Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Perwakilan umat Katolik dari lima keuskupan yang ada di Tanah Papua mengikuti Semiloka “Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura sejak Senin (21/3/2022). Semiloka itu digelar dan menghimpun literatur lengkap tentang sejarah Gereja Katolik yang sudah berkarya di Tanah Papua selama hampir 128 tahun, namun memiliki kesepakatan tentang sejarah masuknya Gereja Katolik ke Tanah Papua.
Sekretaris Panitia Penyelenggara Semiloka “Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Papua”, Soleman Itlay menyebut berbagai terekat atau ordo misionaris Katolik yang berkarya di Tanah Papua—seperti tarekat MSC, SJ, OFM, OSA, dan OSC—masuk ke Tanah Papua dalam waktu dan periode yang berbeda beda. Hal itulah yang melatarbelakangi semiloka “Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Papua”.
“Untuk sementara waktu, kita tidak bisa menyimpulkan tanggal sejarah Gereja Katolik masuk di Tanah Papua. Ada tim [yang] harus menggali lebih dalam berdasarkan [hasil] semiloka antara delegasi Keuskupan Agung Merauke dan Keuskupan Manokwari-Sorong, Keuskupan Timika, Keuskupan Agast Asmat, Keuskupan Jayapura,” katanya.
Baca juga: Dari Kei, agama Katolik masuk Tanah Papua
Itlay mengatakan tim penyusun nantinya akan menyusun data sejarah dari lima keuskupan dan setiap tarekat yang berkarya di Papua. Data itu akan diolah menjadi rekomendasi bagi lima keuskupan yang ada di Tanah Papua untuk menyepakati tanggal dan tempat kali pertama masukkan Gereja Katolik di Tanah Papua.
“Kami [akan] sampaikan kepada pimpinan gereja, agar mereka yang menetapkan tanggal berapa dan di mana sejarah Gereja Katolik masuk ke Tanah Papua. Baru bisa kami ikuti, berdasarkan kesepakatan mereka. Saya harap kita semua dapat memahami hal itu,” kata Itlay.
Kontak pertama dan karya MSC
Pastor Alberto Setyo MSC yang membawakan materi “Kehadiran dan Karya Tarekat MSC di Papua” mengatakan kontak pertama orang Papua dengan Gereja Katolik terjadi pada tahun 1894. Ketika itu, Pastor Lecocq d’Armandville SJ dari Orde Serikat Jesus memulai misinya di Kapaur, dekat daerah yang kini menjadi wilayah Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. “Dua tahun kemudian, pada tanggal 27 Mei 1896, ia menemui ajalnya dan mati lemas di pantai Mimika,” katanya.
Pastor Alberto Setyo MSC menuturkan ada pastor Jesuit lain yang juga mengawali perkabaran Gereja Katolik di Tanah Papua. “Pantai selatan [Tanah Papua juga] dikunjungi seorang pastor Jesuit, yaitu Pater van der Heijden SJ pada tahun 1892. Namun, ia tidak tinggal di wilayah itu. Pada tahun 1893, ia kembali lagi dan menetap di daerah itu, tapi rencananya gagal karena pos pemerintah di Salire, yang dekat dengan Merauke, ditutup,” katanya.
Menurutnya, para misionaris MSC masuk ke pesisir selatan Tanah Papua pada masa berikutnya. Pada 19 Juli 1844, Paus Gregorius XVI dari Vatican mengeluarkan dekrit “Ex debbito Pastoralis” yang mendasari pembentukan Vikariat Mikronesia dan Vikariat Melanesia. Kedua vikariat itu memiliki wilayah dari 125 derajat Bujur Timur sampai 160 derajat Bujur Barat, meliputi Nova Guinea (Papua), Tobbia, William, Shouten Eilanden, Vesset, Timollant, Ariou, dan sejumlah wilayah lainnya.
Baca juga: Front Mahasiswa Papua Katolik bakal demo Kedubes Vatikan-KWI di Jakarta
“Kemudian Pastor Jules Chevalier mendirikan tarekat MSC pada 8 Desember 1854. Pater Jules Chevalier lahir pada 15 Maret 1824, dan wafat pada 21 Oktober 1907,” kata Pastor Alberto Setyo MSC.
Ia mengatakan, Gereja Katolik berkeinginan besar untuk bekerja di Pulau Nova Guinea atau Tanah Papua, karena pulau itu merupakan pulau terbesar yang ada diantara pulau kecil lainnya di Melanesia dan Mikronesia. Setelah diadakan perundingan yang agak lama, Kongregasi de Propaganda Fide memutuskan berdirinya Prefektur Apostolik Nederlands Nieuw Guinea.
“Keputusan ini terjadi pada tahun 1881, berdasarkan atas permohonan Paus Santo Bapa Leo XIII kepada Pastor Jules Chevalier selaku pendiri tarekat MSC untuk mengirimkan beberapa imam misionaris ke Kepulauan Melanesia dan Mikronesia,” kata Pater Alberto Setyo.
Baca juga: 194 Imam Katolik serukan gencatan senjata di Papua
Menurutnya, Pastor Jules Chevalier menyetujui permintaan itu, namun misi Gereja Katolik di Melanesia dan Mikronesia tidak mudah diwujudkan. Bahkan, para pastor MSC sendiri berdiskusi alot untuk menerima atau menolak misi luhur di Tanah Papua, antara lain mendiskusikan soal kemandirian dana untuk sebuah karya missio propria seperti itu.
“Sekalipun demikian, para pastor Missionaris Hati Kudus atau MSC ingin berkarya di West Niew Guinea dari pada tempat lain di Melanesia. Pada 1885, para pastor MSC berlayar selama 13 bulan dari Eropa menuju New British, wilayah yang sekarang menjadi tempat Keuskupan Rabaul di Papua Nugini. Pastor Stanislus Hendricus MSC diangkat menjadi Uskup, dan tiba di Pulau Jule, pesisir bagian timur Papua Nugini,” kata Pastor Alberto Setyo MSC.
Pos Belanda di Merauke
Atas desakan pemerintah Australia, pemerintah Belanda kemudian membuka pos pemerintah dekat muara Sungai Maro, Ermasu, yang sekarang dikenal sebagai Merauke. Pembukaan pos di Ermasu itu dilakukan pada 13 Februari 1902.
“Asisten Residen yang pertama di Merauke adalah JH Kroesen. JH Kroesen mengundang Misionaris Hati Kudus bekerja di Merauke. Mereka berpusat di Langgur pada 1902,” katanya.
Pastor Alberto Setyo MSC menjelaskan pada tanggal 22 Desember 1902 Vikariat Apostolik Batavia dimekarkan, salah satunya menjadi Prefektur Apostolik Nederlands Nieuw Guinea. Prefektur Apostolik Nederlands Nieuw Guinea kemudian membawahi wilayah di sebelah timur Sulawesi, yaitu Maluku West Nieuw Guinea.
Baca juga: Uskup se-Regio Papua diminta tetapkan 22 Mei sebagai Hari Misi Katolik
Ia juga menyebut peran Assisten Residen Fakfak, WEG Kroesen. Menurutnya, WEG Kroesen meyakini bahwa peran agama Kristen amat penting dalam memajukan peradaban masyarakat. Pada 22 Juni 1903, WEG Kroesen menulis surat kepada pimpinan Tarekat MSC di Tilburg, Belanda, meminta para misionaris Katolik bersedia menangani wilayah selatan Papua Barat.
“Tarekat MSC mengutus terlebih dahulu Br Alexis Henkelman MSC dari Thursday Islands, guna meninjau keadaan wilayah selatan Papua Barat. Ia tiba di Merauke dengan kapalnya St Andrew. Bruder langsung mengumpulkan semua informasi yang relevan dari berbagai penjuru, mengenai topografi wilayah Merauke yang luas dan datar, mencatat bagaimana cara penerimaan penduduk pulau,” katanya.
Pastor Alberto Setyo, MSC mengatakan, pada tanggal 1 September 1903 Pater Neijens MSC dan didampingi Pater Hendricus MSC berangkat dari Belanda ke Vatican untuk menyampaikan sekaligus meminta restu dari Paus Pius X.
Baca juga: SKPKC se-Papua pertanyakan sikap Ketua KWI
“Prefektur Apostolik Nederlands Nieuw Guinea diserahkan dari Ordo SJ kepada Ordo MSC pada tgl 1 Januari 1904. Pastor Mathias Neijens MSC ditunjuk sebagai Prefek Apostolik Nederlands Nieuw Guinea Pertama, berkarya dari tahun 1903 hingga 1915. Wilayahnya meliputi Maluku dan Papua Barat, di mana Langgur sebagai pusat strategi dan logistik misi,” katanya.
“Pada 1904, Prefek Mathias Neijens MSC dari Tual mengunjungi Fakfak dan Merauke. Di Merauke, sudah dibangun pos pemerintah Belanda. Asisten Residen, Tuan Kroesen mempercayakan daerah selatan kepada para misionaris Katolik MSC,” katanya.
Menurut Pastor Alberto Setyo MSC, kapal De Valk berlabuh di dermaga kayu Merauke pada 24 April 1904. Saat itu, Pastor Mathias Neijens MSC dengan berani turun ke darat, berjalan sendirian di tepi sungai, tanpa kawalan serdadu bersenjata. Saat itu, beberapa orang Teguri melihat dia, dan menganggapnya seorang dema titisan nenek moyang.
“Pastor Mathias Neijens MSC menulis kisah kunjungannya ke kediaman residen. ‘Di tengah percakapan kami, Tuan Residen Kroesen berkata sambil menyodorkan sebuah revolver. Katanya, ‘Saya tidak akan membiarkan Anda pergi begitu saja. Saya tahu, orang-orang itu (menunjuk ke arah luar) tidak bisa dipercaya. Rata-rata dalam dua hari mereka membunuh seorang Cina. Itulah sebabnya saya akan beri juga Anda, beberapa tentara pengawal, supaya Anda dapat dengan mudahnya bepergian’’,” kata Pastor Alberto Setyo MSC.
Baca juga: Sejarah karya misi Katolik hadir di Tanah Papua dibahas STK ‘Touye Paapaa’ Deiyai
Pastor Mathias Neijens MSC menolak tawaran JH Kroesen itu. Kroesen lalu menyediakan 7 – 8 hektare tanah untuk misi Gereja Katolik. Berbekal dua kosa kata Malind, yaitu “kay” (berarti sahabat) dan “igis (berarti nama), Pastor Mathias Neijens MSC mendatangi permukiman warga setempat.
“Pater Neijens untuk pertama kali mengadakan kunjungan ke muara sungai Maro, Kimam, Okaba, Badee, dan Muting di Merauke. Pater Neijens pada tahun 1904 juga mengadakan kunjungan ke Kampung Skeru di Fakfak, untuk meneruskan karya pelayanan yang ditinggalkan selama delapan tahun oleh Pastor Le Coq d’Armandville yang tenggelam di Kampung Kipia Mafar, Mimika Barat pada 1896,” kata Pastor Alberto Setyo MSC.
Keberhasian Pastor Mathias Neijens MSC menjalin hubungan baik dengan Orang Asli Papua membuat Tarekat MSC mengirimkan rombongan misionaris MSC berikutnya. Pastor Alberto Setyo MSC menjelaskan rombongan pertama misionaris MSC itu tiba di Merauke pada 14 Agustus 1905.
“Pada 14 Agustus 1905, empat orang misionaris utusan Vatican mendarat di Merauke. Keempat misionaris yang mulai berkarya dari selatan Tanah Papua adalah Pastor Henri Nollen MSC, Philipus Braun MSC, Bruder Adrian Roesel MSC, dan Bruder Melchio Oomen MSC,” katanya.
Menurutnya, sejumlah kampung yang pertama kali dikunjungi keempat misionaris MSC itu adalah Kampung Muyu Mandobo, Tanah Merah, Kimam, Bade, Mappi, dan Asmat. Hal yang membedakan kehadiran para misionaris dengan warga pendatang lainnya adalah bahwa para misionaris itu bekerja menyembuhkan orang-orang sakit.
Para misionaris setia mengunjungi gubuk-gubuk sepanjang pesisir pantai (duv), memasuki rumah pondok di darat (bop), berbicara di rumah bujang (gotade) – tempat bertemu kaum pria dewasa. Kegigihan mereka kini berbuah, Gereja Katolik terus berkembang di wilayah pesisir selatan Papua. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G