Papua No. 1 News Portal | Jubi
KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) gagal menender Antiretroviral (ARV), obat yang biasa dikonsumsi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Dampaknya, ODHA akan kesulitan untuk mendapatkan ARV karena tidak ada lagi obat yang dapat dikonsumsi untuk memperkuat daya tahan tubuh mereka.
Karena itu, Ketua Umum Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Lukas Enembe, meminta ketua harian KPA Provinsi Papua, Yan Matuan, segera mencari alternatif selain ARV untuk pengidap HIV/AIDS.
Enembe yang juga Gubernur Papua mengatakan jika KPA tidak bisa menemukan obat alternatif maka nanti orang asli Papua hanya akan menjadi kenangan di masa mendatang.
“Harus ada upaya, kita tidak boleh menyangkal negeri kita ini untuk orang lain, karena sekarang orang luar datang ke sini untuk menguasai tanah dan seluruh potensi yang ada di Papua,” katanya.
Menurut Enembe, masuknya orang luar ke Papua merupakan awal dari pembunuhan dan pemusnahan orang Papua. Ia mecontohkan narkoba yang dibawa orang luar dan bukan muncul di Papua. Minuman beralkohol (minol) juga masuk dari luar. Keduanya penyakit sosial yang harus dimusnahkan.
“Sudah saatnya mencari alternatif obat lain, selain untuk menyelamatkan generasi Papua kita harus sepakat untuk tetap menjaga kondisi yang baik, sekarang jangan seks bebas karena ini sangat membahayakan, kalau memang harus, pakai kondom karena obat untuk penyakit ini belum ada,” ujarnya.
Ia berharap semua pihak ikut meminimalisir penularan HIV dengan melakukan sosialisasi di tiap pelosok pedalaman Papua demi menyelamatkan manusia Papua dan orang asli Papua.
Ketua KPA Provinsi Papua, Yan Matuan, mengatakan,ARV memiliki kelebihan dan kekurangan. Pengunaan ARV bisa saja, karena program paten pemerintah. Persoalannya ialah pasien ODHA yang mengonsumsi ARV hanya sifatnya untuk melakukan pencegahan atau menekan perkembangan virus yang menyerang kekebalan tubuh, namun tidak bisa menyembuhkan virus tersebut secara langsung.
“Kamampuan ARV sebatas itu saja, jadi pertanyaan sampai kapan ODHA akan mengonsumsi ARV? Karena obat ini ada batasannya, sama saja minum tiap hari namun akan mati juga karena tidak ada batas waktu,” ujarnya.
Karena itu KPA berharap pemerintah harus mencari alternatif lain untuk menghentikan virus HIV.
“Bagaimana caranya? Tuhan sudah kasih hikmat, pakai itu jangan kamu ragu-ragu, berdoa kepada Tuhan pasti Tuhan akan kasih itu,” katanya.
Ia menambahkan kondom juga tidak menjamin seseorang terhindar dari virus HIV, meskipun bisa membantu mencegah penularan melalui hubungan seksual.
Matuan menekankan bahwa sosialisasi bahaya HIV/AIDS sangat penting dilakukan kepada masyarakat di Tanah Papua, selain kepada petugas dan individu. Gereja berperan penting untuk menyampaikan kepada umat mereka.
“Dengan melihat angka ODHA yang semakin meningkat di Papua, KPA akan membangun klinik ODHA di 5 wilayah adat untuk menampung mereka sehingga mudah kita mengontrol dan mengobati mereka,” katanya.
Paling penting, kata Matuan, mereka yang berada di pelosok kabupaten-kabupaten untuk aktif. Selain melakukan sosialisasi, juga melakukan pemeriksaan rutin terhadap setiap warga.
Sebab, katanya, virus tersebut tidak memandang status seseorang, baik pejabat, petugas kesehatan, pemuda gereja, atau cantik dan ganteng, karena virus tersebut menyerang tanpa memandang siapa dia.
“Pemerintah daerah kabupaten dan kota juga harus membuka diri dan berperan aktif melawan virus ini, sehingga kita bisa menekan angka HIV/AIDS di Papua dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk kita jalan bersama melawannya,” ujarnya.
Klinik Walihole adalah klinik yang sudah tujuh tahun beroperasi menampung pasien terinfeksi HIV, serta penyakit menular lainnya. Kepala Klinik Walihole, dr. Agnella Chingwaro, mengatakan ARV hanya menekan penyebaran virus dan bukan mematikan virusnya.
“Tidak ada ketersediaan ARV di Papua akan sangat berpengaruh, apalagi mereka yang aktif mengonsumsi obat tersebut sehingga pemerintah harus ambil kebijakan cepat,” katanya.
Selain ARV, katanya, pasien ODHA harus aktif mengontrol diri mereka di klinik atau rumah sakit, sejauh mana perkembangan virus sehingga ada pencegahan lebih awal daripada setelah sakit parah baru dilarikan ke ke rumah sakit.
“Jangan tunggu sakit baru berobat, pastikan kesehatan Anda lebih awal dengan mengecek di klinik atau rumah sakit, sekarang kita harus lebih fokus kepada mereka yang tidak tertular agar tidak terkena virus,” katanya.
Data terbaru yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 31 Desember 2018, jumlah kasus HIV/AIDS di Provinsi Papua 39.978 orang. HIV sebanyak 15.176 dan AIDS 24.802 orang.
Usia tertinggi penderita adalah 25-49 tahun sebanyak 22.983 orang. Berikutnya usia 20-24 sebanyak 9.380 orang. Yang menyedihkan terdapat usia di bawah 1 tahun sebanyak 58 orang, usia 1 hingga 14 tahun 947 orang, dan usia 15-19 tahun 4.706 orang.
Penderita terbanyak adalah perempuan 20.932. Sedangkan laki-laki 18.949.
Jumlah pederita tertinggi adalah Nabire 7.291 orang. Kemudian Kota Jayapura 6.371, Kabupaten Jayawijaya 6.242, Mimika 5.733, dan Kabupaten Jayapura 2.975.
Sedangkan angka kematian akibat AIDS tertinggi di Jayawijaya 416 orang. Kemudian Kabupaten Jayapura 322 orang, Nabire 321, Kota Jayapura 220, dan Mimika 170 orang. (*)
Editor: Syofiardi