Merefleksikan kemandirian Orang Papua lewat film Meri Markham dan Yu Ken Mekim

Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,

Jayapura, Jubi – Meri Markham dan Yu ken mekim adalah dua film tentang perempuan Papua Nugini yang diputar pada Sabtu, 4 Februari 2017 oleh Komunitas Sastra Papua (Ko'SaPa). Ini adalah pemutaran ke-4 di tahun 2017 yang dilaksanakan setiap Sabtu pukul 17:00 oleh di Museum Antropolgi Universitas Cenderwasih.

Meri Markham adalah kisah Jenifer Baing Waiko, seorang perempuan peranakan Papua Nugini-Selandia Baru, yang sudah menempuh pendidikan tinggi di Australia lalu kembali ke PNG dan menjadi petani. Selain itu dia menggagas berbagai kegiatan budaya bersama masyarakat.

Dia sanggup menembus batas-batas kebudayaan dan tampil menjadi perempuan yang diakui perannya sejajar dengan kaum lelaki pemimpin kampung dan adat di seikitar Markham.

Hal itu membuat Jenifer, di tahun 2012, maju menjadi calon dalam Pemilu di Markham. Meri Markham  bercerita tentang pengalamannya maju dan kalah dalam pemilu, namun tak menghentikan langkahnya mengabdi pada masyarakat tempat ia berasal.  

Film kedua Yu Ken Mekim, di bagian PNG lainnya, bercerita tentang perjalanan Rita Kare dari seorang penjual makanan pinggir jalan hingga dapat memiliki Restoran steak di Goroka.

Dia mengelola usaha restorannya dengan cukup sukses, hingga api melalap habis restaurannya itu. Bersama suami dan anak-anaknya dia memulai kembali usaha tersebut hampir-hampir dari nol. Berkat kerja keras dan dukungan keluarga, Restoran Steak itu berdiri kembali bahkan dengan konsep yang lebih baik.

Perubahan kebudayaan dan pengalaman penindasan Orang Papua

Seperti biasanya, pemutaran film dilanjutkan dengan tukar pikiran antar orang-orang yang menonton terkait film dan refleksinya atas kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.

Alfonza Wayap, salah seorang organisator Sabtu Nonton Kosapa membuka sesi tukar pikiran dengan pertanyaan, “bagaimana refleksi dua film itu dengan pengalaman hidup orang Papua saat ini, terutama perempuan?”

Dari pertanyaan pancingan tersebut, ternyata reaksi sekitar 30-an orang penonton tidak saja merefleksikan pengalaman perempuan Papua, namun juga pengalaman keseluruhan orang Papua saat ini. Disebutkan bahwa yang tampak saat ini, orang Papua semakin tidak berdaya dengan perubahan-perubahan yang terjadi.

Akar penyebab dari ketidakberdayaan itu diungkapkan oleh beberapa orang yang hadir. Beberapa diantaranya menyoroti sejarah perkembangan kebudayaan orang Papua. Orang Papua menghadapi perkembangan yang cukup cepat. Dari hidup komunal suku-suku lalu didorong masuk ke kehidupan baru dibawah pengaruh agama dan kekuasaan Pemerintah Belanda, kemudian masuk lagi ke kekuasaan Pemerintah Indonesia.

Ada perbedaan pendekatan pembangunan antara yang dilakukan Belanda dan yang kemudian dilakukan oleh Indonesia di Papua. Belanda misalkan, mempelajari bahasa, karakter, dan pengetahuan lokal dalam kebudayaan suku-suku di Papua. Sedangkan masuknya Indonesia, sebaliknya memaksakan sesuatu yang dibawa dari luar untuk diikuti oleh orang Papua. Maka yang terjadi kemudian, orang Papua tercerabut dari budayanya dan ‘dipaksa’ mengikuti kebudayaan baru yang, ternyata, juga sulit untuk diikuti.

Hal lainnya yang tidak bisa dipungkiri adalah persoalan politik Papua dengan Indonesia. Pengalaman kekerasan dan penindasan dalam kurun waktu yang cukup lama juga mempengaruhi perkembangan orang Papua.

Sementara itu soal penindasan terhadap perempuan, menurut seorang Dosen di Universitas Cenderawasih (Uncen) Alfrida, hampir sama di semua tempat. Pengaruh kebudayaan yang menganut patriarki salahsatunya menyebabkan pembatasan peran-peran perempuan.

Terkait peluang perempuan untuk menjadi pemimpin, aturan Kuota 30% bagi perempuan duduk di parlemen seperti diatur dalam UU menurut Alfrida, tidak bisa sekali jadi. Aturan seperti itu menurut dia tidak akan berguna kalau perempuan sendiri tidak mendapat kesempatan menempuh pendidikan, masih didiskrimasi dan mengalami kekerasan.

Otsus yang tidak memberdayakan

Lalu di tengah situasi ini, muncul pertanyaan bagaimana manfaat otonomi khusus yang sejak 2001 berlaku di Papua? Karena makna utama dari otonomi khusus sebetulnya adalah pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan orang asli Papua.

Menurut Ismail Alua, seorang aktivis mahasiswa, meskipun uang otsus begitu banyak, orang Papua duduk dalam birokrasi dan parlemen, namun kenyataanya bahwa hari ini orang Papua makin tidak berdaya dengan perubahan-perubahan yang terjadi. “Malah otonomi khusus membuat karakter berjuang orang Papua menjadi hilang,” ujarnya.

Alex Giay, salah seorang penggiat Ko’sapa asal Meepago mengambil contoh kongkrit tentang bisnis yang ada di kota Jayapura saat ini. Mulai dari warung-warung makan kecil pun tidak ada satupun milik orang Papua. “Pom Bensin hanya 1 dan hotel hanya 2 (yang milik orang Papua), dari sekian banyak jumlah yang ada di Kota Jayapura saat ini,” kata dia.

Hal yang sama diungkapkan oleh Hanok Herison Pigai, yang berkecimpung dalam upaya membangun gerakan pengembangan kopi hulu-hilir di Meepago. Menurut dia, jika menghitung uang yang masuk ke kampung-kampung saat ini, tidak sedikit jumlahnya, dan itu bukannya memberdayakan malah menghancurkan masyarakat.

“Ada masalah dalam memahami otonomi khusus itu sendiri. Selama ini yang terjadi adalah otonomi khusus dipahami sebagai bagi-bagi uang langsung kepada masyarakat, padahal poin utama otonomi khusus adalah bagaimana uang itu dikelola sedemikian rupa lewat berbagai kegiatan untuk memandirikan orang Papua,” ujar dia.

Yang terjadi, lanjutnya, uang-uang dari otonomi khusus malah lari ke tangan migran yang saat ini melakukan berbagai aktivitas ekonomi di Tanah Papua.

Menurut dia, otonomi khusus juga belum diterjemahkan ke dalam peraturan-peraturan yang benar-benar menjamin tercapainya tujuan otonomi khusus itu sendiri di mana orang Papua diakui, dihormati, diberdayakan dan berkembang sesuai jati dirinya.

Manfaatkan potensi yang ada untuk maju

Namun demikian, harapan besar juga muncul dalam diskusi ini.

Yali, seorang aktivis KNPB yang berpengalaman mengunjungi Papua Nugini menyampaikan bahwa dibandingkan dengan situasi di PNG, kehidupan orang Papua saat ini jauh lebih baik. Maka menurut dia saat ini tergantung masyarakat Papua sendiri bagaimana memanfaatkan peluang ini untuk bangkit memperkuat diri.

Agus Kadepa, penggerak Gerakan Papua Mengajar (GPM) berpendapat serupa. Menurutnya, di tengah situasi ini perlu ada gerakan dari masing-masing orang untuk membuat perubahan. “Kunci utamanya adalah mimpi pribadi masing-masing untuk berbuat sesuatu bagi tanah ini dengan menggunakan dengan potensi yang sekarang dimiliki,” ujarnya.

Sementara Alex menekankan dua hal penting yang mesti diperhatikan, yaitu bagaimana pengetahuan dan keterampilan orang-orang Papua saat ini perlu ditingkatkan dan bagaimana kebudayaan sebagai kekuatan identitas dilestarikan.

Alex menyebut contoh Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Paniai yang pernah menjadi pusat pelatihan keterampilan kepada ibu-ibu. Sayangnya pusat pelatihan seperti itu sudah diputus sehingga perlu dihidupkan lagi bahkan diperbanyak.

Bagi Alex, berbagai gereja yang ada di Tanah Papua saat ini seharusnya bisa menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk memberdayakan orang Papua.

Terkait bagaimana perempuan bisa berkembang baik di bidang politik maupun ekonomi, menurut Alfrida kunci utamanya dengan memberikan kesempatan dan dukungan kepada perempuan untuk mendapat  pendidikan yang layak, tidak mendiskrimasi perempuan dan melindungi perempuan dari kekerasan.

Menurutnya di Papua saat ini cukup banyak perempuan yang sudah memimpin. Meri Markham dan Yu ken mekim telah memberi inspirasi untuk mengangkat profil-profil perempuan-perempuan tersebut melalui film.(*) 

Artikel ini ditulis oleh Asrida Elisabeth

Related posts

Leave a Reply