Papua No. 1 News Portal | Jubi
Namanya terdengar asing bagi banyak orang Papua. Mungkin yang mengenalnya hanya segelintir. Tapi sepak terjangnya bagi perjuangan pembebasan Papua, ternyata membentang jauh. Serba rahasia.
Jayapura, Jubi – Mari kita sebut dia punya nama: Tan Sen Thay.
Sepanjang memperjuangkan pembebasan Papua, Tan bekerja dalam senyap. Dia lahir dan tumbuh besar sebagai Tionghoa peranakan. Pada 1965, ketika Soeharto mulai membasmi dan menyapu komunisme, Tan sekeluarga pindah ke Papua Barat. Orang tuanya adalah transmigran Hokkien dari negeri China. Merantau ke Indonesia untuk mencari hidup lebih baik.
Keluarga Tan tinggal di Abepura. Nurani Tan muda mulai tergugah ketika melihat sekian pelanggaran hak asasi orang Papua oleh militer Indonesia. Dia lantas memutuskan masuk hutan. Bergabung dengan gerakan pembebasan yang dipimpin mantan Sersan Papua-Indonesia bernama Seth Jafeth Rumkorem.
Rumkorem, seperti ayahnya, Lukas Rumkorem, pernah jadi milisi nasionalis Indonesia yang disebut barisan merah putih. Tapi setelah melihat kekejaman Indonesia terhadap bangsanya, Seth membelot dan memimpin perlawanan.
Pada 1 Juli 1971 Rumkorem dan pengikutnya berkumpul di perbatasan PNG. Mereka memboikot Pemilu Papua-Indonesia. Lantas memproklamirkan konstitusi, senat, tentara, bendera nasional, dan lagu kebangsaan.
Oleh Rumkorem, Tan diangkat sebagai Menteri Keuangan di kabinetnya. Dia melompat ke London, Senegal dan Kepulauan Solomon untuk mengumpulkan dukungan internasional. Sedangkan rekan-rekannya meneruskan perjuangan dari hutan belantara Papua.
“Pada tahun 1975 ketika Tan Sen Thay meninggalkan tanah kelahirannya Indonesia, ia tiba di Belanda hanya dengan dua gulden dan tas noken rajut tradisional Papua Barat,” tulis Rohan Radheya lewat artikel panjang “The Chinese mechanic who secretly led a 40-year Melanesian revolution”, dimuat situs berita di Selandia Baru www.rnz.co.nz, 28 Mei 2020. Rohan Radheya adalah seorang jurnalis dan pembuat film dokumenter asal Belanda.
Kepada pihak otoritas imigrasi Belanda, Tan mengklaim sebagai perwakilan senior pemerintah Papua Barat “Jika kita tidak segera mendapatkan bantuan Belanda, kita akan musnah,” dia memperingatkan.
Tan bersikeras. Menurutnya, Belanda punya kewajiban moral untuk membantu Papua Barat. Setelah insiden Trikora antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1961, Belanda terpaksa melepaskan Papua di bawah tekanan internasional.
Pada tahun 1969, Papua Barat dianeksasi oleh Indonesia dalam referendum yang sangat dikritik yang dikenal sebagai Act of Free Choice. Tan akhirnya mendapatkan suaka politik.
Tan Sen mulai bekerja di sebuah garasi tua di Den Haag. Dia bekerja merakit mobil golf. “Sebagai seorang mekanik, Tan Sen memperoleh upah minimum 1000 gulden sebulan (sekitar US$500 pada saat itu) untuk bekerja 80 jam sepekan. Dia akan mengirim sebagian besar bayarannya kembali ke rekan-rekannya di Papua Barat yang meluncurkan serangan tabrak lari sporadis terhadap tentara Indonesia dari hutan kasar di Papua Barat…Sisa uangnya akan ia bungkus dengan kain pinggang dan sembunyikan di bawah bantalnya sambil hanya bertahan hidup dengan mie instan sederhana..,” tulis Rohan Radheya.(bersambung)