Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Hari Suroto
Kampanye calon legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 telah usai, 13 April 2019 yang lalu. Pesta demokrasi yaitu pemilu seharusnya menjadi kesempatan yang bagus untuk turut mengkampanyekan penggunaan noken.
Walaupun noken sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda tetapi dalam kehidupan sehar-hari masih banyak yang tidak mengenakan noken.
Bahkan anak muda dan generasi terpelajar Papua lebih suka mengenakan tas yang dibeli di toko.
Hal ini berbeda dengan batik, begitu batik diakui UNESCO, maka terjadi euforia dimana-mana, bahkan daerah yang sebelumnya tidak dikenal sebagai penghasil batik, kemudian ikut membuat batik khas daerahnya seperti Raja Ampat, Kaimana, dan Jayapura.
Batik sebelumnya hanya dipakai dalam acara-acara resmi, tetapi sekarang anak muda dan generasi milenial suka memakai batik dalam berbagai kesempatan.
Berkaitan dengan pesta demokrasi 2019, pengamatan di lapangan tidak terlihat caleg mengenakan noken dalam setiap kampanyenya, atau dalam alat peraga kampanye mereka baik baliho, poster, leaflet, maupun kaos.
Begitu pula bagi penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu, maupun panitia pemungutan suara di tiap-tiap TPS para saksi serta warga pemilih tidak semua mengenakan noken pada hari pencoblosan.
Dengan pengunaan noken dalam pesta demokrasi, maka noken akan semakin popular dan dampak ekonominya adalah kesejahteraan mama-mama pengrajin noken akan meningkat.
Berkaitan dengan pemilu sistem noken, menurut saya itu merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat pegunungan Papua. Ada dua macam yaitu noken digunakan sebagai pengganti kotak suara, dengan one man one vote secara demokratis.
Atau noken sebagai sistem pemilu yaitu suara sepenuhnya diserahkan kepada kepala suku atau pemimpin adat yang dihormati untuk memilih satu caleg atau capres. Pemilihan model ini sebenarnya merupakan suara keseluruhan warga pemilih yang diwakilkan kepada salah satu kepala suku atau tokoh adat yang dihormati.
Suara ini merupakan hasil musyawarah warga pemilih dalam menentukan calon yang dipilih atau bisa juga sebelumnya tanpa musyawarah tetapi pengambilan keputusan langsung diserahkan kepada kepala suku.
Dalam sistem noken ada deal-deal politik atau janji-janji antara calon dengan tokoh adat sebagai perwakilan warganya.
Ada segi positif dalam sistem ini, yaitu janji-janji politik akan dipegang bersama antara calon dan warga pemilih.
Jika calon terpilih dan dia tidak menepati janjinya, maka di pemilu selanjutnya masyarakat tidak akan memilih lagi. Selain itu si calon terpilih akan malu untuk berkampanye lagi ke daerah tersebut.
Namun dalam sistem noken ada kelemahannya yaitu suara warga pemilih bisa dibeli, walaupun selama ini tidak terpublikasikan secara umum, dan pembelian suara itu dikemas dengan cara pemberian bantuan-bantuan dana sosial, hal ini mudah dilakukan oleh pertahana.
Sistem noken sebenarnya merupakan cara efektif dalam pemilu terutama di daerah pegunungan dan pedalaman, hal ini karena penduduk tinggal terpencar di lereng gunung, tepi sungai, di lembah maupun di dalam hutan, yang tidak ada akses jalan darat untuk menuju ke tempat pemungutan suara. Atau karena tempat tinggal mereka terisolasi sehingga warga pemilih akan membutuhkan waktu lama atau berhari-hari berjalan menuju TPS.
Namun ya itu, yang penting dalam pengambilan suara atau pemilihan salah satu calon harus merupakan hasil musyawarah dan kesepakatan bersama.
Tetapi ke depan atau di tahun-tahun mendatang, jika infrastruktur sudah baik, baik itu infrastruktur jalan, jaringan telekomunikasi atau internet, maka seharusnya sistem noken tidak dipakai lagi, tetapi dikembalikan ke sistem demokrasi yaitu one man one vote. (*)
Editor: Timo Marthen