Mengenali pemilu, parpol, dan peningkatan jumlah caleg di PNG

papua nugini
Tempat pemungutan suara New Camp di Provinsi Morobe pada 2017. - Commonwealth Secretariat/Flickr

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Maholopa Laveil

Naiknya jumlah caleg dalam pemilu di Papua Nugini (PNG) selalu membuat mengesankan bagi saya. Saya berasal dari pulau kecil bernama Lou, lokasinya sekitar 20 km di sebelah tenggara Pulau Manus. Manus adalah provinsi paling kecil di PNG.

Read More

Dalam pemilu 2017, ada 31.833 pemilih yang terdaftar di provinsi Manus, dari jumlah ini hanya 3 % saja yang merupakan pemilih dari Pulau Lou. Setiap pemilih yang terdaftar di Lou bisa memilih dua untuk kursi, kursi perwakilan provinsi itu dan kursi terbuka, dan semua orang membayangkan hanya akan ada satu calon untuk setiap kursi di Lou. Yang mengagumkan, ternyata hal ini tidak terjadi pada 2017, dimana dua caleg dari Pulau Lou memperebutkan kursi terbuka Manus, dan tiga lainnya memperebutkan kursi perwakilan provinsi.

PNG adalah salah satu negara dengan jumlah caleg per kursi tertinggi di Pasifik, bahkan mungkin salah satu yang tertinggi di dunia. Jika dibandingkan, jumlah rata-rata caleg per kursi untuk PNG, Kepulauan Solomon, dan Samoa sangat berbeda. Dari 1977 hingga 2017, dalam empat dekade jumlah rata-rata caleg meningkat 275 % di PNG, jauh lebih tinggi dari 60 % peningkatan yang terjadi di Kepulauan Solomon dan penurunan 0,8 % di Samoa. Selang periode waktu yang sama, populasi PNG meningkat sebesar 153%, ini menunjukkan ada faktor-faktor lain yang mendorong naiknya jumlah caleg di negara ini.

Tingginya jumlah caleg yang maju pada saat tertentu menyebabkan kekhawatiran akibat beberapa alasan. Ini akan mempersulit pelaksanaan pemilu, misalnya dengan memperpanjang proses penghitungan surat suara. Kasihan para pemilih dan pengurus di dapil-dapil di PNG yang harus memilih caleg pilihan mereka dari rata-rata 30 kandidat di setiap dapil. Sekarang, bayangkan orang-orang yang memilih di dapil yang paling populer di PNG, Provinsi Chimbu, dimana pada 2017 ada 61 caleg bersaing untuk kursi yang sama.

Karena jumlah rata-rata caleg yang bertarung dalam pemilu meningkat, rata-rata daya saing setiap kandidat juga telah menurun. Data yang ada menunjukkan bahwa rata-rata jumlah suara caleg yang menang turun, dari 35 % pada 1977 menjadi 20 % pada 2002, dan kemudian naik lagi menjadi rata-rata 33 % dari 2007 hingga 2017. Perubahan suara selang pemilu 2007 ini disebabkan oleh pergantian dalam sistem pemilu, dari sistem first-past-the-post (FPTP) ke sistem pemilu Limited Preferential Voting (LPV) pada 2007, dimana sistem yang baru itu memungkinkan pemilih untuk menandai tiga caleg, bukan hanya satu seperti yang diizinkan oleh sistem pemilihan FPTP.

Jumlah rata-rata suara yang didapatkan oleh setiap caleg juga terus turun, dari 12 % pada 1977 menjadi hanya 3 % pada 2017. Mendaftar dan bertanding dalam pemilu sebagai caleg sekarang tampaknya adalah investasi yang semakin sia-sia.

Di PNG, jumlah rata-rata caleg yang maju dalam pemilu berbeda di setiap wilayah, tetapi yang pasti, semuanya telah meningkat sejak 1977. Meskipun wilayah pegunungan tinggi PNG memiliki rata-rata jumlah caleg tertinggi pada tahun-tahun awal menyusul kemerdekaan PNG, wilayah selatan mulai memimpin pada 1992, dan sejak itu terus mempertahankan posisinya. Wilayah kepulauan PNG sejak dulu dilaporkan memiliki jumlah caleg terendah yang memperebutkan satu kursi.

Jumlah total caleg untuk parlemen nasional juga meningkat, dari 878 pada 1977 menjadi 3.335 pada 2017, atau peningkatan sebesar 280% dalam 40 tahun. Jumlah caleg meningkat dalam setiap pemilu, kecuali pemilu 2007 dan 2017, sementara peningkatan yang paling signifikan terjadi pada pemilu 1987 dan 1997.

Salah satu alasan yang dikatakan telah menyebabkan meningkatnya jumlah caleg di PNG, menurut pembahasan dalam literatur akademik, adalah naiknya jumlah caleg independen yang mendaftar pada setiap pemilihan. Namun, jika dipelajari lagi, sebenarnya tidak ada peningkatan signifikan dalam jumlah caleg independen sejak 1992. Dalam beberapa pemilu terakhir ini, justru lebih banyak kandidat yang maju sebagai anggota sebuah partai politik.

Jumlah partai politik baru yang terus bertambah mungkin mendorong pertumbuhan jumlah caleg sebelum 2002. Namun, jumlah parpol secara umum tetap stagnan sejak 2002, sedangkan jumlah kandidat terus meningkat. Kemungkinan lainnya yang dibahas adalah bangkitnya partai-partai kuat yang mendominasi politik PNG – ini adalah partai-partai yang mampu mencalonkan kandidat untuk memperebutkan lebih dari setengah kursi di negara itu. Jumlah partai seperti itu memang meningkat pesat antara 1992 dan 2002, dan mungkin telah berkontribusi pada pertumbuhan jumlah caleg selama tahun-tahun tersebut. Namun, partai politik dengan kekuasaan semacam ini sebenarnya jumlahnya turun sejak 2002.

Melambungnya jumlah caleg juga dapat mencerminkan meningkatnya perpecahan dalam masyarakat PNG, atau mungkin ini menunjukkan sistem pemilu PNG yang semakin paralel dengan realitas sosialnya. Meskipun tidak ada alasan yang jelas dan pasti, mungkin yang normal saat ini adalah bahwa setiap orang yang ingin menjadi pemimpin harus setidaknya pernah menjadi caleg. Mungkin lebih baik bagi prospek kepemimpinan individu manapun, dalam politik atau lainnya, untuk maju dalam pemilu dan kalah daripada tidak bersaing sama sekali.

Apa pun alasannya, jumlah caleg yang tinggi pada pemilu 2022 hanya akan membuat proses pemilu yang sudah bermasalah semakin sulit untuk dilaksanakan. (Devpolicy Blog/ Development Policy Centre The Australian National University)

Maholopa Laveil adalah Dosen Ekonomi di Fakultas Bisnis dan Kebijakan Publik di Universitas Papua Nugini.

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply