Sorong, Jubi – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari meminta Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan lebih elegan dan bijaksana dalam menyikapi persoalan politik dan keamanan di Papua.
Hal itu ditegaskan Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussi menanggapi pernyataan Menteri Luhut, Jumat pekan lalu tentang adanya pendirian kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Wamena, Jayawijaya.
Menurut Warinussi pernyataan tersebut menunjukkan isu Papua makin menguat terutama melalui Melanesian Spearhead Groups dan PIF.
“Sikap Luhut Panjaitan sama sekali tidak mencerminkan posisinya sebagai seorang Menkopolhukam di kabinet Jokowi-JK yang seharusnya lebih arif dan elegan dalam menyikapi situasi politik dan keamanan di Tanah Papua, khususnya dalam menghadapi aksi pendirian kantor ULMWP,” katanya.
“Ya pergi saja mereka ke MSG sana, jangan tinggal di Indonesia lagi,” ujar Luhut seperti dilansir kompas.com, Jumat (19/2/2016).
Warinussy menilai Pemerintah Indonesia jauh lebih memahami keberadaan ULMWP sebagai organisasi perjuangan hak politik orang Papua yang sudah menjadi bagian dari MSG bersama-sama dengan Indonesia yang diwakili oleh lima provinsi, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur.
“Kantor perwakilan ULMWP dalam posisinya sebagai sebuah organisasi anggota MSG memiliki makna dan kepentingan langsung dalam mewujudkan klarifikasi atas semua persoalan HAM selama lebih dari 50 tahun,” katanya.
Menurut dia pemerintah seharusnya tidak melarang ULMWP karena dipilih secara legal oleh rakyat Papua dalam Konferensi Perdamaian Papua (KPP), 5 – 7 Juni 2011 di auditorium Universitas Cenderawasih, Abepura. Octovianus Mote, Rex Rumakiek, Benny Wenda, Leoni Tanggahma dan Dr.John Otto Ondowame kala itu ditetapkan sebagai juru bicara dalam KPP yang diresmikan Menkopolhukam Djoko Suyanto tersebut.
Tokoh Pemuda Sorong Jhon Malibela menilai pernyataan Menteri Luhut menandakan pemerintah tidak konsisten mendorong pelaksanaan otonomi khusus Papua.
“Otsus dapat dikatakan gagal, karena memang tujuannya sebagaimana termaktub dalam pasal 44 dan 45 dalam menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan politik antara Jakarta-Papua mengenai sejarah integrasi Papua,” katanya. (Niko MB)