Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Lotte Schou-Zibell
Risiko dari melakukan ‘de-risking’ – sebuah proses dimana bank-bank internasional menjauhkan diri dari mitra-mitra keuangannya, seperti jasa penyedia pengiriman uang kecil-kecilan dan bank-bank lokal – dapat benar-benar menendang orang-orang tertentu keluar sepenuhnya dari sistem keuangan.
Di daerah Kepulauan Pasifik, di mana banyak negara baru saja mulai membangun infrastruktur keuangannya, bank-bank lokal secara umum bergantung pada hubungan formalnya dengan bank-bank internasional dalam mengirim dan menerima transaksi keuangan internasional, termasuk remitansi.
Hubungan perbankan berbasis koresponden ini — dengan memfasilitasi perdagangan, investasi asing, dan pengiriman uang dari luar negeri — adalah sumber kehidupan bagi usaha-usaha dan organisasi-organisasi kemanusiaan, menyebabkan inklusi keuangan bagi jutaan orang dengan menyediakan rekening- rekening yang dapat digunakan untuk mengirim dan menerima remitansi.
Hubungan seperti ini — di mana satu lembaga keuangan (disebut ‘the correspondent’), menyediakan rekening penyetoran atau layanan keuangan lain kepada lembaga lainnya (‘the respondent’) — telah memungkinkan aliran keuangan yang vital bagi kemakmuran ekonomi banyak negara.
Namun, hari ini, bank-bank di Kepulauan Pasifik dan penyedia layanan remitansi harus bersusah payah untuk mempertahankan hubungan perbankan penting ini akibat proses yang diketahui sebagai ‘de-risking’: dimana bank-bank internasional mengakhiri atau membatasi hubungan komersial dengan mitra yang mereka anggap berisiko tinggi. Ini termasuk perusahaan remitansi dan bank-bank lokal yang lebih kecil di beberapa daerah.
Selama satu dekade terakhir, hubungan bank-bank internasional, the correspondent, telah menurun hingga seperlima di seluruh dunia, dan masih terus menurun. Penurunan hubungan perbankan koresponden di Pasifik sendiri secara umum pun sejalan sesuai dengan penurunan rata-rata global selama periode yang sama. Namun laju penurunan yang serupa ini telah menutupi dampaknya yang lebih besar di negara-negara kepulauan kecil di Pasifik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bank-bank internasional itu menghubungkan negara-negara kepulauan Pasifik ke sistem keuangan global, tapi mereka juga mengekspos negara-negara Kepulauan Pasifik terhadap risiko-risiko kejahatan keuangan seperti pencucian uang, yang menyebabkan perlunya peraturan yang lebih ketat.
Risiko-risiko seperti ini masih muncul meskipun bank-bank koresponden internasional telah melakukan uji tuntas ketika mereka melakukan transaksi untuk bank-bank lokal responden, dan mematuhi upaya-upaya manajemen risiko dan kepatuhan. Bank-bank lokal, nantinya, juga bertanggung jawab atas pengawasan transaksi yang normal, termasuk mengajukan laporan jika ada aktivitas yang mencurigakan.
Namun, kemampuan untuk menyelesaikan laporan semacam itu seringkali terbatas.
Faktor-faktor yang mendorong adanya proses de-risking termasuk campuran antara pertimbangan biaya dan manfaat yang didapatkan serta kekhawatiran tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT).
Peraturan dan penegakannya yang lebih tegas sejak krisis keuangan global telah menyebabkan sehingga peraturan anti pencucian uang lebih ketat, meningkatkan transparansi pajak, dan menerapkan sanksi ekonomi dan perdagangan yang lebih efektif dalam mendeteksi dan mencegah aktivitas kriminal dan mengurangi peluang dan kemungkinan krisis keuangan sistemik lagi kedepannya.
Peraturan yang jauh lebih ketat ini mengharuskan bank koresponden internasional untuk memastikan mereka mematuhi pedoman internasional atau kerangka hukum dan regulasi, termasuk diantaranya peraturan know-your-customer (KYC).
Peraturan yang lebih ketat telah mendorong bank-bank internasional dan lembaga-lembaga keuangan untuk mengkaji kembali selera risiko mereka ketika melakukan transaksi dengan negara-negara yang mungkin kurang tegas dalam penerapan dan penegakan hukum yang kuat, seperti negara-negara di Kepulauan Pasifik.
Naiknya biaya kepatuhan dan denda dan penalti yang dikenakan jika ada ketakpatuhan telah menyebabkan bank-bank dan lembaga keuangan internasional untuk melakukan de-risking. Misalnya Western Union, harus menghabiskan lebih dari AS$200 juta per tahun untuk biaya penalti ini, dan 20% dari karyawannya didedikasikan untuk melakukan fungsi ini.
Banyak lembaga-lembaga keuangan internasional yang menemukan bahwa keuntungan yang didapatkan dari transaksi-transaksi pengiriman uang itu tidak seimbang dengan biaya-biaya penalti yang tinggi. Dengan melakukan de-risking dan berhenti bertransaksi dengan bank-bank lokal, lembaga keuangan ini telah mengurangi kemungkinan mereka terkena denda dan penalti, menurunkan biaya untuk ketakpatuhan, dan meminimalkan risiko rusaknya reputasi.
Ironinya, peraturan yang lebih ketat dan penegakannya yang telah dikembangkan untuk memastikan kestabilan keuangan justru semakin mengasingkan pelanggan-pelanggan yang legal dari sektor keuangan yang formal dan memaksa mereka untuk mengguankan sistem informal.
Bukan saja mengurangi risiko di sektor keuangan global, penurunan hubungan bank internasional terus-menerus dapat membahayakan integrasi keuangan regional dan internasional, inklusi keuangan, transparansi keuangan, dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi dan upaya pengurangan kemiskinan.
Sekali lagi ini sangat ironis di Kepulauan Pasifik karena berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme di Kepulauan Pasifik itu rendah.
Jika jaringan perbankan koresponden internasional semakin kecil, hal itu akan mengecilkan persaingan dan menghapus kemajuan yang telah terjadi dalam bertahun-tahun ini dalam hal pengurangan biaya dan ongkos pengiriman uang. Selain itu, jika pilihan yang tersedia itu langka dan biayanya lebih tinggi, itu dapat memaksa pengirim untuk menggunakan jalur-jalur yang lebih berisiko, yang tidak diatur oleh regulasi seperti jaringan-jaringan informal atau cryptocurrency.
Hal ini akan meningkatkan risiko sistem keuangan, terutama mengingat sebagian besar cryptocurrency tidak memiliki sistem keamanan yang memadai, manajemen risiko dasar, kepastian legal, atau perlindungan konsumen. Risiko-risiko ini akan semakin mengisolasi komunitas yang rentan, khususnya perempuan, dari sektor keuangan formal, dengan implikasi kemanusiaan, ekonomi, dan keamanan yang meluas.
Menghadapi de-risking itu diperlukan kerja kolaboratif antara mitra-mitra pembangunan, pemerintah, penyedia teknologi, dan penyedia layanan untuk membantu agar negara-negara Kepulauan Pasifik mengadopsi upaya-upaya untuk membangun kembali dan memelihara hubungan perbankan koresponden internasional.
Ada empat hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini. Pertama diperlukan penerapan peraturan anti pencucian uang yang terukur dan berbasis risiko. Kedua, menciptakan atau memutakhirkan sistem verifikasi identitas serta memperbarui legislasi dan peraturan untuk mempermudah autentikasi dan otorisasi keuangan yang terjangkau dan otomatis. Lalu meningkatkan kesadaran publik akan persyaratan anti pencucian uang dan memperkuat penyedia-penyedia pengiriman uang dan emitansi di yurisdiksi-yurisdiksi yang berkapasitas rendah. Dan yang terakhir membantu negara-negara mengembangkan teknologi dan proses know-your-customer yang akan mempermudah lembaga-lembaga yang harus mematuhi peraturan dan meningkatkan kepercayaan konsumen dalam hal perlindungan informasi pribadi.
Bank Sentral Samoa, contohnya, dengan dukungan ADB, sedang mengembangkan sebuah platform berbasis web untuk memverifikasi identitas pengirim dan penerima remitansi. Platform ini memeriksa identitas penerima maupun pengirim terhadap daftar nama-nama oknum yang terkenal sanksi, yang memiliki kepentingan politik yang sensitif, dan langkah-langkah uji tuntas lainnya.
Penurunan dalam perbankan internasional ini disebabkan oleh berbagai hal, dan tidak ada satu tindakan tunggal yang akan dapat menghentikan hal ini. Kita memerlukan pendekatan yang komprehensif. (ADB/PACNEWS)
Lotte Schou-Zibell adalah Direktur Regional di Kantor Penghubung Pacific, Bank Pembangunan Asia.
Editor: Kristianto Galuwo