Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Setelah bekerja keras selama 12 tahun, Tan Sen akhirnya berhasil membuka toko suvenirnya sendiri. Tokonya itu dia beri nama “Hollandia” nama lawas ibu kota Papua, Jayapura.
Tokonya menjual macam pernik antik; patung porselen impor, batu permata astrologi langka hingga lukisan seni Konfusianisme dan perhiasan Cina murah. Uang dari hasil usahanya itu, dia sisihkan untuk disumbangkan ke Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kepada Rohan Radheya yang mewawancarainya, Tan membeberkan banyak rahasia; foto hitam putih lama gerilyawan Papua Barat di tahun 1970-an, data transaksi dari tinggi profil simpatisan Papua Barat di seluruh dunia dan testimonial dari rekrutan baru di seluruh dunia.
“Tahukah Anda bahwa selama kejatuhan Soeharto, salah satu kerabatnya datang kepada kami dan menawarkan kami $500.000 untuk membeli senjata?” kata Tan Sen. Dia menunjukkan catatan dengan nomor, tanggal, dan angka yang berkaitan dengan rekening bank asing.
Sudah bertahun-tahun, Tan merancang dan menenun seragam buatan tangan, lalu menyelundupkannya kembali ke OPM melalui kamp-kamp pengungsi di daerah dekat perbatasan dengan PNG.
Dia juga mengatur suaka bagi pengungsi Papua Barat dan membiayai perjalanan mereka ke luar negeri, untuk membantu mereka bermukim kembali di negara-negara seperti Swedia dan Yunani.
Orang Papua Barat yang mencari suaka di seluruh pelosok Eropa telah mendengar reputasi Tan. Banyak yang menaruh hormat kepadanya. Dia dipangil ‘Meneer Tan’ atau Bapak Tan. Mereka mengirimkan kepadanya kue sagu buatan sendiri dengan bunga dan hadiah.
Tan Sen juga yang mengatur suaka Rumkorem di Yunani. Dari sana Rumkorem bermigrasi ke Belanda dan terus melobi kemerdekaan Papua Barat sampai kematiannya pada tahun 2010, di Wageningen, Den Haag.
Baca Juga: Mengenang Tan, pejuang rahasia untuk Papua (1)
Pada 2020 lalu, tak lama sebelum diwawancarai Rohan, Tan Sen bilang jika atase militer konsulat Indonesia di Den Haag mengunjunginya. Mereka meminta Tan menyerahkan daftar pejuang kemerdekaan Papua Barat yang tinggal di pengasingan di Belanda.
“Saya akan dihargai secara meriah.” katanya. Tapi dia membanting pintu rumahnya di hadapan atase militer itu.
Pada 2016 silam, jurnalis dan novelis perempuan asal Papua, Aprila Wayar, juga pernah mendapatkan kesempatan langka bertemu dan berbincang dengan Tan Sen Thay di Belanda.
Kepada Aprila, Tan membagi banyak cerita, memperlihatkan banyak memorabilia terkait sejarah perjuangan Papua.
Aprila mengenang Tan sebagai sosok teguh, berpikiran tajam dan nada bicara berapi api. Tan Sen Thay terlihat sangat sehat di usianya yang terbilang senja. Tinggi badannya sekitar 170 sentimeter.
Tan Seng Thay menghembuskan nafas terakhir kalinya pada 9 Agustus 2021 pukul 6.18 petang waktu Den Haag, Belanda.Umurnya ditaksir 93 tahun. Selamat jalan Bapa Tan! (*)
Editor: Angela Flassy