Menang referendum, pembentukan Bougainville sebagai negara baru lebih dari itu

Pamflet informasi pemungutan suara di TPS menjelang referendum kemerdekaan November 2019 di Buka, Bougainville. - Ness Kerton/AFP/ Getty Images

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Gordon Peake

Kajian buku Routledge Handbook of State Recognition diedit oleh Gëzim Visoka, John Doyle, dan Edward Newman (Routledge 2019).

Read More

Di sebuah aula sekolah di Buka, Bougainville, pada momen memabukkan setelah deklarasi hasil referendum Bougainville pada Desember 2019 – 97,7% mendukung kemerdekaan dari PNG – wartawan dari seluruh dunia menelepon saya untuk meminta bantuan. Setiap orang mengajukan dua jenis pertanyaan: ‘Apakah kita sedang menyaksikan awal dari negara terbaru di dunia’, dan ‘Bisakah Anda memberikan kontak seorang Bougainville yang dapat kami wawancarai’?

Saya sedang berdiri di samping teman saya Eddie Mohin ketika panggilan-panggilan itu masuk. Mohin adalah seorang komandan Bougainville Revolutionary Army, anggota komisi yang mengembangkan konstitusi Bougainville, gitaris, penyair, dan penyedia serangkaian proyek sambilan terkait pengamanan untuk pemerintah di Buka yang hanya terkadang dibayar. Dia dengan senang hati menurut kemauan mereka, sementara saya memainkan peran sebagai kaki tangannya.

“Selama ini keinginan untuk merdekaan ada dalam darah saya,” ujar Mohin kepada CNN dalam satu wawancara. “Itulah yang selalu diinginkan oleh nenek moyang kita… Mereka ingin memastikan isu perjuangan kemerdekaan diselesaikan.”

Ketika ditanya apakah isu itu sekarang telah diselesaikan, dia dengan tegas menjawab ‘Ya’. Ketika tiba giliran saya, saya menerangkan tentang bagaimana negara-negara menjadi merdeka ketika diakui negara-negara lain sebagai negara berdaulat, dan tentang Kesepakatan Damai Bougainville yang menentukan periode ‘konsultasi’ yang berkepanjangan setelah ada hasil pemungutan suara tadi. Jawaban Mohin yang bersemangat ada di dalam berita itu, sementara jawaban saya banyak yang dipotong mungkin karena banyak jargon dan abstrak.

Delapan belas bulan sejak hari di Desember itu, hanya ada sedikit kemajuan yang terjadi. Bougainville masih tetap menjadi wilayah otonomi di Papua Nugini. Konsultasi antara pemerintah di Buka dan Port Moresby berjalan mulus.

Harapan Mohin akan kemerdekaan masih belum terpenuhi.

“Dan bisa tetap seperti itu untuk waktu yang lama”, pikir saya setelah membaca buku Routledge Handbook of State Recognition, kumpulan esai ilmiah yang mendalam dan memikat, menelaah hal apa yang diperlukan bagi sebuah negara untuk dibentuk di dunia modern. Di antara kesimpulan yang saya pelajari adalah bahwa hal itu sangat sulit untuk dilakukan.

Geopolitik adalah alasan utama mengapa hal itu sulit. Negara-negara yang berdaulat umumnya mengakui lahirnya negara-negara yang baru jika itu sesuai dengan kepentingan mereka, dan jika mereka tidak mengakuinya maka berbagai alasan hukum untuk tidak melakukannya. Karena alasan itulah Yugoslavia segera diakui oleh Barat, sementara tempat-tempat seperti Sahara Barat, Siprus Utara, dan Somaliland tetap berada dalam ketakpastian.

Kadang-kadang banyak hal berubah, seperti yang ditulis Milena Sterio tentang Timor Leste, sebuah negara yang pengakuannya berubah drastis dalam pengakuannya oleh negara-negara besar. Selama hampir seperempat abad pendudukan Indonesia, perjuangan Timor Leste diabaikan atau, dari urusan Australia, secara aktif dilemahkan sampai realpolitik-nya berubah.

Referendum – bahkan yang berakhir dengan mayoritas suara ‘ya’ seperti yang terjadi di Bougainville – tidak serta merta membuka jalan menuju status kenegaraan. Sebuah analisis oleh Matt Qvortrup menemukan bahwa dari 44 referendum kemerdekaan sejak 1980-an dimana suara ‘ya’ menang, hanya sekitar sepertiga dari kasus-kasus ini yang benar-benar menghasilkan negara-negara baru. Beberapa contoh dari referendum kemerdekaan dengan pemenangan suara ‘ya’ belakangan ini yang tidak berbuah dengan kemerdekaan adalah Catalonia (90%) dan Kurdistan Irak (72%).

Lagi-lagi Politik kekuasaan. Qvortrup berargumen bahwa “dukungan Dewan Keamanan PBB dari tiga negara permanen dunia barat” merupakan faktor penting dalam menentukan apakah sebuah bendera nasional akan berkibar di PBB atau tidak. Dalam kasus Bougainville, kepentingan dari Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat itu minim: Prancis pernah mengirimkan delegasi pada 2018 untuk memperingati 250 tahun berlalu sejak Louis de Bougainville melihat pulau itu, sementara Inggris dan AS hanya menyumbang bantuan dalam jumlah yang relatif kecil untuk proyek-proyek pembangunan perdamaian. Tidak ada yang menunjukkan kepentingan yang lebih jelas untuk mendukung kemerdekaan Bougainville, atau mengumumkan posisi mereka dalam isu kemerdekaan. Pertanyaan yang menarik adalah, apakah dengan kebangkitan Tiongkok ketiga negara ini akan tetap penting dalam hal-hal seperti pemungutan suara yang menentukan nasib Bougainville.

Ada banyak bab yang menggugah pikiran dalam buku ini. Gëzim Visoka, salah satu editor buku ini, memberikan kontribusi yang menarik dimana ia meneliti negara-negara yang mengakui negara yang tidak baru menjadi kemudian berubah pikiran dan tidak mengakuinya. Contohnya, pada tahun 2018, Papua Nugini, bersama dengan Lesotho, menarik pengakuan resmi mereka atas Kosovo, dengan penduduk asli Visoka. Alasan yang mereka gunakan adalah bahwa mereka “menunggu hasil dialog yang difasilitasi oleh Uni Eropa tentang normalisasi hubungan antara Kosovo dan Serbia”. Tiongkok dan Taiwan telah lama melihat kawasan Pasifik sebagai medan perang diplomatik di antara mereka, menghujani kemurahan hati mereka dalam bentuk bantuan, pinjaman, dan sumbangan tunai sebagai balasan atas pengakuan diplomatik. Dalam beberapa tahun terakhir, Kiribati dan Kepulauan Solomon menggantikan posisi sebelumnya yang pro-Taiwan dan sekarang mengakui Beijing.

Bab yang disusun oleh James Kerr-Lindsay dalam buku pegangan ini menunjukkan seberapa besar kebijakan luar negeri sejumlah negara – seperti Siprus dan Spanyol – berupaya untuk menolak perhatian dari negara lain akan wilayah bergolak di dalam perbatasan mereka. PNG juga sempat kesal ketika itu merasa beberapa negara-negara yang memberi Bougainville status politik terpisah, seperti yang terbukti pada 2015 ketika menteri luar negeri Australia Julie Bishop mengumumkan mereka akan membuka pos diplomatik di Buka.

Jadi bagaimana dengan Mohin dan 176.000 orang Bougainville yang memilih untuk merdeka? Atau aspirasi untuk menjadi negara berdaulat di daerah-daerah lain seperti Kaledonia Baru (yang tampaknya semakin lama semakin mendekati suara ‘ya’) atau Papua Barat (setelah PEPERA dikecam)? Terhalang, sepertinya. Referendum saja tidaklah cukup: seperti yang ditunjukkan oleh para penulis yang berkontribusi dalam buku ini, kekuatan yang masih menentukan keanggotaan dari klub eksklusif negara-negara yang berdaulat. (The Interpreter)

Gordon Peake adalah penasihat Pemerintah Otonomi Bougainville (ABG) dari 2016 hingga 2020.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply