Merehabilitasi “anak-anak aibon” di Merauke (2)

Anak-anak yang ketagihan lem aibon di Merauke – Jubi/Frans L Kobun
Anak-anak yang ketagihan lem aibon di Merauke – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Tulisan ini bagian kedua dan terakhir menyorot tentang fenomena anak-anak ketagihan mengisap ‘lem aibon’ di Merauke. Selamat membaca.

Read More

“Melihat banyaknya anak Papua yang menyalahgunakan lem aibon, kami pernah membuat dapur umum, tiga bulan kami memberikan makan gratis kepada mereka,” kata Ana Mahuze.

Program dapur umum tersebut merupakan kerja sama Forum Peduli Penyalahgunaan Lem (FP2L) Merauke dengan Pemerintah Kabupaten Merauke.

“Dengan memberikan makanan rutin tiap hari selama tiga bulan serta penyuluhan pada 2019 agar bisa mengalihkan perhatian anak-anak untuk tidak menggunakan lem aibon lagi,” katanya.

Selain itu, kata Mahuze, forum juga melakukan penyuluhan secara kontinu tentang bahaya mengisap lem.

“Hanya saja usaha yang dilakukan belum terwujud karena ternyata anak-anak masih mengisap lem aibon secara sembunyi-sembunyi, tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana mencari jalan terbaik ke depan,” ujarnya.

Norbertha Sakat, 45 tahun, perempuan warga Meruake mengaku pernah menampung di rumahnya 25 anak yang sering mengisap lem aibon. Ia mengaku mencoba memberikan pemahaman bahaya penggunaan lem tersebut, namun setelah dua minggu satu persatu mereka pergi tanpa alasan yang jelas.

“Ya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin agar mereka menghentikan kebiasaan itu, namun mereka pergi secara diam-diam,” ujarnya.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Merauke, Yohanes Samkakai – Jubi/Frans L. Kobun

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Merauke, Yohanes Samkakai, mengatakan dinasnya belum memiliki data terbaru anak-anak pengguna lem aibon karena ia baru menjabat. Namun ia mengaku sudah meminta kepada Bidang Rehabilitasi agar secepatnya melakukan pendataan.

Secara umum, katanya, anak-anak pengguna lem aibon berusia Sekolah Dasar. Mereka juga anak Papua yang datang bersama orangtua mereka dari Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi.

Untuk penanganan lebih lanjut, katanya, tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Sosial Kabupaten Merauke, tetapi sejumlah instansi terkait.

“Nanti setelah data real kami dapatkan akan dipresentasikan kepada Bupati Merauke untuk dicari jalan keluar penanganannya,” ujarnya.

Menurut Yohanes anak-anak pengguna lem aibon menjadi masalah yang tak pernah habis. Salah satu cara agar kebiasaan menghirup lem aibon dihentikan adalah dengan program rehabilitasi.

“Anak-anak itu bukan hanya putus sekolah, tetapi ada juga yang tidak sekolah dan sudah terjerumus pada penggunaan lem aibon,” katanya.

Penyebabnya, kata Yohanes, karena keterbatasan hidup keluarga mereka. Orangtua anak-anak tersebut tidak memiliki pendapatan tetap atau dari keluarga kurang mampu, sehingga anak mereka tidak bisa diurus dengan baik.

“Dengan demikian mereka pergi ke mana saja tanpa dikontrol, mereka melakukan apa saja di luar untuk mendapatkan uang, setelah itu dimanfaatkan untuk membeli lem sekaligus dihirup,” ujarnya.

Yohanes mengatakan Pemkab Merauke berencana membangun rumah singgah sekaligus tempat rehabilitas bagi anak-anak aibon. Namun sebelum dibangun perlu kajian akademis yang rencananya akan dilakukan bekerja sama dengan salah satu universitas di Merauke.

Menurutnya rumah singgah penting agar anak-anak yang sudah lama ketagihan bisa ditampung di satu tempat untuk memudahkan pengontrolan sekaligus penyuluhan.

Lalu, bagaimana dampak kesehatan terhadap anak-anak yang biasa menghirup lem?

dr. Sukmawati Machmud – Jubi/Frans L Kobun

Dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke, dr. Sukmawati Machmud, M. Kes, Sp.KJ menceritakan pengalamannya menangani seorang pasien anak Papua berusia 10 tahun yang kecanduan menghirup lem aibon.

Dokter Sukma menceritakan awalnya anak tersebut dibawa orangtuanya untuk berkonsultasi ke dokter saraf, karena dia sering emosi dan berhalusinasi mendengar suara.

“Orangtuanya tak bisa atasi lalu dibawa ke rumah sakit, dokter saraf menyarankan langsung ke saya, saat orangtua bersama anaknya datang saya menyampaikan kalau anak tersebut telah menggunakan lem aibon sehingga cepat emosi dan berhalusinasi,” katanya kepada Jubi, Selasa, 18 Februari 2020.

Menurut Dokter Sukma anak tersebut tidak mengaku menggunakan lem, namun ia mengetahui dari orang-orang yang melihatnya sering menghirup lem bersama teman-temannya.

“Anak itu mengalami gangguan jiwa, tapi belum setahun menghirup lem aibon sehingga kerusakan sarafnya belum permanen, jadi masih bisa diobati,” ujarnya.

Setelah ditangani kondisi anak tersebut sudah sehat kembali dan tidak lagi menghirup lem.

Selain memberikan obat, Dokter Sukma juga menyampaikan edukasi kepada pasien jika menghirup lem aibon terus maka saraf akan rusak dan bisa menjadi gila.

“Dari situ perlahan dia mulai sadar,” katanya.

Ia juga meminta orangtuanya untuk mengawasi anaknya dengan ketat.

Dokter Sukma mengatakan dampak dari menghirup lem aibon adalah membuat orang teler. Hal itu lebih banyak terjadi kepada anak-anak karena mereka bisa membeli lem ‘Castol’ atau ‘Fox’ di kios maupun toko lantaran harganya sangat murah.

Dengan menghirup lem aibon dampaknya akan merusak paru-paru dan sel-sel otak. Lalu kalau ketagihan maka saraf menjadi rusak dan terjadi gangguan pada hormon otak yang akhirnya menimbulkan gangguan jiwa.

“Pengalaman saya saat menangani orang di Makassar sampai terjadi gangguan permanen, kalau di Papua belum seberapa, tetapi di kota besar lain sudah sampai gangguan jiwa dan menjadi gila akibat kecanduan menghirup lem aibon,” katanya.

Ketika orang sudah teler menggunakan lem tersebut ia akan kehilangan kesadaran.

“Memang kalau orang sudah setahun menggunakan lem aibon dianggap sebagai penyalahgunaan zat dan sulit diobati, kalau di bawah satu tahun masih bisa ditangani,” ujarnya.

Dokter Sukma menambahkan ketika orang sudah menggunakan lem aibon maka pasti badannya kurus. Sebab nafsu makannya berkurang, lalu mereka cenderung melakukan tindakan kejahatan karena efek halusinasi.

Ia mendukung rencana Pemkab Merauke membangun rumah singgah.

“Saya kira itu langkah tepat dan harus segera direalisasikan sehingga edukasi dari efek sampingan penggunaan lem aibon dapat disampaikan terus-menerus kepada anak-anak,” katanya.

Selain itu, tambahnya, peran dari orangtua, guru, dan lingkungan sekitar juga perlu.

“Intervensi pemerintah kabupaten juga perlu untuk membatasi anak-anak membeli lem,” katanya. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply