Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Hari Suroto
Papua dan Papua Nugini (PNG) ibarat tetangga dekat, satu konteks budaya, satu konteks geografis, dan satu akar budaya. Posisi Papua merupakan pertemuan Asia dengan Polinesia, Micronesia, Melanesia, dan Australia.
Selain itu, Papua secara geografis pada zaman es merupakan satu geografis dengan Australia dan PNG. Artinya, ada keterkaitan langsung antara Papua dengan Australia.
Geomorfologi Papua dan PNG memiliki karakter yang sama, jajaran pegunungan tengah, membentang dari Paniai hingga PNG. Selain itu juga memiliki persamaan flora dan fauna.
Arkeologi Papua harus bisa mengimbangi arkeologi di PNG. Peneliti Australia banyak berperan sebelum PNG merdeka (16 September 1975), kemudian berlanjut hingga sekarang.
Kondisi penelitian arkeologi Papua tertinggal secara kuantitatif dan kualitatif. Kesenjangan sangat jauh sekali. Melanesia barat baru dilakukan penelitian mulai tahun 1968 oleh peneliti Australia National University.
Data terputus dalam menghubungkan Sahul dengan Sunda Land.
Banyak situs PNG yang sudah dipertanggali. Arkeologi PNG mengikuti trend arkeologi Australia. Publikasi dalam bentuk buku dan artikel dalam bahasa Inggris.
Publikasi prasejarah sangat terbatas di Papua, R.P. Soejono (1963:39-93), menulis artikel “Prehistori Irian Barat”, lebih banyak menggunakan sumber dari peneliti Belanda. Kemudian direvisi tahun 1994, menjadi “Prasejarah Irian Jaya”.
Artikel revisi ini hampir sama dengan artikel tahun 1963, perubahan hanya terletak pada ejaan dan judul saja. Penulis (Suroto, 2010) mencoba menggunakan sumber-sumber sekunder dari Australia dan PNG menulis buku ‘Prasejarah Papua”, buku ini berupa pengantar dan gambaran umum tentang penelitian prasejarah di Papua.
Publikasi arkeologi kawasan baru buku karangan Peter Bellwood (2000) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Prasejarah Indo-Malaysia serta buku Man’s Conquest of the Pacific (Bellwood, 1978).
Penelitian tentang pertanian awal pernah dilakukan oleh tim Australian National University, yang melakukan analisis pollen terhadap sisa tanaman buah merah dari Kelila, Mamberamo Tengah, dari analisis ini diketahui bahwa pembukaan lahan untuk budidaya merah pernah berlangsung sekitar 7.000 dan 5.200 tahun yang lalu.
Hal ini menunjukkan bahwa pegunungan tengah Papua telah mengembangkan pertanian independen.
Pada masa prasejarah Papua dan PNG memiliki karakter budaya yang sama. Gerabah hanya ditemukan di pesisir Papua dan PNG, gerabah di PNG ditemukan di pesisir selatan PNG, sedangkan di Papua hanya di pesisir utara.
Pola hias gerabah dari Situs Gua Skouw Mabo Jayapura memiliki kesamaan dengan gerabah dari Gua Lachitu dan Gua Taora di Vanimo, PNG.
Pada masa paleolitik, kapak berpinggang (waisted axe), di Papua belum ditemukan. Budaya Lapita ditemukan di sekitar Jayapura dekat dengan perbatasan PNG (secara geografis).
Highlights arkeologi Papua dengan keterbatasan yang ada mengikuti tren Pusat Arkeologi Nasional. Untuk penelitian arkeologi di kawasan kepulauan Pasifik, baik penelitian arkeologi di Micronesia, mengikuti trend Hawai Minoan University.
Untuk kawasan Melanesia dan Polinesia mengikuti trend Australian National University atau Otago University di New Zealand.
Kontribusi arkeologi Papua masih sangat kurang dalam pengembangan ilmu arkeologi di kawasan. Arkeologi berkaitan dengan budaya dan manusia. Data arkeologi di Papua sangat terbatas.
Papua menjadi tempat persilangan, pertemuan budaya dalam satu kawasan. Papua bagian dari sejarah peradaban manusia. Persebaran manusia sapiens secara teoritis dapat dicari di Papua untuk kawasan Pasifik dan timur Asia Tenggara. Kehadiran manusia secara teoritis dimulai dari 60.000 tahun yang lalu. Hal ini dikaitkan dengan migrasi manusia ke timur yang ditemukan di Australia.
Tantangan ke depan pasti akan ditemukan situs manusia tertua di Papua. Ini merupakan tantangan Balai Arkeologi Jayapura dan Pusat Arkeologi Nasional.
Peneliti harus berwawasan luas (internasional), share artikel maupun buku yang sudah dipublikasikan. Membuka link kerja sama dengan instansi arkeologi di PNG, membuka link dengan peneliti kawasan (Hawai Minoa University, Universiy of Philippines Diliman, Australian National University, Otago University, University of Papua New Guinea).
Pertanggalan tertua di Papua ada di Gua Toe 26.000 tahun yang lalu. Seharusnya Papua sudah dihuni sudah lama, kehadiran manusia di New Guinea (50.000 tahun yang lalu), tetapi bukti fosil manusia pertama belum ditemukan di PNG dan Papua, tantangan bersama di kedua negara.
Lain halnya dengan PNG situs peradaban manusia tertua 40.000 tahun yang lalu. Benang merah prasejarah New Guinea dari Raja Ampat hingga Port Moresby belum ditemukan karena ada ketimpangan data untuk wilayah Papua.
Perlu penelitian situs-situs perbatasan kedua negara baik. Waisted axe (kapak pinggang) ditemukan di PNG dan Australia, sedangkan di Papua belum ditemukan. Persebaran alat ini selama di Papua belum ditemukan, maka benang merahnya tidak ketemu.
Selain itu di Kuk Swamp, PNG sudah ada situs pertanian awal sekitar 7.000 hingga 6.400 tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan teknologi yang sudah maju dalam pertanian.
Kuk Swamp sudah menjadi warisan UNESCO. Pasti ada situs pertanian tertua di Papua. Batu pipisan ditemukan banyak di PNG, sedangkan temuan di Papua terbatas.
Interkoneksi selalu terjadi dalam sejarah manusia, walaupun secara geografis terpisah laut. Potensi lainnya adalah rock art, di Australia bahkan sudah dipertanggali 20.000 tahun yang lalu.
Papua masih belum banyak bercerita tentang budaya rock art ini. Rock art di Fak-Fak, Kaimana, menjadi bukti interaksi budaya Austromelanesia dan Austronesia, hal ini membuktikan adaptasi kedua manusia ini.
Hunian austronesia awal (neolitik), tinggalannya lebih banyak di wilayah pesisir. Kenapa penutur Austronesia tidak masuk ke pedalaman, hal ini karena di pedalaman sudah ada budaya pertanian yang tinggi. Budaya megalitik terkait pemujaan terhadap roh leluhur.
Papua merupakan wilayah yang menjadi pertemuan style Pasifik dan Indonesia barat. Tradisi-tradisi prasejarah diperlukan untuk mencari akar budaya masa lalu. (*)
Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua
Editor: Timo Marthen