Papua No. 1 News Portal I Jubi,
Deiyai, Jubi – Solidaritas Peduli Kemanusiaan Rakyat Deiyai (SPKRD) di halaman kantor DPRD Deiyai, Senin, (21/8/2017) membacakan sebuah surat yang ditujukan kepada Presiden Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (Dewan HAM—ed) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss.
Surat itu dibuat terkait kasus penembakan di Deiyai 1 Agustus 2017 yang menewaskan Yulianus Pigai (30) dan melukai 16 orang lainnya. Dengan adanya kasus penembakan tersebut, di dalam suratnya SPKRD hendak membantah pernyataan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H.Laoly dihadapan sidang UPR (Universal Periodic Report) Dewan HAM PBB 3 Mei 2017 lalu terkait penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang diklaim berjalan baik.
“Yang mulia Presiden Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan segala rasa penyesalan kami keluarga korban kasus Deiyai Berdarah, 1 Agustus 2017 di kampung Oneibo, Distrik Tigi merendahkan diri datang di hadapan Bapak berkaitan dengan laporan nasional Indonesia, terkait komitmen penanganan kasus penyelesaian Pelanggaran HAM sebagaimana yang dipresentasikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Yulianus Mote di sela-sela aksi damai ribuan masyarakat Deiyai, Senin (21/8).
Yulianus melanjutkan, kenyataannya justru setelah Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM menyampaikan komitmennya dihadapan forum UPR tersebut, “dua bulan kemudian pada 1 Agutus 2017, anggota Brimob Polda Papua menembak 17 warga sipil di Kabupaten Deiyai, Papua,” tegasnya.
Untuk itu, mereka menyampaikan tiga permintaan utama kepada Dewan HAM PBB. Pertama, mendesak PBB membentuk tim Pencari Fakta Pelanggaran HAM di Papua, termasuk penembakan di Oneibo, Deiyai; meminta PBB mendesak Pemerintah Indonesia agar membuka akses bagi wartawan asing dan lembaga-lembaga HAM internasional agar bebas masuk ke Provinsi Papua dan Papua Barat; serta diselenggarakannya sebuah dialog yang terbuka dan bermartabat antara Pemerintah Indonesia dan korban-korban pelanggaran HAM di Tanah Papua terutama wilayah adat Meepago yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
Surat itu ditandatangani oleh SPKRD, Yulianus Mote dan keluarga korban, serta tokoh adat, agama, perempuan, pemuda, mahasiswa, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Deiyai yang dialamatkan juga ke anggota Dewan HAM PBB, Presiden Republik Indonesia, Kapolri, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Kapolda Papua, KOMPOLNAS dan KOMNAS HAM Republik Indonesia.
Sementara sebelumnya, 15 Agustus 2017, International Coalition for Papua (ICP), sebuah koalisi internasional berbasis keagamaan dan lintas lembaga non pemerintah peduli HAM juga melayangkan permohonan mendesak kepada Prosedur-prosedur Khusus Dewan HAM PBB untuk mengambil tindakan atas kasus penembakan di Deiyai.
ICP meminta perhatian khusus kepada Special Rapporteur (pelapor khusus) eksekusi cepat, sepihak diluar pengadilan, Agnes Callamard; Special Rapporteur atas perlakuan kejam dan tidak manusiawi, Nils Melzer; Special Rapporteur atas hak masyarakat asli, Victoria Tauli Corpuz serta Special Rapporteur atas isu-isu minoritas, Fernand de Varennes RP, Doyen.
“Sebagai koalisi berbasis keagamaan dan organisasi-organisasi non pemerintah dengan fokus pada HAM, kami tidak yakin kasus penembakan Oneibo akan diproses sesuai dengan standa-standar HAM internasional, seperti yang telah terjadi pada banyak kasus pelanggaran HAM di Papua sebelumnya,” ujar ICP dalam permohonan tertanggal 15 Agustus 2017 yang dirilis melalui situs resminya.
Oleh karena itu, ICP mendesak PBB agar angkat bicara terkait kasus ini kepada pemerintah Indonesia, untuk menekankan pemenuhan hak untuk hidup sebagai kewajiban negara anggota ICESCR (Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang harus menghormati, melindungi dan memenuhi semua hak-hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam perjanjian itu.
Secara khusus ICP mendesak Dewan HAM agar memastikan kasus Oneibo diselesaikan dengan memenuhi standar HAM internasional dan nasional, termasuk penghukuman para pelaku dalam peradilan yang adil. Mereka juga meminta agar kinerja KOMNAS HAM RI ditinjau, khususnya terkait penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang berhenti di Kejaksaan Agung RI.
ICP juga menyerukan agar Papua dibuka bagi organisasi-organisasi HAM internasional, jurnalis dan pemantau internasional, termasuk mengundang Special Rapporteurs atas Eksekusi cepat dan diluar pengadilan, Special Rapporteurs atas hak masyarakat asli dan perlakuan kejam dan tidak manusiawi, untuk dapat berkunjung ke Indonesia, terlebih West Papua.(*)