Mengenang Carmel Budiarjo, pejuang HAM, pejuang bagi orang Papua

Papua
Carmel Budiardjo pada 1950an (kiri) dan fotonya saat di kediamannya di London, Inggris, 2020 (kanan).
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Pernah merasai perihnya penjara Soeharto. Mendirikan organisasi TAPOL. Tak kenal lelah menyuarakan hak-hak kaum tertindas. Tak terkecuali Papua

Sejak belia, Carmel Brickman lekat dengan dunia aktivisme. Lahir di London pada 1925 dari orang tua berdarah Yahudi, dia tumbuh manakala sentimen antisemit mengeras hingga pecah pada Perang Dunia Kedua.

Read More

Suasana itu juga yang mendorongnya bergabung menjadi anggota British Communist Party. Partai komunis Inggris dinilainya paling punya sikap oposisi tegas terhadap antisemitisme. Demikian dikutip Majalah Tempo edisi 17 Juli 2021.

Sikap politiknya yang transnasional mulai terbentuk ketika dia menjadi mahasiswa sosiologi dan ekonomi di London School of Economics. Carmel aktif di organisasi British National Union of Student. Dia aktif di bagian internasional. Usianya baru 18 tahun.

Sikap politiknya berkembang menjadi antiimperialisme ketika dia bergabung dengan organisasi International Union of Students (IUS) yang berbasis di Praha pada 1947. Di sanalah Carmel bertemu Suwondo Budiardjo Budiarjo, mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh studi di Charles University di Praha. Mereka saling jatuh cinta dan menikah pada 1950. Dua tahun kemudian. Pasangan itu pindah ke Indonesia. Sejak itulah Carmel menyandang nama suaminya di belakang namanya.

Mula-mula, Carmel bekerja sebagai penerjemah di Kantor Berita Antara. Pada 1955, dia menjadi peneliti ekonomi di Kementerian Luar Negeri. Sedangkan Suwondo Budiardjo menjadi pejabat senior di Kementerian Angkatan Laut. Keluarga Budiardjo sempat hidup mapan. Mereka menempati kawasan elit di Menteng, Jakarta Pusat.

Lalu datanglah petaka 30 September 1965. Carmel bukan anggota PKI. Tapi keanggotaannya di Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang beraliran kiri membuatnya terseret-seret. Pertama-tama dia kehilangan pekerjaan. Lalu dia mulai diinterogasi. Suaminya ditahan sejak Oktober 1965. Pada September 1968, Suwondo Budiardjo kembali ditahan. Carmel sendiri sempat ditahan hingga 1971. informasi dari luar benar-benar ditutup. Tahanan hanya tidur dilantai tanpa selembar alas.

Baca Juga: Khawatirkan keselamatan Victor Yeimo, TAPOL surati Dewan HAM PBB

Dalam artikel “Carmel Budiardjo, dari Praha ke Gulag Indonesia” karya Andri Setiawan di laman historia.id (`12 Juli 2021) disebutkan, Carmel mengenang para Tapol kala itu dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Bahkan mengerikan. Karena setiap kali interogasi kerapkali dibarengi penyiksaan.

“Banyak wanita ditelanjangi dan dipukuli selama diinterogasi dan beberapa rekanan tahanan saya menderita karena alat-alat kasar dimasukkan ke dalam vagina mereka. Pemerkosaan terhadap interogasi atau tahanan perempuan tidak jarang terjadi,” kenang Carmel.

Carmel mendekam di penjara orde baru selama tiga tahun. Dia baru menghirup udara bebas pada November 1971. Itu setelah dia mendapatkan lagi kewarganegaraan Inggris. Kebebasannya itu tak lepas dari peran organisasi Amnesty International. Carmel segera bertolak ke London. Sedang suaminya, baru menyusul pada 1975 setelah dibebaskan.

Pada 1973, dia mendirikan organisasi TAPOL. Nama itu merujuk dari akronim Tahanan Politik dalam Bahasa Indonesia. Lewat organisasinya itu, Carmel mengampanyekan pembebasan tahanan politik. Dia membagi rumahnya sebagai tempat tinggal sekaligus kantor TAPOL.

Selama 40 tahun terakhir TAPOL secara konsisten mengkampanyekan keadilan di Indonesia, termasuk Aceh, Timor Timur (Timor Leste) dan Papua Barat. TAPOL berbicara atas nama para pembela hak asasi manusia yang terancam, menentang kekerasan militer dan polisi, memantau dan menolak penjualan senjata oleh Inggris kepada Indonesia, dan mengangkat kesadaran terhadap adanya proyek raksasa seperti pertambangan emas dan tembaga Freeport McMoran dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua.

TAPOL mempromosikan demokrasi di Indonesia dengan melakukan pemantauan terhadap proses utama pemilihan umum nasional serta mendukung kampanye-kampanye mengenai kebebasan berekspresi dan pembebasan para tahanan politik. TAPOL juga mendukung berbagai inisiatif untuk membangun budaya damai melalui diplomasi di tingkat internasional. Layanan penerjemahan berita oleh Tapol telah memainkan peranan penting untuk memastikan bahwa suara dari para jurnalis di Papua yang merupakan wilayah paling terisolasi secara politik di Indonesia, dapat didengar. Demikian dikutip dari laman Tapol.org.

Dalam wawancara khusus dengan radio BBC Indonesia untuk acara Tokoh pada November 2008, Carmel ditanya, apakah Tapol masih relevan di Indonesia, mengingat sebagian besar tahanan politik sudah dibebaskan dan reformasi telah bergulir.

Dengan mantap dia menyebut organisasinya masih relevan. Karena pelanggaran HAM masih terjadi, terutama di Papua. Betapa pun ia mengaku akan lebih senang jika TAPOL tak diperlukan lagi.

“Mudahan-mudahan relevansi TAPOL akan berakhir. Harapan kami supaya TAPOL tidak relevan lagi, supaya Indonesia berjalan seperti negara demokratis yang biasa,” tambah Carmel dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, pada November 2008.

Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, aktivis dan antropolog sosial, mengingat pernah membaca laporan tentang dugaan pelanggaran HAM di Indonesia, yang dilaporkan oleh Carmel Budiardjo melalui organisasi yang dipimpinnya, Tapol.

“Saya ingat di awal 1980an hingga akhir 80-an, saya membaca tulisan-tulisannya tentang Papua,” ungkap Benny Giay kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan. Ketika itu dia masih tinggal di Amsterdam, Belanda.

Atas kepeduliannya atas masalah d Papua itulah, Benny Giay dan rekan-rekannya dari Forum Demokrasi Rakyat Papua memberikan penghargaan kepadanya pada 2010.

Kini pejuang HAM itu telah pergi. Dia menghembuskan nafas terakhir pada Sabtu, 10 Juli 2021 di London, Inggris pada usia 96 tahun. (*)

Editor: Angela

Related posts

Leave a Reply