Mengenang GAM, dulu dan sekarang

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Aceh, Jubi – Peringatan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang digelar di Masjid Islamic Centre Lhokseumawe, Provinsi Aceh, diisi dengan zikir dan doa bersama, Senin (4/12/2017).

Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya, mengajak mantan kombatan GAM dan juga seluruh rakyat diminta untuk merawat perdamaian Aceh.

Orang-orang Aceh terkenal keras kepala dalam mempertahankan tanah leluhur. Mereka adalah salah satu daerah terakhir yang menyerah pada pemerintah kolonial, itu pun setelah terjadi Perang Aceh yang brutal dan berlangsung sepanjang tiga dekade (1873-1903).

Saat Indonesia merdeka, Aceh dimasukkan menjadi salah satu wilayahnya. Rakyat Aceh berjasa besar bagi Republik lewat sumbangan dana untuk pembelian pesawat terbang Seulawah—pesawat pertama yang dimiliki Indonesia. Tapi keputusan Jakarta pada 1950, yang menurunkan status Aceh menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara, menyulut kekecewaan.

Akibatnya, Teungku Daud Beureueh, tokoh terkemuka Aceh dan bekas Gubernur Militer di masa Revolusi, menyatakan perlawanan terhadap Jakarta.

Presiden Sukarno kemudian memberikan status daerah istimewa kepada Aceh untuk meredam perlawanan. Dengan status ini, Aceh berhak mengatur agama, hukum adat, dan perkara seputar dunia pendidikan.

Pada 1953, Tiro, kembali ke Aceh untuk mendukung perjuangan Daud Beureueh. Dan jelang pertengahan 1970-an ia kian mantap mengkonsolidasi rekan-rekan seperjuangannya.

Pada 4 Desember 1976, GAM secara resmi berdiri. Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan kepada pemerintah Indonesia di Perbukitan Halinon, Pidie, dan mengangkat dirinya sebagai Wali Nanggroe (kepala negara).

Visinya adalah romantisme masa lalu ketika Aceh berdiri sebagai negara independen.

Romantisme itu terutama mengacu kepada kejayan masa lalu Kerajaan Aceh pada zaman Iskandar Muda. Dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (2008), sejarawan Denys Lombard menunjukkan betapa sejahteranya Aceh di masa itu. Bahkan, Aceh adalah salah satu kerajaan Asia pertama yang memiliki hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda.

Michael L. Ross, dalam analisisnya bertajuk “Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia” di buku Understanding Civil War: Evidence and Analysis (2005), menuliskan bahwa salah satu motivasi utama Hasan Tiro selama bergerilya bersama GAM adalah isu kedaulatan sumber daya alam Aceh. Ini juga sekaligus dijadikan strategi penarikan dukungan massa.

Masih dalam deklarasi perlawanannya, Tiro mengatakan Aceh kian miskin di bawah kolonialisme Indonesia karena angka harapan hidup berada di angka 34 tahun dan terus menurun.

Ia juga mengkritik Jakarta yang tak tahu terima kasih karena sejak merdeka telah menerima pendapatan yang luar biasa besar dari eksploitasi gas alam Aceh. Nilainya diklaim mencapai $15 miliar per tahun, yang dikecam Tiro hanya untuk membangun Jawa.

Gelombang kedua datang pada pertengahan tahun 1980-an. Personel GAM yang kembali dari pengasingan merekrut para anggota baru untuk diberi pelatihan militer. Beberapa ada yang dilatih militer Libya.

Perlawanan balik dari pemerintah Indonesia di gelombang kedua lebih berdarah-darah. Sampai pertengahan 1990-an, 200-750 kombatan GAM berhadapan dengan tentara Indonesia yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak. Pemerintah RI juga menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) serta menerjunkan pasukan kontraterorisme khusus.

Pihak yang paling menderita adalah warga sipil yang dilabeli status pengkhianat oleh kedua pihak yang bertempur. Menurut berbagai versi, total korban jiwa berada di kisaran 2.000-10.000, baik dari kelompok milisi maupun warga sipil.

Menurut laporan Amnesty International, militer RI ditengarai melakukan eksekusi di luar hukum, pembakaran desa, penculikan, pemerkosaan, dan penyiksaan warga Aceh yang dituduh simpatisan GAM. Sedangkan personil GAM dituduh melakukan eksekusi di luar hukum kepada tertuduh informan militer Indonesia dan menyerang instansi sipil seperti sekolah dan lain-lain.

Pemerintah RI kembali menerjunkan lebih banyak tentara ke Aceh, terutama di era pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri.

Bencana tsunami raksasa yang menyapu Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi faktor penting yang membuat GAM kian lemah usai pemerintah Indonesia mematahkan gelombang perlawanan ketiga mereka.

Pada 27 Februari 2005, perwakilan GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.

Sampai saat ini, hasil paling nyata dari kesepakatan damai Helsinki adalah pembentukan partai-partai politik lokal Aceh. Beberapa elit GAM dan eks kombatan mendirikan partai dan mereka terjun langsung ke dunia politik praktis.

Namun banyak kekecewaan terhadap mereka, terutama lantaran dianggap mengkhianati idealisme perjuangan GAM. Mereka kini banyak sekali bermain dalam relasi kroni-kroni politik dan berebut proyek APBD Aceh.

Seorang aktivis senior dari Aceh yang tidak mau disebut namanya mengungkapkan dengan penuh keprihatinan kepada Tirto, "Banyak eks kombatan sudah kehilangan idealisme ketika masuk politik. Mereka kini cuma mencari duit dari kontrak-kontrak proyek." (*)

Sumber: Antara/Tirto.id

 

Related posts

Leave a Reply