surat Edaran Nomor G358. “Hasil pengkajian CPS dengan kelompok pengacaranya atas UU tersebut menemukan bahwa keseluruhan UU itu tidak konstitusional karena implikasinya, antara lain merebut wewenang dan fungsi Parlemen Nasional dengan mencabut serta mengalihkannya kepada pemerintahan eksekutif,” kata Harricknen.

Advokat Alois Jerewai telah menjadi kuasa hukum yang mewakili CPS dalam persidangan di MA. Jerewai menyatakan memahami upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19. “Kami memuji Perdana Menteri dan jajarannya juga atas upaya yang dilakukan untuk meredam dan mencegah penyebaran pandemi Covid-19,” tuturnya. Akan tetapi, pihaknya mempertanyakan keabsahan konstitusional UU itu.

Menurut CPS UU pandemi PNG itu terlihat seperti hukum ‘darurat militer’ dan ‘negara polisi’. Surat kabar Post-Courier tidak melaporkan tanggapan apa-apa dari pemerintah.(Asia Pacific Report)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply