Mewariskan tradisi menganyam ke sekolah

Aktivitas kelompok perempuan penganyam di Mangga Dua, Distrik Merauke – Jubi/Frans L Kobun
Aktivitas kelompok perempuan penganyam di Mangga Dua, Distrik Merauke – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

KEMAHIRAN kelompok perempuan dalam menganyam menarik perhatian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Merauke. Mereka pun dirangkul untuk membagi keterampilan di sekolah.

Read More

Program yang bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya dan Dewan Kesenian Papua ini sekaligus untuk mengapresiasi eksistensi perajin lokal Papua di Merauke. Perajin tersebut berasal dari  Distrik Kimaam, Waan, dan Tabonji di Pulau Kimaam. Mereka selama ini menentap di Mangga Dua, Distrik Merauke.

Mama-Mama Papua itu dikenal mahir menganyam tikar, topi, cawat, hingga noken. Mereka akan mengajarkan para siswa menganyam dalam kegiatan selama dua hari, mulai Jumat ini.

“Seniman lokal harus diberdayakan. Banyak potensi mereka yang bisa dikembangkan. Ada seniman kriya (anyaman), perupa, penari, dan pelukis,” kata Kepala Seksi Promosi Seni dan Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Merauke, Isaias Ndiken, kepada Jubi, Kamis (9/5/ 2019).

Berdasarkan penelitian etnografi Merauke 2015, setiap komunitas adat memiliki keragaman karakter budaya. Keunikan tersebut terbentuk dari keseharian dan adaptasi dengan kondisi lingkungan serta topografi setempat.

“Mama-Mama dari Pulau Kimaam termasuk kategori seniman kriya. Kami ingin berkolaborasi melalui program seniman masuk sekolah untuk memperkenalkan seni kriya kepada banyak orang,” jelas Ndiken.

Dia melanjutkan mereka telah melakukan pendampingan terhadap 4 kelompok penganyam di Mangga Dua sejak 1988. Para penganyam menggunakan bahan rumput rawa dan tali sebagai bahan anyaman.

“Hanya butuh sekitar dua jam untuk menganyam sebuah noken, sedangkan tikar selama dua hari. Bahan anyam sangat halus sehingga butuh konsentrasi serta ketelatenan,” lanjut Ndiken.

Muatan lokal

Pelatihan menganyam berlangsung di aula SMA Negeri 1 Merauke. Setiap SMA maupun SMK mengutus masing-masing lima siswa mereka sebagai peserta pelatihan.

“Siswa akan diajarkan mengayam tas, tikar, dan topi. Mereka didamping langsung oleh kelompok Mama-Mama Papua dari Mangga Dua,” ujar Ndiken.

Ide pelatihan menganyam didapat Ndiken setelah bersama Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua diundang ke Jakarta, beberapa waktu lalu. Mereka mendiskusikan upaya pelestarian budaya lokal agar menarik bagi para generasi muda.

“Pada tahun lalu kami fokuskan kepada seni lukis, sedangkan tahun ini ialah kriya. Kami berharap ada art shop (toko seni) di sekolah masing-masing untuk memamerkan dan menjual kerajinan para siswa,” kata Ndiken.

Anyaman bagi warga Pulau Kimaam bukan sebatas produk kerajinan. Tradisi ini juga berkaitan dengan pesta adat Ndambu.

“Produk anyaman diharapkan bisa dipamerkan saat Pekan Olahraga Nasional (PON) 2020. Ini bisa menjadi ikon daerah sekaligus cenderamata,” ujar Ndiken.

Muara utama dari program pengayam masuk sekolah ini ialah menjadikan tradisi menganyam sebagai bahan pelajaran dalam muatan lokal di sekolah. Karena itu, pelatihan juga menyertakan guru pendamping. Para guru tersebut diharapkan bisa mengembangkannya menjadi bahan pelajaran di sekolah masing-masing.

“Kerajinan ini sudah terdaftar di katalog nasional sebagai benda budaya warisan Nusantara. Jadi, saya berharap pemerintah membuat regulasi untuk memperkuat pelestariannya (tradisi menganyam) sebagai identitas budaya,” kata Ndiken. (*)

Editor: Aries Munandar

Related posts

Leave a Reply