Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Alexandro Rangga OFM
Sejak kasus campak dan gizi buruk mencuat pada tanggal 8 Januari 2018 (Kompas, 8/1/2018), perhatian masyarakat tertuju ke Asmat. Hingga 17 Januari 2018 sudah 11.386 balita di 23 distrik di Asmat sudah divaksinasi campak maupun vaksinasi lengkap. Pertanyaannya, apakah kasus ini sungguh merupakan Kejadian Luar Biasa atau KLB? Ataukah kasus ini hanyalah persoalan biasa yang kebetulan mencuat ke permukaan dan mendapat perhatian media cetak dan elektronik nasional maupun international dan media online?
Jika melihat persoalan ini dari dekat, kita pun bisa tersenyum. Maklum mendengar solusi panik Presiden Jokowi yang hendak merelokasi warga Asmat. Apalagi jika relokasi tersebut bersifat permanen. Solusi yang malah bisa membunuh orang Asmat karena mencabut mereka dari akar hidup dan budayanya. Toh Jokowi yang nun jauh di istana presiden, yang meskipun telah beberapa kali mengunjungi Papua, sama butanya dengan orang-orang yang ada di Jayapura yang lebih dekat secara teritorial maupun kultural, yang melihat persoalan di Asmat sebagai suatu politik pembiaran atau bahkan genosida. Bahkan Kompas (9-10/1/2018) melihat seolah-olah ini akibat buruknya infrastruktur, dan karenanya perlu dibangun jalan dan jembatan untuk kemudahan akses layanan publik.
Meramu ala masyarakat dan pemerintah
Ada dua hal mendasar yang bisa menjelaskan mengapa kasus gizi buruk dan campak terjadi di Asmat.
Pertama, pola hidup masyarakat Asmat yang berubah, secara khusus pola konsumsi. Masyarakat Asmat adalah masyarakat konsumtif yang meramu hasil hutan dan sungai sebagai sumber karbohidrat dan protein seperti sagu, ikan, kepiting, udang, babi hutan ataupun kasuari. Pola ini berubah pasca adanya Otsus (Otonomi Khusus) beserta dana-dana pembangunan yang mengalir ke desa-desa dan kampung-kampung di Papua, seperti dana Respek (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) ataupun Anggaran Dana Desa (ADD).
Sebagaimana dijelaskan Jan Boelaars dalam bukunya “Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan”, masyarakat peramu konsumtif mengandalkan hidupnya dari apa yang telah disediakan oleh alam. Mereka tidak perlu bekerja keras layaknya tipe masyarakat petani produktif maupun peladang, karena semua kebutuhan mereka telah disediakan. Dana-dana desa justru mengentalkan mental konsumtif dan tidak perlu bekerja keras ini. Masyarakat lalu beralih dari meramu alam ke meramu pemerintah berikut ADD-nya. Ada ADD berarti ada uang dan beras miskin (raskin). Masyarakat bisa tahan berhari-hari tidak makan sampai menunggu cairnya Dana Desa atau mengisi perut dengan berutang beras raskin, supermie atau ikan sarden ke kios-kios para pedagang yang tersebar di seluruh Asmat hingga ke pelosok daerah pedalaman.
Di kota Agats (ibu kota Kabupaten Amat) sendiri jika ADD cair, akan sulit untuk membeli ikan atau sagu karena masyarakat tidak menebar jaring dan menjual hasilnya ke kota Agats. Dalam kaitannya dengan itu, tidaklah mengherankan jika setelah 16 tahun Otsus, IPM Provinsi Papua tetap yang terendah dari seluruh provinsi di Indonesia yakni 58,05 pada tahun 2016. Dana-dana yang dicairkan hanya transit sebentar di saku masyarakat untuk seterusnya beralih ke kas-kas para pedagang yang didominasi oleh para pendatang. Maka tidaklah mengherankan jika ada banyak anak yang gizi kurang atau gizi buruk karena makan kalau ADD cair atau ada pembagian raskin yang tidak bergizi itu atau berutang sebungkus supermie dan sekaleng ikan sarden yang sering sudah kedaluwarsa.
Dalam keadaan demikian, virus campak mudah menyerang anak-anak dan menyebar luas. Hal ini diperparah dengan pola pikir masyarakat bahwa jika balita disuntik maka ia akan mati. Hal ini menjelaskan mengapa program posyandu maupun imunisasi mempunyai persentase kehadiran yang amat rendah. Belum lagi pola hidup masyarakat yang tidak menetap di kampung dan lebih sering ke dusun untuk meramu hasil hutan dan sungai;
Kedua, buruknya layanan publik. Pelayanan publik meliputi pemberdayaan kampung, kesehatan dan pendidikan. Buruknya layanan bukan pertama-tama karena tiadanya infrastruktur, tetapi karena tidak adanya sinergi antara pemerintah kampung, petugas kesehatan maupun tenaga pendidik. Ada infrastruktur seperti balai desa, puskesmas atau pustu (puskesmas pembantu) maupun sekolah-sekolah. Sayangnya petugas medis maupun tenaga pendidiknya tidak aktif dan tidak ada di tempat. Kebanyakan tinggal di kota dan makan gaji buta. Banyak puskesmas dan sekolah lalu menjadi tidak terawat dan rusak. Kontrol pemerintah terhadap kedua bidang layanan dasar ini pun amat lemah. Bahkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kedapatan lalai tidak ditindak tegas. Sampai pada titik ini, pemerintah daerah pun tidak sepenuhnya salah dan dapat dikambinghitamkan.
Di satu sisi, kapasitas pemerintah daerah untuk merekrut ASN amat terbatas sebagaimana diakui berulang kali oleh Elisa Kambu, Bupati Asmat di media. Kalaupun ada, kualifikasi aparat kampung, tenaga medis maupun guru rendah. Di sisi lain, pola hidup masyarakat Asmat yang sering tidak menetap di kampung membuat petugas medis dan tenaga pendidik menganggur di kampung berhari-hari. Karena jenuh, mereka lalu kembali ke pusat kota di Agats. Toh, di beberapa distrik yang petugas medisnya aktif dan ada di tempat tugas, seperti Distrik Fayit, Distrik Suru-Suru dan Distrik Sawa Erma, persentasi kasus gizi buruknya paling tinggi sebagaimana ditemukan oleh tim tanggap darurat yang diterjunkan ke kampung-kampung di 23 distrik di Asmat.
Pembangunan berkearifan lokal
Sikap pemerintah yang melakukan aksi tanggap darurat kemanusiaan di Asmat patut diapresiasi. Namun, penanggulangan persoalan di Asmat bukanlah layaknya aksi pemadam kebakaran. Perlu dipikirkan solusi yang berkelanjutan dan sustainable agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang.
Dalam hal ini mendesaknya suatu solusi yang berkearifan lokal.
Pertama, sudah waktunya berhenti menyamaratakan anggaran dana desa dengan bagi-bagi uang karena hal ini mengentalkan pola peramu yang dianut masyarakat. Perlu mengatur secara tegas pengelolaan Anggaran Dana Desa;
Kedua, pentingnya memikirkan ketahanan pangan lokal Asmat yakni sagu. Lucunya negeri ini, orang Asmat yang makanan pokoknya ialah sagu, tetapi budidaya sagu dikembangkan besar-besaran di Jambi. (*)
Penulis adalah rohaniwan Fransiskan tinggal di Asmat