Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Nanias Aronggear, 71 tahun, setiap hari ke Pasar Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura dengan membawa ikatan piring lidi kelapa untuk dijualnya.
Ia sudah enam tahun menggeluti pekerjaan tersebut. Ketika datang berjualan pukul 9 pagi, Nanias, sapaannya, langsung menggelar dagangannya.
"Satu buah piring lidi harganya Rp 30 ribu, sedangkan selusin atau 12 buah Rp 200 ribu," katanya, mengawali pembicaraan dengan Jubi yang menemui di lapaknya, Minggu, 20 Januari 2019.
Nanias menceritakan pengalaman hidupnya berjualan berbagai macam produk. Sudah 25 tahun ia berjualan, mulai jualan ikan, jualan sagu, hingga menjual piring lidi dari daun kelapa, yang saat ini menjadi aktivitasnya sehari-hari.
Piring lidi tersebut hasil kerajinan ia sekeluarga. Dibantu istri dan anaknya, Nanias bisa membuat hingga enam buah piring lidi kelapa dalam sehari. Hasil penjualan menjadi sumber penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyekolahkan anaknya.
"Keluarga saya makan sehari-hari dari jualan ini saja, ini yang membuat saya bisa menyekolahkan anak-anak saya sehingga bisa berhasil, ada yang sudah jadi suster, ada yang jadi pendeta, ada yang jadi pegawai negeri sipil, hingga menjadi pengusaha ikan tuna," katanya.
Untuk membuat piring lidi ia memodali Rp 200 ribu untuk membeli 20 ikat sapu lidi dari langganannya. Kemudian ia pulang ke rumah menganyamnya menjadi piring.
Lidi yang digunakan mesti dipilih yang panjang dan bagus. Sedangkan yang tidak layak pakai diikat kembali untuk dijadikan sapu.
"Saya beli lidi, kalau yang baik saya jadikan piring lidi, kalau yang tidak baik saya ikat kembali dijadikan sapu, kalau sudah jadi piring lidi bisa jutaan hasilnya," ujarnya.
Dalam sebulan ia mengaku bisa menjual 10 lusin piring lidi. Bahkan saat Desember bisa terjual 30 lusin. Menurutnya, banyak pembeli karena piring buatannya kuat dan rapi.
"Hasilnya bisa bagus karena dasarnya tersusun dengan rapi, saya tidak diajarkan, hanya lihat saja orang lain bikin dan langsung mempraktikkan," katanya.
Meski tidak setiap hari laku, Nanias mengaku bersyukur ada penghasilan. Walaupun tidak seberapa, dirasa cukup untuk menopang perut saat lapar.
"Satu buah piring lidi membutuhkan 20 hingga 60 lidi. Setelah jadi piring kemudian dilapisi dengan pernis supaya tahan.
“Pembelinya dari Papua dan non Papua, selama pembuatan kendalanya hanya di modal karena saya modal sendiri," ujarnya.
Pembicaraan siang itu terasa penuh haru, ketika laki-laki asal Kabupaten Serui itu mengenang kisahnya, sebelum berjualan piring lidi kelapa.
Nanias adalah seorang pelajar yang putus sekolah pada1970 sewaktu duduk di bangku SMA. Keterbatasan ekonomi orang tuanya membuatnya ia tidak bisa menyelesaikan pendidikannya.
"Saat putus sekolah, saya menjadi nelayan, setelah tidak lagi kuat akhirnya saya berjualan, hidup itu seperti mengayuh sebuah sepeda, untuk menjaga keseimbangan harus terus bergerak," katanya tersenyum.
Kini Nanias bisa bernapas lega karena jerih payahnya membesarkan anak-anaknya hingga sukses.
Menurutnya, terkadang seseorang harus melewati banyak kesedihan agar mampu merasakan kesenangan. Namun, kesedihan bukanlah akhir dari segalanya. Masa-masa sulit itu sudah ia lalui hingga melihat anak-anaknya sukses.
"Yang penting tekun, kerja keras, dan selalu dekat dengan Tuhan agar bisa sukses, saya harus mendidik anak-anak saya supaya berhasil, karena saya belajar dari diri sendiri yang tidak menyelesaikan sekolah," katanya.
Nanias tidak mempersoalkan anak-anaknya untuk menafkahinya. Selama masih bisa berjualan ia tetap berusaha bekerja, walaupun hanya sekedar mengisi waktu luang.
"Anak-anak saya mau kasih uang atau tidak saya tetap bersyukur, kalau tidak juga tidak apa-apa, saya masih bisa kerja untuk tambah-tambah uang belanja," ujarnya.
Tak lama kemudian, seorang pembeli piring lidi, Mustika memberikan apresiasi atas kerja keras orang asli Papua yang mau berusaha dengan membuat anyaman piring lidi tersebut.
"Kualitasnya harus terus ditingkatkan agar bisa bersaing, harga dan bahan-bahan juga dari kualitas terbaik agar laku terjual,” katanya.
Menurutnya harga sudah sebanding dengan kerumitan membuatnya karena setiap orang tidak mungkin bisa membuat anyaman piring lidi.
Mustika mengaku sudah sering membeli piring lidi buatan Nanias untuk memberikan penghasilan tambahan, mengingat umur Nanias sudah kepala tujuh.
"Pemerintah harus memperhatikan khususnya Orang Asli Papua yang mau berusaha seperti bantuan modal dan pembinaan agar hasil kerajinan mereka bisa dikenal luas, bukan hanya di Papua, bahkan dunia," katanya.
Menurutnya, orang Papua harus terus mendapatkan pembinaan dan pendampingan dalam Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Tak hanya sekali atau dua kali, tapi berkelanjutan.
"Dalam pelatihan biasanya hanya didampingi dua sampai tiga hari, setelah itu dilepas begitu saja, tidak bisa berkembang, maka butuh pembinaan agar pelaku UMKM bisa mandiri," ujarnya. (*)