Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Sheldon Chanel di Suva
Di negara Pasifik yang kecil, dengan komunitas yang erat dan sikap yang konservatif, korban kejahatan ini justru dihukum.
Crystal (nama samaran) masih teringat dengan jelas hari dimana hidupnya hancur berkeping.
Crystal, 23 tahun, adalah seorang mantan mahasiswi di Universitas Pasifik Selatan di Suva, Fiji, yang telah mengizinkan pasangannya untuk mengambil foto-foto seksual pada tahun 2014. Itu adalah keputusan yang akan ia sesali nantinya. Dua tahun kemudian, foto-foto itu dipublikasikan secara daring di sebuah folder publik di layanan penyedia data berbasis web Dropbox, bersama-sama sekitar 900 gambar perempuan muda Fiji lainnya.
“Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, tetapi masih melekat pada saya seperti penyakit,” katanya.
Tindak kejahatan revenge porn atau pornografi balas dendam, dimana Crystal telah menjadi salah satu korban, sangat menyengsarakan korban dimanapun ia berada ketika ia mengalaminya. Namun di Fiji, negara Pasifik dengan populasi hanya sedikit bawah satu juta jiwa, komunitas yang erat dan konservatif terhadap seks dan gender, stigma sosial yang melekat pada korban dari kejahatan seperti ini sangat nyata.
Orang tua Crystal menyalahkannya atas apa yang terjadi, dan dia terpaksa mengundurkan diri dari perguruan tinggi dimana ia menempuh pendidikan setelah mereka menolak untuk membiayai pendidikannya.
“Keluarga saya berkata sudah tidak ada gunanya bagi saya untuk belajar setelah apa yang terjadi. Mereka mencoba menikahkan saya, tetapi saya ingin menyelesaikan studi saya dan menjadi mandiri,” katanya. “Saya didiagnosis menderita depresi tahun lalu karena saya tidak tahan lagi dan mulai memiliki ide bunuh diri.”
Crystal percaya sikap keluarganya yang konservatif berasal dari budaya di Fiji yang memandang seks sebagai sesuatu yang tabu, dan masyarakat yang cenderung berempati dengan pelaku laki-laki.
Kasusnya Crystal itu menyebabkan adanya penyelidikan polisi dan mendatangkan desakan dari kelompok perempuan agar ada tindakan lebih tegas terhadap pelaku kejahatan revenge porn.
Persoalan pornografi balas dendam di Fiji
Pornografi balas dendam adalah salah satu persoalan yang dihadapi negara ini sejak ledakan akses internet di Fiji selama satu dekade terakhir.
Lebih dari setengah populasi di Fiji kini memiliki akses ke internet dan penggunaannya akan semakin meningkat setelah pemerintah merampungkan rencana untuk menyediakan layanan layanan internet broadband kecepatan tinggi ke hingga 95% rumah tangga di Fiji pada 2023.
Negara ini juga memiliki salah satu angka kekerasan berbasis gender tertinggi di dunia, dimana dua dari tiga perempuan di Fiji pernah menjadi korban kekerasan fisik atau seksual dalam hidup mereka, dua kali lipat daripada angka rata-rata global.
Pusat krisis perempuan dan anak Fiji Women’s Crisis Centre (FWCC) menerima 833 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2019, dimana KDRT merupakan pelanggaran yang paling umum.
“Kami sudah lama prihatin mengenai masalah ini”” kata Shamima Ali, Koordinator FWCC.
Kepolisian Fiji belum siap
Menurut Ali pihak kepolisian Fiji tidak memiliki pengalaman atau persiapan yang diperlukan untuk menginvestigasi kejahatan revenge porn, dan bahwa ketika menyangkut kejahatan dunia maya, sebagian besar fokusnya adalah pada tindak kejahatan finansial seperti pencucian uang dan penipuan.
“Menurut saya tidak ada banyak informasi di luar sana tentang masalah ini. Banyak perempuan yang tidak ingin menyatakan diri sebagai korban karena mereka merasa bahwa seluruh keluarga mereka akan menjadi aib, dan ia akan di-stigmatisasi.”
Menurut Roshika Deo, seorang aktivis feminis Fiji, perempuan yang menjadi korban pornografi balas dendam menjadi korban stigmatisasi karena sikap yang negatif terhadap perempuan yang terlibat dalam aktivitas seksual.
“Mereka merasa tidak berdaya dan hina. Mereka berhenti sekolah atau bekerja. Mereka dikucilkan secara sosial dan menjadi korban kekerasan dari anggota keluarga dan komunitas mereka. Kecemasan, depresi, dan ide bunuh diri juga terus berkembang,” katanya.
Anggota parlemen (MP) dari blok oposisi, Lynda Tabuya, mendesak agar pornografi dilarang di negara itu, ia mengatakan hal itu memungkinkan sikap negatif terhadap perempuan dan turut mendorong peningkatan kejahatan seksual; desakan yang ditolak oleh Mereseini Vuniwaqa, Menteri Perempuan, yang berargumen bahwa larangan pornografi akan sangat sulit untuk diterapkan.
Tetapi kekhawatiran di antara kelompok-kelompok pejuang hak perempuan terus meningkat, mereka percaya bahwa meski pornografi bukan merupakan akar penyebab kekerasan gender, itu adalah faktor yang juga memperparah isu ini di beberapa negara dengan angka kekerasan terhadap perempuan tertinggi di dunia.
Nalini Singh, Direktur Eksekutif dari organisasi Women’s Rights Movement Fiji, menegaskan bahwa dengan semakin berkembangnya media digital, penting sekali untuk meningkatkan pendidikan seksual di sekolah-sekolah.
Singh menerangkan bahwa anak-anak perlu dididik tentang “badan, konsensual, dan hubungan yang sehat” sejak usia dini untuk mencegah diskriminasi dan kekerasan seksual.
“Pelarangan materi pornografi tidak akan mengubah apa pun jika sikap terhadap perempuan dan anak perempuan tidak berubah dan mereka masih dipandang lebih rendah,” tegasnya. (The Guardian)
Sheldon Chanel adalah seorang jurnalis lepas yang tinggal di Fiji.
Editor: Kristianto Galuwo