Papua No. 1 News Portal | Jubi
Kasus penembakan di Papua cenderung meningkat sepanjang tahun ini. Korban luka dan tewas berasal warga sipil, kelompok bersenjata, juga anggota TNI/Polri. Pelaku penembakan melibatkan tidak hanya kelompok bersenjata, juga oknum anggota TNI/Polri.
Sepanjang tahun ini tercatat enam warga sipil tewas dan lima lainnya terluka akibat penembakan oleh oknum anggota TNI maupun Polri. Dari kubu aparat keamanan, sedikitnya tujuh orang anggota TNI/Polri tewas dan satu terluka ketika terjadi kontak senjata dengan kelompok bersenjata.
Dosen hukum pidana dari Fakultas Hukum Univesitas Cenderawasih, Dr. Budiyanto,MH menilai kasus penembakan yang terjadi di Papua selama ini mesti dikaji dari berbagai aspek. Mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya. Aspek politik dan ekonomi dasar utama yang harus diperhatikan.
Ia menyimpulkan, berbagai kasus penembakan di Papua sepanjang tahun ini karena minimnya pencegahan dini. Mestinya pemerintah daerah (kabupaten/kota) bersama tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat melakukan pencegahan, karena mereka yang lebih tahu karakter masyarakatnya.
“Tidak bisa aparat keamanan. Jangan langsung melibatkan aparat keamanan. Di Papua masyarakat sulit didekati dengan menggunakan aparat,” kata Dr. Budiyanto kepada Jubi, Kamis, 13 Juni 2019.
Ketika selalu memperhadapkan aparat keamanan dengan masyarakat, berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Ketika situasi tidak terkendali, aparat keamanan di perhadapkan pada pilihan yang sulit.
“Aparat keamanan mau bertindak salah, tidak mau bertindak juga salah. Aparat keamanan menyatakan terdesak sehingga melakukan penembakan. Jadinya sulit membedakan mana pelanggaran HAM, mana tindakan karena aparat keamanan terdesak,” ujarnya.
Meski begitu, ia tidak sependapat jika setiap terjadi penembakan terhadap warga sipil oleh aparat keamanan, selalu disebut karena terpaksa (terdesak). Bukan berarti karena terdesak harus menembak.
“Saya pikir tidak harus semua beralasan seperti itu. Kalau semua mengatakan saya terdesak sehingga menembak, saya pikir gampang sekali. Tidak bisa. Pendekatan dengan dialog itu yang harus dilakukan. Kalau saja itu dilakukan fenomena meningkatnya penembakan tidak akan terjadi,” ucapnya.
Dari aspek hukum menurut Dr. Budiyanto mesti dilihat sisi kriminologi dan viktimologi. Dari sisi kriminologi mesti dilihat siapa pelaku, dari kelompok mana dan mengapa melakukan aksi itu. Akar masalahnya mesti dicari tahu dan bagaimana penanggulangannya.
Ketika penembakan selalu terjadi katanya, menandakan ada masalah yang harus dicari tahu. Apakah pelaku adalah orang/kelompok yang sama atukah muncul pelaku lain, dan apa modus operandinya.
“Dulu tidak ada tembak menembak. Kalau sekarang ada tembak menembak dan pelaku kelompok sipil berarti ada (senjata/amunisi). Apakah mereka merakit senjata sendiri atau mendatangkan. (kalau didatangkan) dari mana senjatanya. Ini kan harus diteliti semua.”
Dialog sebagai upaya pencegahan
Dari aspek viktimologi mesti melihat dari sisi korban. Korban selama ini tidak hanya warga sipil, juga anggota TNI/Polri. Situasi ini menggambarkan ada sesuatu yang salah.
Selain itu, dari aspek hukum pidana ada dua pokok yang mesti dilihat yakni penal dan non penal (penegakan hukum pidana dan pencegahan). Pihak terkait katanya, mesti melakukan pecegahan atau non penal. Bisa berupa dialog dan lainnya.
“Dialog atau non penal dalam hukum pidana itu yang paling tepat. Kalau tidak, akan selamanya seperti itu. Dialog penting agar masyarakat lain tidak terhasut oleh orang orang yang tidak puas,” ujarnya.
Pencegahan dalam konteks hukum pidana kata Dr. Budiyanto, lebih penting daripada melakukan penegakan hukum, karena penegakan hukum tak mempertimbangkan apakah melanggar HAM atau tidak.
Penegakan hukum hanya melihat dari sisi delik apa yang dilanggar. Apakah KUHP, terorisme dan lainnya. Namun penegakan hukum pidana bukan berarti menyelesaikan masalah. Justru akan menjadi bumerang jika diterapkan tanpa perhitungan.
“Di satu sisi kita ingin memberantas kejahatan tapi justru kita akan menjadi pelaku kejahatan. Semakin tegas hukum pidana ditegakkan bukan berarti langsung menyelesaikan masalah,” katanya.
Berbagai faktor penyebab maraknya penembakan
Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, hak asasi manusia dan keamanan DPR Papua, Laurenzus Kadepa menduga berbagai faktor menyebabkan para oknum TNI/Polri yang bertugas di Papua menyalahgunakan senjata api.
Faktor yang diduga sebagai pemicu penyalahgunaan senpi oknum aparat keamanan di Papua, yakni faktor psikologi, selalu mengedepankan tindakan represif, jenuh karena terlalu lama bertugas di suatu wilayah terpencil dan kesejahteraan.
“Kapolda dan Pangdam harus tegas terhadap pelaku penembakan di Papua belakang ini. Baik di Deiyai, Asmat dan Merauke,” ujarnya.
Anggota TNI/Polri yang bertugas di Papua diharap dapat membaur bersama masyarakat. Mengedepankan cara humanis, memahami karakter masyarakat. Jika penembakan terus terjadi katanya, akan memperbesar rasa tidak percaya rakyat Papua terhadap institusi keamanan.
“Peluru jangan gampang ditembakkan. Di mana rasa kemanusiaanya. Bagaimana jika yang korban adalah keluarga oknum pelaku itu. Bagaimana perasaan mereka,” ucapnya.
Pernyataan yang sama dikatakan Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey. Menurutnya, aparat keamanan yang melakukan penembakan tidak memiliki pengetahuan lebih dalam bernegosiasi dan mediasi.
Selain itu, para oknum pelaku dinilai tidak memiliki pengetahuan cukup mengenai karakterisktik dan budaya masyarakat di tempat tugas, terlalu lama bertugas di suatu daerah tertentu dan bukan orang yang secara psikologis tepat untuk memegang senjata.
“TNI dan Polri mesti melakukan evaluasi tentang protap, penyegaran dan peningkatan kemampuan terhadap anggota di daerah. Kasus oknum aparat TNI/Polri menyalahgunakan senjata cenderung meningkat,” kata Ramandey.
Polda Papua berupaya cegah penyalahgunaan senpi
Sementara itu, Kepolisian Daerah Papua berupaya mencegah penyalahgunaan senjata api (senpi) oleh anggotanya.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Ahmad Mustofa Kamal mengatakan, Kapolda Papua Inspektur Jenderal Polisi Rudolf Alberth Rodja telah mengingatkan para Kapolres di Papua tidak memberikan senpi kepada oknum anggota Polri yang masih mengkonsumsi minuman beralkohol (minol).
“Ini sebagai salah satu upaya Polda Papua mencegah terjadinya penyalahgunaan senjata api oleh oknum anggota Polri di Papua,” kata Kombes Pol A.M. Kamal.
Salah satu pemicu keributan adalah minol. Dikhawatirkan jika ada oknum anggota Polri di Papua yang masih mengkonsumsi minol dan memegang senpi, ketika ia lepas kontrol akan menyalahgunaan senpi itu.
“Kapolda Papua juga telah mengingatkan seluruh anggota agar tidak menggunakan senpi semena-mena. Ada aturannya ketika akan menggunakan senpi,” ujarnya. (*)