MIFEE dan KSPP, pinggirkan OAP dan tingkatkan laju pendatang?

Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,

Jayapura, Jubi – Gagalnya MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) menjadi lumbung beras nasional, mendorong rezim Jokowi meluncurkan skema baru di bawah bendera: Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP). Dan Marind-Anim, sebagai salah satu komunitas Orang Asli Papua (OAP) di Merauke menjadi menjadi korban serius dari brutalitas investasi tersebut.

Hal itu diungkap Andre Barahamin, Peneliti di Yayasan Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat (PUSAKA) melalui opininya di Suara Papua, Senin (6/2/2017).

Menurut catatan Barahamin, yang juga juru kampanye forum advokasi penyelamat hutan dan tanah rakyat itu, MIFEE  yang diawali sebagai program mantan Presiden SBY itu jauh sebelumnya bernama proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang diluncurkan April 2006.

“Proyek ini dianggap ide cemerlang agar Indonesia dapat memiliki gudang beras untuk mengatasi ketergantungan ekspor. Salah satu grup investor yang awalnya tertarik untuk berinvestasi adalah Bin Laden Group yang berasal dari Arab Saudi. Tapi batal karena krisis ekonomi yang melanda dunia finansial global di tahun 2009,” ungkapnya.

Karena urung terlaksana, proyek ini kembali dikemas dengan nama baru di tahun 2010 dengan nama: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Hasilnya, kata Barahamin, 2.5 juta hektar hutan alam dan lahan gambut yang berada di wilayah ulayat Malind Anim masuk konsesi. Sementara di akhir periode Presiden SBY, total luas lahan yang sudah dikorbankan untuk MIFEE mencapai 1.927.357 hektar. 

Namun MIFEE gagal menjadi lumbung beras nasional seperti yang dicita-citakan, kata Andre, dan itu mendorong Jokowi meluncurkan skema baru di bawah bendera: Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP).

Menurut dia luasan sawah untuk program KSPP tersebut berlokasi di dua daerah. Pertama, di Kampung Yabamaru Satuan Pemukiman (SP) 9 Distrik Tanah Miring dengan luas 400 hektare. Lalu 200 hektare lain terdapat di SP 5 Distrik Semangga. Ini belum termasuk 600 hektare lain yang sedang dibuka. Jumlah ini agak meleset dari target 3.200 hektare yang dicanangkan pemerintah sebelum tahun 2015 berakhir.

“Dua proyek ini (MIFEE dan KSPP) sama saja. Keduanya dibangun di atas penghancuran hutan alami serta ladang gambut yang berada di wilayah ulayat Malind-Anim di Merauke,” kata Barahamin.

Salah satu buktinya, Forest People Programme mencatat ada lima orang anak yang meninggal dunia karena kekurangan gizi di tahun 2013. “Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, angka kematian ibu dan anak di komunitas Malind-Anim juga meningkat tajam hingga menyentuh angka 15% per tahun 2013,” ujar Barahamin.

Dalam riset terpisah, Dr Jim Elmslie ahli West Papua dari Australia, berdasarkan analisanya terhadap sensus BPS Indonesia tahun 2010 terkait demografi di Kabupaten Merauke, mengatakan kini warga Non-Papua mencakup 63% dari populasi di Merauke.

“Itu hanya satu contoh, dan kecenderungan ini (meningkatnya jumlah imigran) akan meningkat di West Papua seiring meningkatnya perkebunan dan industri ekstraktif skala besar seperti Mifee,” ujarnya kepada RNZI (30/1).

Jika itu berlanjut, menurut Elmslie, penurunan populasi orang-orang asli Papua akan semakin nyata.

Menurut catatan BPS yang dianalisa oleh Elmslie dalam laporannya yang berjudul ‘Indonesia’s West Papua: Settlers Dominate Coastal Regions, Highlands Still Overwhelmingly Papuan’ Merauke adalah salah satu dari lima Kabupaten di Provinsi Papua yang didominasi oleh warga Non-Papua.

Kelima Kabupaten yang telah didominasi warga Non-Papua tersebut adalah Mimika dengan komposisi Papua (P) berjumlah 71.533 dan Non-Papua (NP) 96,725; Keerom 19,609 (P) dan 27,851 (NP); Kota Jayapura 89,164 (P) dan 166,225 (NP); Merauke 72,554 (P) dan 122,130 (NP); Nabire 61,364 (P) dan 67,705.(*)

Related posts

Leave a Reply