Jubi | Tetap No. 1 di Tanah Papua,
Oleh : Damian Christop
PERNYATAAN Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Selandia Baru di beberapa media Indonesia yang menyebutkan Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua, Benny Wenda sebagai buronan dan penipu menunjukkan lemahnya kapasitas Tantowi Yahya sebagai Dubes.
Tantowi yang mantan artis Indonesia ini sepertinya tak paham bahwa pekerjaan seorang Dubes adalah melakukan diplomasi, bukan malah tampil di media massa dengan omong kosong tanpa fakta. Sebagai dubes ia seharusnya memiliki pemahaman luas tentang isu Papua di forum internasional. Alih-alih berdiplomasi tentang isu Papua, Tantowi malah melempar tuduhan tanpa bukti.
Buronan siapa?
Jika Benny Wenda adalah buronan, siapa yang menginginkan Benny Wenda ditangkap? Interpol? Apakah Tantowi Yahya tidak pernah membaca surat kabar sehingga tidak tahu bahwa Benny Wenda sudah dihapus dari daftar Interpol sejak tahun 2012.
Tahukah Tantowi Yahya bahwa pada awal tahun 2000, Billy Wibisono, sekretaris bidang informasi dan sosial budaya Kedubes Indonesia di Inggris menuduh Benny Wenda dan beberapa rekannya terlibat dalam penyerangan pos polisi di Abepura pada tanggal 7 Desember 2000 yang menyebabkan beberapa orang tewas dan kerusakan di kantor polisi tersebut.
Tuduhan ini dilemparkan pada Benny Wenda, sebelum ia mendapatkan suaka dari pemerintah Inggris pada tahun 2002 setelah mendengar tuduhan Benny Wenda dianiaya oleh pemerintah Indonesia.
Setelah sempat memburu Benny Wenda atas tuduhan pemerintah Indonesia tersebut, pihak Interpol akhirnya memutuskan bahwa kasus Benny Wenda adalah kasus politik, bukan kriminal atau kejahatan kemanusiaan.
Dalam sebuah surat kepada Fair Trials International, yang telah berkampanye untuk Benny Wenda, Komisi Pengawasan File Interpol (Commission for the Control of Interpol’s Files) mengatakan bahwa kasus Benny Wenda telah dihapus dari daftar buronan Interpol.
“Setelah kembali memeriksa semua informasi yang tersedia untuk itu … Komisi akhirnya menilai bahwa kasus terhadap klien Anda adalah masalah politik biasa,” kata surat dari Komisi Pengawasan File Interpol sebagaimana dilansir BBC.
Jago Russell, kepala eksekutif Fair Trials International, mengatakan kepada BBC, “Kami sangat senang bahwa Interpol kini telah menyadari kesalahan ini.Tetapi pengamanan diperlukan untuk menghentikan negara lain menyalahgunakan Interpol dan menghancurkan hidup dan reputasi dalam sebuah proses.”
Jika Benny Wenda adalah seorang buronan seperti yang dituduhkan oleh Tantowi Yahya, tentu Benny Wenda tak akan bisa berkampanye di Selandia Baru atau negara lainnya seperti yang dia lakukan selama ini.
Sebagai seorang Dubes, Tantowi Yahya seharusnya paham bagaimana Benny Wenda bisa diterima di Selandia Baru. Seorang buronan tidak bebas masuk dan beraktifitas di sebuah negara. Bukan saja di negara dimana buronan tersebut datang, bahkan di negara dimana buronan tersebut tinggal.
Faktanya, Benny Wenda diterima di Selandia Baru dan bebas beraktifitas di parlemen dan ruang public lainnya seperti Universitas Victoria Wellington.
Siapa yang menipu?
Menuduh Benny Wenda sebagai penipu pun tanpa dasar yang jelas. Benny Wenda menyampaikan situasi yang sebenarnya di Papua, seperti pembunuhan, penembakan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi selama ini.
Ia berkampanye tentang pelanggaran HAM di Papua seperti Kasus Paniai berdarah, penangkapan dan penembakan orang asli Papua yang didiamkan oleh pemerintah Indonesia. Ia berkampanye untuk memerdekakan Papua pun tidak dengan menipu.
Benny Wenda tidak hanya tinggal sejauh 9.000 mil dari Indonesia dan hidup dalam pengasingan di Inggris, tapi ia juga merupakan pemimpin gerakan kemerdekaan yang mencintai perdamaian. Pun, sebagai nominator Nobel Perdamaian, selama ini ia selalu mengadvokasi solusi damai agar warga Papua dapat dengan tenang menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui sebuah referendum kemerdekaan.
Sebagai orang yang pernah mengalami kekerasan aparat keamanan dan tuduhan pemerintah Indonesia, Benny Wenda paham betul jika militer dan kepolisian Indonesia memiliki sejarah yang panjang atas berbagai usaha mengaburkan kejahatan hak asasi manusia mereka. Tuduhan terhadap dirinya ini merupakan cerita lama yang kembali digulirkan.
“Saya mengingat dengan baik bagaimana pemerintah Indonesia berusaha membungkam kampanye pembebasan Papua dengan menerbitkan Red Notice atas nama saya kepada Interpol pada tahun 2011. Pemberitahuan itu belakangan diabaikan Interpol karena mereka menganggap itu sangat politis’” tulis Benny Wenda dalam surat terbukanya setelah dituduh terlibat Polsek Sinak di Kabupaten Puncak, Papua pada tahun 2016
“Mengapa setelah lebih dari setahun, otoritas Indonesia masih belum menemukan pelaku pembunuhan massal terhadap anak-anak Papua di Paniai, namun di sisi lain dalam 24 jam segera menyalahkan saya atas tewasnya beberapa anggota kepolisian?” tanya Benny Wenda.
Kapolri Badrodin Haiti pernah menuduh “kelompok Benny Wenda” secara langsung bertanggung jawab atas kematian anggota Polri meski dia tahu Benny Wenda tidak pernah terlibat dalam tindak kekerasan apapun dan tidak memimpin kelompok apapun yang melakukan kekerasan.
“Kalaupun dia (Kapolri) benar-benar menuduh saya, maka dia sebenarnya sedang berbohong. Saya menyarankannya memeriksa fakta dan kembali belajar,” kata Benny Wenda dalam surat terbukanya itu.
Jadi, siapa yang sebenarnya menipu dalam hal ini?
Pemerintah Indonesia sebaiknya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM Papua seperti yang dijanjikan oleh Luhut Panjaitan saat menjabat Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) daripada menyebarkan tuduhan yang tidak berdasar. Sudah satu tahun berlalu, sejak janji setahun menyelesaikan kasus Wasior, Wamena dan Paniai, namun tidak ada kejelasan penyelesaian kasus-kasus tersebut. Bahkan hingga jabatan Menkopolhukam beralih kepada Wiranto, pemerintah Indonesia tak kunjung menunjukkan keseriusan menuntaskannya. (*)
Penulis adalah pemerhati masalah Papua, tinggal di London, Inggris