Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Gordon Peake
Sukaria dan bersemangat bukanlah dua kata sifat yang biasanya saya gunakan untuk menggambarkan Kota Buka, tetapi kedua kata ini adalah yang paling sesuai dengan suasana di sini pada hari-hari selama referendum ini.
Buka adalah ibu kota administratif Daerah Otonomi Bougainville dan pusat dari kegiatan referendum sepanjang dua minggu, untuk menentukan masa depan status politik wilayah itu, yang akan berlangsung hingga Sabtu ini (7/12/2019). Opsi yang ada bagi pemilih adalah antara pengaturan otonomi saat ini yang lebih maju di bawah PNG atau merdeka. Referendum adalah inti dari perjanjian perdamaian Bougainville, Bougainville Peace Agreement (BPA) tahun 2001, yang berhasil mengakhiri konflik terpanjang di Pasifik sejak Perang Dunia Kedua.
Hasil pemungutan suara referendum ini tidak merupakan penentuan akhir. Sesuai dengan perjanjian perdamaian, parlemen Papua Nugini memiliki wewenang untuk mengambil keputusan final tentang masa depan politik Bougainville. Konstitusi PNG, yang mendasari perjanjian perdamaian Bougainville, menyatakan bahwa setelah referendum, kedua pemerintah harus ‘berkonsultasi tentang hasilnya. Apa makna kata konsultasi dalam praktiknya nanti – dan, yang penting, berapa lama waktu yang diperlukan – masih belum pasti’.
Tetapi pertanyaan seperti itu tidak menyita perhatian masyarakat saat mereka memberikan suara dalam referendum ini. Selama seminggu terakhir, Buka telah menikmati perhatian dunia. Orang-orang Bougainville dengan sabar mengantre di TPS, mereka bersorak ceria ketika iring-iringan mobil dan parade yang memindahkan kotak-kotak suara dari daerah pedesaan untuk disimpan di pusat lewat. Jaringan seluler yang sudah lemah semakin lamban akibat banyaknya orang-orang yang berswafoto dan berbagi foto-foto saat mereka memilih.
Orang-orang setempat menikmati naiknya perhatian atas gugusan pulau mereka dengan kehadiran berbagai pengamat dan media internasional. “Banyak wartawan di Buka minggu lalu,” kata John dari Bougainville Selatan, yang saya temui di luar Pasar Buka sedang mengunyah ikan bakar. “Saya berharap BBC juga datang untuk pengumuman hasilnya.”
John adalah salah satu dari banyak orang di Buka yang memiliki tanda tinta hitam di jari kelingking kanan, yang menunjukkan bahwa mereka telah memilih. Menurut Komisi Referendum Bougainville (BRC), yang mengelola dan melaksanakan referendum, 99% pemilihan selesai.
Di mana-mana terlihat bendera Bougainville: gambar upe, topi anyaman yang digunakan dalam upacara inisiasi anak dan remaja laki-laki, dengan latar belakang warna biru kobalt. Bendera-bendera berkibar di tiang-tiang jalan, pohon-pohon, di bagian belakang mobil-mobil, di toko-toko. Bendera ini dicetak di kaus-kaus berwarna cerah sementara seruan-seruan seperti ‘Black Power’ dikenakan sebagai anting-anting dan kalung, lalu ditempelkan di lensa kacamata hitam dengan posisi yang begitu rendah sampai membuat pemakainya setengah buta.
Pada Minggu, saya berkendara keluar dari kota Buka ke tempat-tempat lain di pulau itu, dimana begitu terbatasnya jangkauan pemerintah, orang-orang Bougainville di sini benar-benar menjalani kehidupan mereka dengan otonomi dan kebebasan. Setidaknya satu bendera Bougainville berkibar di setiap rumah.
Kegembiraan massal ini dimungkinkan dengan minuman, dan tidak ada yang lebih kuat dari, air kelapa dan Coca-Cola. Siapa pun yang mencari bir, anggur, wiski ‘Namba Wan’, atau bahkan minuman alkohol rumahan di hari-hari referendum ini sedang sial. Larangan minuman keras telah diberlakukan, dan dipatuhi oleh semua orang – suatu indikasi luar biasa tentang aturan apa yang dapat diberlakukan dan ditegakkan di Bougainville jika ada dukungan masyarakat.
Kota Buka, sebagai tempat, bisa dijabarkan dengan satu paragraf kecil dalam panduan wisata. Kota ini punya satu pelabuhan, pabrik kopra, sekitar sepuluh toko bir, satu pasar dengan atap merah, beberapa hotel, restoran pizza lezat yang dikelola oleh sekelompok biarawati, satu toko roti dan toko pai daging yang sama ramainya, sebuah toserba, serta beberapa toko-toko yang dikelola orang-orang Tiongkok dengan nama-nama unik seperti ‘Boots Camp’, ‘Happy Sounds’, dan ‘New Household Supermarket’, yang menjual segala jenis barang mulai dari krim wajah, pencerah kulit hingga daging kalengan. Ke-14 kementerian pemerintahan otonomi Bougainville juga berada di kota ini, bersama dengan gedung parlemen daerah itu, Dewan Perwakilan Rakyat, yang berdiri teguh di atas bukit.
Populasi Buka hanya beberapa ribu jiwa, yang meningkat tajam di siang hari. Perempuan datang memikul buah-buahan dan sayuran untuk dijajakan di pasar, tetapi banyak yang datang untuk bersantai di sekitar jalan utama. Mereka yang berjalan kaki bolak balik ruas jalan ini dikenal dengan sebutan ‘generasi yang hilang’: mereka tidak menerima pendidikan selama konflik Bougainville dan segera setelahnya. Hanya sedikit saja dari mereka yang memiliki pekerjaan atau harapan untuk mendapatkan pekerjaan.
Sejumlah analisis dan laporan yang diterbitkan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan ada perasaan tidak pasti. Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan tentang keadaan keuangan Bougainville; pemerintahnya bergantung pada hibah dari pemerintah pusat di Port Moresby. Apa yang harus dilakukan dengan masalah sebesar ‘generasi yang hilang’? Ekonomi wilayah itu sekarang berada di bawah era sebelum konflik (pra-1989), bagaimana ini dapat dibangkitkan kembali? Apakah ada cukup banyak orang dengan keterampilan administrasi publik tingkat tinggi, yang diperlukan untuk memulai dan meneruskan pemerintahan dan pengaturan yang baru, terlepas dari hasil referendum adalah ‘otonomi yang lebih besar’ atau ‘merdeka’?
Tetapi hanya sedikit orang di Pulau Buka ini yang berselisih tentang hal-hal itu selama minggu-minggu penuh sukaria ini. Melakukan hal itu dapat menurunkan suasana yang ceria. Itu adalah pertanyaan untuk hari lain, untuk waktu yang lain, untuk dikhawatirkan oleh orang lain.
“Apa pun hasilnya, kita masih punya ubi jalar dan ikan bakar,” tutur John.
Hasil referendum akan diumumkan di Buka pada pertengahan Desember. Untuk sementara ini, kita menunggu. (The Interpreter oleh Lowy Institute)
Editor: Kristianto Galuwo