Mengenal suku Mee di Kabupaten Dogiyai

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Oleh: Hari Suroto

Masyarakat Dogiyai termasuk dalam suku Mee. Cerita rakyat yang dipercaya oleh suku Mee adalah nenek moyang mereka pada masa prasejarah bermigrasi dari arah timur, dari Pupupapa atau Goa besar (Pagimo Peku) di Lembah Baliem.

Suku Mee secara luas mendiami wilayah Wisselmeren yang meliputi kawasan Danau Paniai, Danau Tigi, Danau Tage, Lembah Kammu, Mapia, hingga Uwapa di Nabire. Kehidupan suku Mee berada di antara suku besar yang ada di kawasan Pegunungan Tengah, yaitu suku Moni di timur, suku Komoro di selatan, dan suku di pantai utara sekitar Nabire di bagian barat dan utara.

Pola hidup masyarakat Mee masih berkelompok dan mengantungkan hidup dengan alam seperti yang dikemukakan seorang pilot bernama Frits Wissel tahun 1933. Wissel melaporkan bahwa saat terbang ia melihat tiga danau besar yang dikenal sebagai Danau Wisselmerren. Pada ketiga danau tersebut terlihat banyak perahu berlayar dan di sekitarnya, aktivitas kelompok manusia yang sedang bercocok tanam mengunakan alat kayu yang runcing, dan mencari ikan dengan kulit kayu.

Untuk menjaga jati diri budaya mereka yaitu sebagai Manusia Sejati (Makado Mee), masyarakat di wilayah tersebut lebih senang dan merasa dihargai jika dikatakan sebagai masyarakat Mee. Mereka kurang menerima sapaan dengan sebutan yang diberikan orang di luar suku mereka seperti Kapauku. 

Suku Mee di Dogiyai memiliki sistem kekerabatan menurut garis bapak (naitai), artinya anak laki bila dewasa sewaktu-waktu dapat berperan sebagai penentu kebijakan pengganti bapaknya dalam hal adat. Misalnya jika saudara perempuannya hendak menikah, keluarga hendak membuka kebun, dll.

Dalam keseharian hidup mereka menggunakan bahasa Mee dialek Dogiyai sebagai sarana interaksi, secara umum bahasa Mee masuk dalam Kategori Fila Trans Irian khusus fila dataran tinggi barat. 

Klan yang menempati wilayah Dogiyai adalah marga Tigi, Yobe, Degei, Dogomo, Tekege, Dou, Dimi, Pekey, Agapa, Goo, Bobii, Petege, Titowau, Wakey, Keiya, Uwaiyo, Mote, Eduway, Iyai, Kammo, dan Boma. Setiap klan dalam Suku Mee memiliki totem (wijee) dengan lambang dan pantangannya masing-masing. 

Pada masa lalu, mereka menempati daerah dimana daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Wilayah milik satu klan tidak mudah dimasuki oleh klan lain. Walaupun mereka satu klan, jika tidak segaris tetap ada aturan yang harus dilalui melalui perjanjian antarmereka.

Untuk memenuhi kehidupannya masyarakat mencarinya dengan berburu hewan di hutan, menanam ubi jalar (nota), keladi (nomo), memelihara babi (ekina), dan mencari ikan danau.

Masyarakat Mee umumnya mengenal sistem pertanian berladang yang dikenal dengan nama bugi. Pembagian tugas dalam berladang sangat jelas dimana kaum lelaki bertugas membuka ladang dan membuat pagar melingkari ladang tersebut, sedangkan kaum perempuan bertugas menanam, merawat, dan mengambil hasilnya. 

Jenis tumbuhan yang biasa mereka tanam adalah umbi-umbian, sayuran, dan pisang. Tetapi yang utama adalah menanam umbi sejenis petatas (nota). Sebelum menanam mereka memotong babi sebagai tanda penghormatan terhadap tanah (makitiya) dimana mereka akan menanam, yang dikenal dengan nama emo meni.  

Tiap klan memiliki ladang sendiri yang secara garis batas sudah menunjukkan kepemilikan. Karena sebelum membuka ladang ada musyawarah yang dilakukan laki dewasa yang jika dilanggar akan dikenakan sanksi adat. Biasanya ketika panen tiba mereka wujudkan dengan makan bersama melalui acara bakar batu.

Masyarakat pada masa lalu biasanya menukarkan hasil pertanian dengan uang kerang (mege) yang mana besaran nilainya disesuaikan dengan bentuk dan ukuran kerang, yang dilakukan dalam komunitasnya sendiri. Untuk mendapatkan kerang (mege), laki-laki dewasa bertemu dengan orang dari pesisir pada saat ada pesta babi (yuwo). Karena melalui acara yuwo biasanya mereka membentuk jalinan kerja sebagai rekan dalam putaran ekonomi. Pembentukan hubungan dagang juga dapat dilakukan dengan adanya perkawinan eksogami atau perkawinan di luar klan atau fratri.

Dalam kehidupan masyarakat Mee dikenal adanya fratri (epa). Dalam fratri terdapat pantangan menikah karena berdasarkan mitologi, mereka merupakan saudara (keneka) yang terpisah, misalnya Gobay dengan Pekey, Mote dengan Degey.

Ritual Yuwo merupakan awal untuk mendapatkan sebutan orang kaya (tonowi). Dalam kegiatan ini peranan istri sangat penting karena mereka harus bisa menghasilkan babi (ekina) dalam jumlah banyak dan mutu baik ditunjang juga dengan hasil pertanian berupa betatas (nota). 

Pada saat pesta babi (yuwo) seorang Tonowi memotong banyak babi dan dijual dengan harga murah untuk menunjukkan sifat dermawannya. Inti dari pesta ini selain untuk menunjukkan pribadi juga sebagai sarana mengumpulnya para pedagang agar dapat diketahui peranan dari mege sebagai alat bayar yang utama dan jenis mege apa yang banyak berputar. 

Untuk saat ini penggunaan mege sudah sedikit bergeser terganti dengan mata uang rupiah, karena harga jual seekor babi sudah tidak layak dibayar dengan uang kerang (mege). Walaupun secara kesakralan dan kesahan yuwo hanya bisa berlangsung dengan putaran mege sebagai alat bayar.

Dalam ritual yuwo darah babi merupakan manifestasi hubungan antara manusia, alam, dan leluhur. Sama seperti masyarakat pada suku-suku lain sebelum mengenal Tuhan secara hakiki, pada dasarnya mereka sudah meyakini adanya pencipta alam yang sejati, hanya saja manifestasi kepercayaan itu diwujudkan melalui benda, simbol atau makhluk yang mereka anggap memiliki kekuatan dan ikatan batin dengan masyarakat pendukungnya. 

Dalam sistem kepercayaan mereka di masa lalu, mereka meyakini bahwa kehidupan maupun kematian adalah karunia Tuhan (ugatame) sehingga hidup harus dijaga hingga tua.

Masyarakat Mee menganggap jika mati di usia tua berarti hidup dalam kewajaran, tetapi jika mati dalam usia muda dianggap adanya perbuatan roh jahat (eniya) dengan pengaruh magi hitam (kegoai). 

Secara tradisional sebelum mengenal penguburan secara Kristen, perlakuan terhadap orang mati (Mee Bokai), yang dilakukan masyarakat Mee adalah dengan meletakkan jenazahnya pada para-para gubug yang telah disiapkan keluarga di atas pohon, yang letaknya di hutan khusus dengan posisi mayat duduk. 

Mereka meyakini bahwa kesuburan tanah akan rusak karena dianggap terkena najis, sehingga pada masa lalu mayat tidak dikuburkan dalam tanah. Masa berkabung untuk laki-laki selama seminggu dan untuk perempuan masa berkabungnya selama enam hari.

Setelah masa berkabung mereka yakin arwah simati sudah kembali ke dunia arwah (tenewouda). Masyarakat suku Mee meyakini dalam hidup ini ada tiga dunia, yaitu dunia ketenangan milik para arwah (epawado), dunia kesibukan milik manusia (makii), dan dunia kejahatan milik para roh jahat (makii miyoo).

Hal lain yang diyakini masyarakat adalah adanya tanda dari simati, yaitu jika si mati meninggal dengan menunjukkan gigi atau tersenyum keluarga yang ditinggalkan akan banyak berkat, tetapi jika simati meninggal dengan muka sedih atau cemberut keluarga yang ditinggalkan akan merasa susah. 

Tanda ini bisa dilihat karena wajah simati dihadapkan pada jendela gubuk di atas  para-para yang dibuat untuknya. Cara seperti ini dibuat dengan harapan antara simati dengan keluarga tetap ada hubungan. Selain dengan cara diletakkan pada para-para di atas pohon, ada juga mayat yang badannya ditanam dalam tanah dengan kepala dibiarkan di atas tanah. Mayat tersebut diberi peneduh alang-alang dan dipagari. Cara penguburan seperti ini biasanya berlaku bagi anak-anak. (*)

Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua

Related posts

Leave a Reply