Papua No.1 News Portal | Jubi
Linimasa media sosial ramai lagi tagar #PapuanlivesMatter dan #DifabelLivesMatter. Di akun instagramnya, pegiat HAM, Haris Azhar mengunggah gambar buram bertuliskan “sensitive content; this photo contains content that some people may find upsetting”. Konten sensitif. Bikin naik darah.
Heboh itu bermuasal dari Merauke pada Senin (26/7/2021). Saat itu, dua petugas TNI AU menindaki seorang sipil yang diduga sedang mabuk. Itu menurut versi TNI AU.
Dalam video terekam seorang prajurit yang sedang mengunci tangan warga sipil itu hingga tersungkur. Satu prajurit lain menginjak kepala warga tersebut. Aksi ini terekam dalam video berdurasi 1.20 menit. Video itu beredar cepat dan luas hingga viral.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo meminta maaf atas tindakan dua anggotanya itu.
“Kami akan mengevaluasi seluruh anggota kami dan juga akan menindak secara tegas terhadap pelaku yang berbuat kesalahan,” kata Fadjar dalam keterangan video yang diunggah akun Twitter resmi @_TNIAU, Selasa, 27 Juli 2021. diketahui warga Papua yang mendapat penganiayaan itu adalah seorang tunawicara.
Sementara itu, akun twitter Pemimpin Umum Media Jubi.co.id, Victor Mambor, mendadak hilang setelah mengunggah video kekerasan anggota TNI AU terhadap warga sipil di Merauke, Papua.
“Akun twitter Pemimpin Umum JUBI @victorcmambor tiba-tiba hilang 3 jam kemudian setelah mengunggah video kekerasan anggota TNI terhadap orang bisu di Merauke yang viral kemudian,” kata @jubidotcom, Selasa (27/7/2021).
Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mendesak pimpinan TNI AU untuk mencopot secara tidak hormat dua orang oknum TNI AU itu.
Emanuel mengatakan tindakan tegas diperlukan agar aparat keamanan tidak bertindak sewenang-wenang pada warga sipil. Ia meminta agar tindakan dua oknum TNI AU tersebut dibawa ke ranah hukum.
Menurutnya, peristiwa tersebut bisa dikenakan pemidanaan dengan disangkakan Pasal 353 KUHP tentang penganiayaan terencana.
“Kami dengan tegas mengecam tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh dua oknum TNI AU. Atas dasar itu kami minta pada atasannya agar memberikan sanksi yang tegas secara administrasi maka sebaiknya dua oknum itu dipecat secara tidak hormat,” kata Emanuel saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (27/7).
Apa yang terjadi di Merauke juga bikin kita ingat peristiwa yang dialami Obby Kogoya, mahasiswa asal Jayawijaya yang tengah menempuh studi di Yogyakarta.
Baca Juga: Rasialisme terhadap orang Papua dilakukan aparat negara maupun warga
Obby jadi salah satu dari delapan mahasiswa asal Papua yang ditangkap Polda DIY pada 15 Juli 2016 silam. Sebelumnya, ratusan polisi dan anggota sejumlah ormas mengepung Asrama mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Aparat dan ormas hendak menghadang rencana aksi para mahasiswa Papua memperingati 47 tahun Pepera. Aksi itu juga menyuarakan dukungan ke pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) membahas keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi yang getol menyuarakan kemerdekaan Papua Barat.
Obby diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 21 Maret 2017 dengan tuduhan dugaan menyerang dan melukai dua polisi saat aksi itu berlangsung.
Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan itu, mendakwa Obby melanggar pasal 212 jo pasal 213 sub pasal 351 ayat 2 KUHP karena menyerang aparat negara yang sedang bertugas. Ancaman maksimal hukuman bagi Obby adalah lima tahun penjara.
“Terdakwa bersama rekan-rekannya sedang menuju asrama Papua dengan menaiki motor, tapi tidak memakai helm dan tidak bisa menunjukkan surat-surat kendaraan saat sejumlah polisi menghentikan mereka, lalu terjadi saling dorong dan penyerangan ke aparat,” kata Jaksa Iswahyudi, sebagaimana dikutip Tirto.id.
Tim Kuasa Hukum Obby dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta langsung mengajukan keberatan atas dakwaan itu. Salah satu anggota Tim Kuasa Hukum Obby, Yogi Zul Fadli menyatakan seluruh isi dakwaan jaksa untuk kliennya tidak benar.
Sebaliknya, menurut dia, Obby merupakan korban aksi kekerasan sejumlah polisi. Obby ditangkap saat bersama rekan-rekannya menuju Asrama Papua usai membeli singkong. “Banyak foto dan video, yang sudah beredar di media sosial membuktikan Obby adalah korban perilaku keji aparat polisi. Ia diperlakukan seperti binatang,” kata Yogi usai persidangan.
Salah satu momentum kala Obby dianiaya oleh polisi itu, berhasil diabadikan oleh fotografer Tempo di Yogyakarta, Suryo Wibowo. Foto itu beredar luas dan seringkali jadi ikon pada aksi -aksi anti rasisme. Obby dicekik, hidungnya ditarik paksa. Ada juga gambar kepala Obby diinjak seseorang bersepatu Nike.
Kita juga ingat apa yang dialami George Floyd, seorang pria kulit hitam di Minneapolis,Amerika Serikat. Publik marah setelah video viral, yang memperlihatkan momen ketika leher Floyd ditindih oleh petugas polisi bernama derek Chauvin selama hampir sembilan menit. Floyd tewas. Gelombang demonstrasi merebak dimana-mana.
“Bukan pandemi virus corona yang membunuh George Floyd” ujar pengacara Floyd, Benjamin Crump pada saat kebaktian kematian Floyd, sebagaimana dikutip BBC Indonesia, 5 Juni 2020.
“Itu adalah pandemi lainnya,pandemi rasisme dan diskriminasi,” (*)