Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Anna Dziedzic
Pada 15 Juli lalu, Hakim Viran Molisa Trief dilantik sebagai Hakim Mahkamah Agung Vanuatu. Ia adalah perempuan etnis Ni-Vanuatu pertama yang ditunjuk untuk jabatan yudikatif tinggi. Dia mengikuti jejak Hakim Mary Sey, dari Gambia, yang menjabat sebagai hakim perempuan pertama Vanuatu dari 2012 hingga 2017.
Namun ada juga berita yang mengenaskan, Hakim Leka Nama Nablu meninggal pada 28 Juli. Hakim Nablu adalah hakim perempuan kelima yang ditunjuk di Papua Nugini. Merenungkan kabar duka ini, Michelle Rooney dari Universitas Nasional Australia membagikan lewat media soal Twitter, “Ketika mitra-mita donor terus bersuara tentang pemberdayaan perempuan dan memajukan perempuan-perempuan PNG, kita kehilangan seorang yang berharga di tengah-tengah kita. Banyak dari kita yang tidak mengenalnya sampai ia meninggal… Kita perlu mengetahui, mendengarkan, merayakan kisahnya.”
Kejadian baru-baru ini menunjukkan betapa sedikitnya informasi yang kita ketahui, tentang para perempuan hebat yang berbakti di pengadilan-pengadilan tingkat tinggi di negara-negara Kepulauan Pasifik. Meski banyak perhatian telah diberikan kepada anggota parlemen perempuan di wilayah tersebut, hanya sedikit yang diberikan kepada hakim perempuan dan kontribusi mereka kepada dunia hukum dan masyarakat di negara-negara tempat mereka bertugas.
Sebuah laporan yang disusun pada 2014 oleh asosiasi pengacara Pasifik selatan, South Pacific Lawyers Association, menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan sebagai hakim di pengadilan-pengadilan Pasifik sangat minim, namun data yang dikumpulkan saat itu tidak cukup untuk menentukan angka pastinya.
Analisis dari pangkalan data Pacific Islands Legal Information Institute (PacLII), menunjukkan bahwa di Fiji, Kiribati, Nauru, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu, ada 11 perempuan yang saat ini bertugas di pengadilan-pengadilan tingkat tinggi (dalam konteks ini adalah Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Banding di setiap negara). Enam dari jumlah total hakim ini adalah hakim asing, yang cenderung bekerja paruh waktu atau untuk periode terbatas di Pasifik. Lima lainnya adalah hakim lokal, yang bekerja di kursinya masing-masing sepanjang tahun, penuh waktu.
Kelihatan jelas bahwa perempuan tidak terwakili di ruang-ruang pengadilan Pasifik. Tetapi mengapa kita harus mempermasalahkan apakah ada lebih sedikit atau lebih banyak perempuan di kantor-kantor peradilan? Kaum cendekia di belahan dunia lain telah menemukan berbagai alasan mengapa keseimbangan gender dalam badan peradilan itu penting. Dua alasan yang tampaknya sangat relevan dengan keadaan Pasifik akan saya bahas.
Pertama, sudah cukup umum bagi seorang hakim perempuan untuk mengungkapkan keinginan pribadi mereka bahwa dengan penunjukannya, banyak perempuan lainnya akan terinspirasi untuk memulai karir di bidang hukum dan peradilan. Namun, lebih dari itu, penunjukan hakim perempuan juga mengirimkan pesan ke masyarakat luas. Dengan adanya perempuan menduduki posisi-posisi kepemimpinan dalam badan peradilan, ini dapat berfungsi untuk melawan stereotip yang berbahaya bahwa perempuan tidak mampu atau berwenang untuk memegang dan melaksanakan kekuasaan publik.
Sebagai contohnya, Claire Slatter dalam tulisannya ‘Gender and custom in the South Pacific’ menjelaskan kisah, pada 1997, seorang Menteri di Vanuatu mendesak dicabutnya Undang-Undang Ombudsman negara itu. Ia meminta pembatalan UU itu karena itu mengizinkan Ombudsman perempuan untuk mengkritik pemimpin laki-laki, menteri itu menegaskan bahwa di pulaunya itu, ‘laki-laki tidak boleh dikritik oleh perempuan.’
Namun, pada 2015, ketika hakim perempuan pertama Vanuatu mengadili dan memvonis 15 Anggota Parlemen (MP) karena kasus suap dan memberikan hukuman penjara bagi sebagian besar dari mereka, wewenangnya tidak dipertanyakan. Sebaliknya, ada sentimen bahwa hukuman yang dijatuhkan Hakim Sey atas beberapa pria yang paling berkuasa di Vanuatu itu menunjukkan bahwa keadilan telah dicapai.
Alasan kedua untuk mendorong diangkatnya lebih banyak hakim perempuan ke ruang-ruang pengadilan di Pasifik adalah, bahwa perempuan membawa perspektif dan pengalaman mereka sendiri yang berbeda ke meja peradilan. Perspektif yang berbeda dan unik ini berkontribusi pada apa yang digambarkan hakim perempuan pertama Fiji, Nazhat Shameem, sebagai ‘gender competent bench’, dimana hakim – laki-laki dan perempuan – semua mengakui asumsi mereka masing-masing mengenai gender yang dibentuk oleh budaya. Hal ini kemudian dapat ditunjukkan dalam putusan-putusan pengadilan yang lebih gender-sensitive saat menghadapi hukum dan praktik yang diskriminatif, atau untuk mengubah prosedur pengadilan yang merugikan dan mengintimidasi perempuan yang menggugat atau menjadi saksi.
Hakim-hakim perempuan dapat membantu mengubah perilaku yang tertanam kuat terhadap gender tertentu dalam dunia hukum dan peradilan serta masyarakat. Namun, begitu perempuan mendapatkan jabatan di pengadilan-pengadilan tinggi, ini sendiri adalah prestasi yang jarang terjadi, ada batasan atas apa yang dapat mereka lakukan sebagai hakim.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mendengarkan seruan Rooney untuk ‘mengetahui, mendengarkan, dan merayakan’ kisah-kisah perempuan di badan-badan peradilan Pasifik, dan belajar dari mereka. (The Interpreter by Lowy Institute)
Editor: Kristianto Galuwo