Menimang kisah Pinang

Pinang. - RNZI/Johnny Blades
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Baru setahun belakangan ini, Max belajar makan pinang. Mula-mula dia mual dan pusing. Lama-lama jadi biasa.Untung tidak jadi candu. “Sa sekali-sekali saja makan pinang, kalau kumpul dengan teman-teman,bikin Mop” ujarnya kepada Jubi baru-baru ini.

Meski lahir besar di Papua, Max tidak terbiasa mengunyah Sirih Pinang. Di kampung halamannya, Distrik Miyah Selatan, Kabupaten Tambraw, Papua Barat mengkonsumsi pinang tidak familiar. Miyah adalah wilayah pegunungan. Makan Pinang memang lekat dengan budaya orang Papua pesisir.

Read More

Dia geli sendiri. Karena belajar makan pinang bukan di tanah Papua. Tapi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota pelajar tempatnya menempuh studi di salah satu perguruan tinggi. “Jadi saya pertama makan pinang di Yogyakarta,saat berusia 23 tahun,” ujarnya terkekeh. Makan Pinang dia jadikan alat pergaulan antar sesama pelajar Papua. Dia sempat tanya-tanya darimana asal Pinang yang biasa dijajakan Mas-mas dan Mbak di kawasan Babarsari, Sleman, Yogyakarta itu. “Ada yang bilang dari kawasan Merapi atau Turi.”

Meski pemula di dunia pengunyah Pinang, laki-laki bernama lengkap Maximus Sendik itu, bisa bedakan cita rasa dan kualitas Pinang Yogyakarta – Papua. Buah Pinang dari kaki Merapi, menurutnya lebih besar dan cenderung berair. Dia juga mengaku cepat mual usai mengunyahnya. Sedangkan Pinang Papua yang umumnya berasal dari Jayapura dan Sentani, lebih kecil dan punya cita rasa lebih mantap.  Dia tahu perbedaannya, karena kerap mencicipi Pinang Papua jika ada kawan yang membawanya.

Banyak yang percaya, makan pinang yang punya nama latin Areca catech itu bikin rileks. Bijinya yang pahit,pedas dan hangat, mengandung alkaloid 0,3 – 0,6 persen. Zat ini bisa jadi bahan obat penenang. Makanya,mengunyah Pinang bisa bikin mabuk. Makin segar, makin tinggi kadar alkaloidnya.

Biji pinang telah lama jadi obat. Misalkan untuk haid dengan darah berlebihan, mimisan, panu, kudis, cacingan, disentri dan gigi goyang.

Pinang memang identik dengan budaya orang pesisir. Sebagaimana juga yang berlaku di Papua. Sebenarnya, pohon Pinang dapat tumbuh pada segala jenis tanah. Tapi lebih cocok lagi jika tumbuh di tanah yang kaya unsur hara, tidak berbatu dan berkapur. Tanaman Pinang dapat tumbuh di ketinggian 1 – 1.400 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya akan lebih baik lagi pada iklim tropis dengan pengaruh kondisi laut dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut.

Baca Juga:Meski sedang mahal, penjualan pinang tetap lancar

Buku “Teknologi Budidaya dan Pascapanen Pinang” keluaran Puslitbang Perkebunan (2015) menyebut, asal usul tanaman Pinang hingga saat ini belum ditahu pasti. Kuat dugaan, tanaman ini asli Asia Selatan. Penyebarannya meliputi Asia Selatan, Asia Tenggara, serta beberapa pulau di Laut Pasifik.

Spesies terbesar dari tanaman ini terdapat di Semenanjung Malaya (Malay-Archipelago), Filipina dan Kepulauan Hindia Timur yang kini dikenal sebagai bangsa Indonesia. Di sinilah, pusat keragaman tanaman Pinang terbesar.

Pinang punya banyak nama di belahan Nusantara lainnya. Orang Batak Toba menyebutnya Pining. Bangsa Aceh menyebut Pineung, orang Jawa menamakannya Jambe. Orang Gorontalo mengenalnya sebagai Luhuto.

Mengkonsumsi Pinang adalah budaya tua. Pinang terabadikan pada relief Candi Sukuh di Desa Berjo,Karanganyar,Jawa Tengah yang diduga dibangun sekitar 1359 Saka(1437 Masehi).

Pada reliefnya, pohon Pinang muncul sebagai latar dan bangunan dan rumah.  Pohon pinang muncul pada kisah pertemuan sepasang mempelai yang dikenal dengan nama Sadewa dan Ni Padapa.

Agustinus Riwi Nugroho dalam tesisnya, “Dinamika Budaya Konsumsi Pinang dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari” (Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2016) menulis, dalam tradisi maupun keseharian masyarakat Numfor (Biak), Windesi serta Wamesa (Teluk Wondama) di Manokwari Papua Barat, jamuan Sirih Pinang selalu ada pada prosesi adat dan momentum kebersamaan lainnya.

Kakes, yang terdiri dari sirih, pinang dan kapur selalu hadir dalam pertemuan-pertemuan adat untuk berbagai keperluan; membangun rumah,penyelesaian suatu masalah (perkara),mempersiapkan pesta perkawinan (meminang) ataupun siklus peristiwa kehidupan bersama lainnya.

Pinang sirih menjadi sarana pembangkit semangat(spirit), etos kehidupan yang telah membudaya dengan beragam fungsi; misalnya untuk pemeliharaan dan kesehatan gigi,Yakyaker (antar mas kawin), Kinsor(magis).

Orang Papua yang mendiami pantai utara seperti Biak Numfor,Serui,serta masyarakat Teluk Wondama, mengenal  kebiasaan mengunyah pinang sebagai Panonberen(Windesi) atau Sauw (Wamesa) serta Anropum dalam masyarakat etnis Biak Numfor di Manokwari. Pinang dan sirih adalah jembatan mengawali rembuk bersama. Tidak ikut mengkonsumsi pinang dapat dikatakan ‘tidak tahu adat’. (*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply