Menghindari konflik klaim pada pemetaan wilayah adat

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

PEMETAAN wilayah adat di Kabupaten Jayapura sangat penting. Namun, perlu diketahui bahwa pemetaan wilayah adat akan menuju kontestasi atau pertarungan klaim.

Menurut antropolog dari Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, I Ngurah Suryawan, klaim soal tanah adalah sejarah panjang yang hubungannya kadang melekat kuat dan longgar. Relasinya dinamis dan tidak konsisten. Rumusan tentang pemetaan wilayah adat sebagai hak yang melekat pada susunan masyarakat adat perlu dicermati betul.

“Problem hak ini yang menghadapi gempuran kuat perubahan. Sibuk bicara hak tanah, tapi baru lihat tanah sudah dikavling oleh perusahaan, saudara semarga atau marga lain,” kata Ngurah, Kamis, 6 September 2018.

Menurut penulis buku “Papua VS Papua, Perubahan dan Perpecahan Budaya (2017)” ini, tanah sudah terpapar dengan dunia antah-berantah, yang dibawa investasi dan antek anteknya. Klaim sebagai dasar dari pemetaan wilayah adat.

Dengan demikian menjadi persoalan dengan mendaku tanah yang sudah terkoneksi dengan dunia global. Pemetaan wilayah adat juga berasumsi bahwa masyarakat itu entitas yang homogen.

“Pada kenyataan di banyak tempat sesungguhnya masyarakat itu sudah jauh lebih kompleks dalam konteks etnisitas (akibat perkawinan juga mobilitas antar etnik), maupun konteks interes,” ujarnya.

Maka efek dari klaim itu yang juga punya kemungkinan mengeksklusi pihak-pihak tertentu di dalam masyarakat itu sendiri.

“Jadi ada problem di internal masyarakat adat sendiri. Ada pihak yang nanti tereksklusi,” katanya.

Pemetaan wilayah adat berarti pemetaan berbasis kepemilikan adat. Di Sentani sudah teridentifikasi sembilan wilayah adat, dan kemungkinan akan bertambah karena masih terus diidentifikasi.

“Basis pemetaannya adalah wilayah suku. Perencanaan wilayahnya berbasis pada marga-marga, termasuk SDA, bukan hanya tanah, tapi juga kekayaan budaya, kekayaan sosial dan lingkungan hidup,” kata Ita Natalia dari Samdhana Institut.

Ia menyebutkan pembangunan di Jayapura itu berlandaskan adat karena pengusaaan wilayah dan lingkunagn hidup berbasis pada adat, sehingga berjalan seiring pembangunan oleh negara dan oleh masyarakat adat.

Program pemerintah akan disinkronkan ke dalam masyarakat adat, termasuk gagasan dari masyarakat itu sendiri untuk pembangunan. Namun, hal itu tidak bertentangan dengan program-program nasional.

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, pun membentuk gugus tugas untuk melakukan pemetaan wilayah adat. Gugus tugas diketuai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Jayapura, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat adat sendiri. Gugus tugas diluncurkan pada Jumat (5/9/2018) setelah melalui tahapan, sosialisasi, dan finalisasi.

Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional, Abdon Nababan, mengatakan Kabupaten Jayapura menjadi model pengakuan dan perlindungan masyarakat adat

Menurutnya, Papua sebenarnya punya kekhususan dan otonomi khusus (otsus) karena keberadaan otonomi asli masyarakat adat. Peraturan daerah khusus (perdasus) sudah lengkap, UU Otsus lengkap, tapi implementasinya lambat, bahkan macet. Maka Pemkab Jayapura melaksanakan isi otsus itu dalam kaitannya dengan masyarakat adat.

Jayapura juga akan menjadi tuan rumah Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-6 tahun 2022. Maka seluruh bentuk pengakuan yang diharuskan oleh undang-undang dan perdasus ingin diselesaikan, sehingga menjadi salah satu contoh untuk seluruh Indonesia.

Pemkab Jayapura berkeinginan agar pembangunan dimulai dengan kekuatan adat. Maka tokoh-tokoh adat, pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan distrik difasilitasi untuk belajar di Bali. Ini diyakini bahwa adat dapat memperkuat ekonomi daerah, sebab basisnya di kampung-kampung.

Bupati Awoitauw pun memprakarsai pemerintahan dengan distrik sebagai pusat layanan. Yang dilayani adalah masyarakat adat. Kalau masyarakat adat tidak dilayani, maka pelayanan tidak efektif.

“Maka pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dicarikan caranya, sehingga nyambung dengan pemerintahan berbasis distrik,” kata Nababan.

Oleh sebab itulah gugus tugas dinilai penting dan sangat diperlukan. Mereka akan menjadi penggerak, menjembatani OPD dengan masyarakat adat dan pemerintah distrik.

“Pemetaan, wilayah adat inilah memang dasar kedaulatan. Dimulai dengan kedaulatan wilayah. Maka percepatan wilayah adat dilakukan, baru lima wilayah adat yang sudah dipetakan. Bupati akan menganggarkannya tahun 2019. Tahun ini seluruh rencana dimulai,” katanya.

AMAN akan melakukan pendampingan, bersama Samdhana Institut yang menggalang sumber daya, BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat) yang mengurusi pemetaan wilayah adat, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang melatih orang-orang di lapangan, sehingga pemetaan lebih cepat.

Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PTPPMA) gencar melakukan pendampingan untuk pemetaan. Upaya itu terus dilakukan untuk mengetahui luas wilayah yang sudah dipetakan. PTPMMA juga sebagai bagian dari Tim Gugus Tugas Masyarakat Adat. Setelah tim ini ditetapkan dengan SK Bupati Jayapura, maka akan dilihat kembali wilayah adat yang belum dipetakan.

Selanjutnya tim gugus tugas akan bertanggung jawab untuk menyelesaikan pemetaan dan merekomendasikan kepada bupati. Lalu bupati akan menetapkan dan mengintegrasikan peta-peta partisipatif wilayah adat ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2017-2022.

Koordinator Kebijakan dan Pendidikan Publik PTPPMA, Nicodemus Wamafma, mengatakan tim gugus tugas yang diketuai sekda harus efektif karena lintas sektor OPD, dan melibatkan mayarakat adat dan CSO, serta didukung bupati dengan pembiayaan dari APBD kabupaten Jayapura.

“Pekerjaan gugus tugas membutuhkan dukungan semua pihak, terutama masyarakat adat, sehingga percepatan pemetaan wilayah adat menuju pengakuan masyarakat hukum adat (MHA) dapat segera terlaksana,” kata Wamafma.

Dengan begitu, MHA memiliki hak dan akses sepenuhnya atas tanah hutan dan SDA, serta mengelolanya untuk kesejahteraan mereka. (*)

Related posts

Leave a Reply