Mimpi membangun Jayapura tanpa banjir

Seorang anak melihat material pascabanjir 16 Maret 2019 di Sentani - Jubi/Galuwo
Seorang anak melihat material pascabanjir 16 Maret 2019 di Sentani – Jubi/Galuwo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh : Albert Rumbekwan

Read More

“Mimpi membangun Jayapura di atas awan, mungkin perlu melihat kemampuan imajinasi, kreativitas budaya, dan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk berinovasi. Untuk mewujudkan mimpi itu perlu dilakukan penyatuan ilmu alam dan ilmu sosial sebagai konsep dasar strategi pembangunan jangka panjang”

Cara ampuh mengatasi banjir di Jayapura adalah dengan bermimpi

Suatu malam sa tidur dan bermimpi, berada di dalam sebuah hutan rimba dan dusun sagu yang tumbuh subur dan rimbun menghiasi daerah Sentani, Padangbulan, Youtefa, dan Entrop. Hutan itu begitu indah karena hidup berbagai jenis unggas, reptil, dan ikan-ikan, serta tumbuhan perdu dan bunga-bungaan yang cantik dan harum.

Di tengah-tengah hutan itu mengalir air sungai yang bening dan segar, membuih di atas satu batu ke bebatuan lain dari puncak Cycloop. Percikan airnya terhempas angin mengembuni dedaunan hijau. Oh, sungguh sebuah Eden yang sempurna.

Ketika kudaki bukit ke bukit, kulihat savana hijau membentang luas dari puncak hingga bibir tebing. Ketika angin menerpanya terdengar nyanyian alam yang syahdu.

Di lereng-lereng bukit bertumbuh hutan-hutan penyangga aliran-aliran air tanah, tersaring ke dalam perut bumi, menjadi sumber air hidup segala makhluk. Sungguh menakjubkan alam ciptaan Sang Ilahi!

Kumasuk jauh ke dalam taman itu, kuberjumpa seorang pertapa alam. Ia sedang bercengkrama, penuh mesra, dan akrab dengan semesta, berbicara dalam bahasa alam, mendengar sabda alam yang penuh kearifan, menyatakan hukum keseimbangan dalam interaksi sosial, budaya, dan ekologi.

Aku mendekatinya. Lalu bertanya, “Wahai, petapa apakah yang sedang engkau perbincangkan dengan semesta? Sebegitu akrab dan penting sekali percakapan kalian? Bolehkah aku mengetahuinya?”

Mendengar pertanyaanku, ia pun memandangku lalu berkata, “Alam semesta menginginkan cinta dan kasih sayang, agar hidup tetap berada dalam lintasan siklus Ilahi.”

Kucoba meresapi pesan semesta dengan bertanya, mengapa cinta dan kasih sayang begitu penting dalam alam semesta? Karena cintanya Sang Ilahi menciptakan semesta dengan sabda. Menghiasi dan mendandaninya dengan kasih sayang, agar ada keseimbangan dalam rantai makanan, sehingga tak ada rasa untung dan rugi yang menimbulkan egoisme dan kebencian yang menimbulkan kematian tak bertanggung jawab.

Betapa kukagum mendengar hikmat sabda alam, menyadarkanku dari tidurku yang begitu dini. Ternyata yang kuceritakan hanyalah mimpi yang tak mungkin jadi nyata di bumi yang semakin padat.

Dapatkah kita terhindar dari banjir?

Pertanyaan ini mungkin hanya bisa dijawab oleh para ahli. Namun, seberapa besar dampak dari hasil penelitian dan kajian para ahli, mengatasi masalah banjir di Jayapura? Dalam bencana alam ini, siapakah yang salah? Apakah alam semesta? Ataukah kita manusia?

Janganlah lekas-lekas kita menjawab kalau kita belum dapat memahami sabda alam. Karena ketika Sang Ilahi menciptakan semesta alam, diberikan-Nya pula hukum alam. Demikian pula ketika Dia menjadikan manusia, diberikan pula kuasa untuk memakai-Nya, menjaga, merawat, dan memelihara segala ciptaan-Nya.

Masalah banjir dan bencana alam yang terus-menerus terjadi di Jayapura adalah kehendak manusia dengan otoritasnya; manusia menguasai segala ciptaan Tuhan, sampai-sampai melupakan hukum alam dan otoritas Ilahi.

Semua yang ada di kota dan kabupaten Jayapura telah menjadi milik ekonomi dan politik, oleh karena mobilisasi sosial masyarakat yang tak terbendung oleh hukum normatif dan hukum adat, terjadi pula pergeseran nilai-nilai etika dan budaya leluhur yang mendasari hubungan manusia Papua dengan alam semesta dan sesamanya.

Oleh desakan ekonomi dan politik segala hal disetujui secara sepihak, baik individu, maupun kelompok, semuanya itu diserahkan kepada kapitalisme.

Batas-batas wilayah, hukum, dan nilai-nilai adat yang tidak tertulis namun tersirat dan mengikat sistem hidup setiap kelompok etnis di Papua, khususnya di Jayapura menjadi lemah dan tak berkuku.

Maka untuk terhindar dari musibah banjir di kota Jayapura, mungkin kita perlu bermimpi lagi. Namun mimpi ini harus lebih inovatif, kreatif, dan ajaib.

Mimpi membangun Jayapura di atas awan

Masyarakat manusia pernah memiliki sebuah peradaban bernilai tinggi dengan menciptakan taman-taman, kebun, dan jalan yang bergantung di atas permukaan bumi, menata sistem perairan, pemukiman, dan lainnya secara logis dan rasional. Peradaban itu adalah Inca, Maya, dan Aztec, di benua Amerika. Peradaban itu kini menjadi puing-puing sejarah dan arkeologi.

Mimpi membangun Jayapura di atas awan, mungkin perlu melihat kemampuan imajinasi, kreativitas budaya dan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk berinovasi.

Untuk mewujudkan mimpi itu perlu dilakukan penyatuan ilmu alam dan ilmu sosial sebagai konsep dasar strategi pembangunan jangka panjang. Namun mungkin ide ini hanyalah menjadi teori, karena kembali lagi kepada kebijaksanaan politik dan ekonomi sebagai sumber hidup.

Sebuah contoh pembangunan kota yang terus bertumbuh ke awan-awan, adalah Jakarta. Perkembangan kota ini terus menunjukkan pembangunan yang mencakar langit, gedung-gedung, dan jalan-jalan. Namun kesemuanya itu hanya untuk kaum kapitalis. Sedangkan rakyat biasa tetaplah berenang, merayap, meratap, dan mengemis, dengan segala keamburadulan pemukiman, atas nama kebijakan ekonomi dan politik.

Dengan demikian, bagaimana kita membangun kota Jayapura dan Papua yang terhindar dari musibah alam dan keamburadulan pembangunan?

Pertama, sebagai manusia, hiduplah kita pada kodrat dan jatah yang Ilahi telah berikan kepada kita;

Kedua, cintai dan sayanglah semesta alam dan keseimbangan hikmat Ilahi;

Ketiga, setiap etnis hiduplah pada tapal batas adat dan budaya, yang telah menata sistem interaksi antarsesama dan lingkungan. Yang bukan menjadi bagian dari kelompoknya diidentifikasi, direlokasi, dan dipulangkan ke tanah asalnya;

Keempat, adat dan pemerintah bersinergi membuat aturan-aturan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan tegas, untuk menata mobilisasi masyarakat yang datang ke Jayapura khususnya dan Papua umumnya;

Kelima, untuk membangun kota Jayapura dan Papua, janganlah didasari oleh kepentingan individu dan kelompok, yang menguntungkan kaum kapitalis, melainkan atas dasar keselamatan umat manusia dan alam semesta untuk hidup yang berkelanjutan. (*)

Penulis adalah dosen sejarah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih

Editor: Timo Marthen

Related posts

Leave a Reply