Meetawa bernilai ekonomi (3)

Ilustrasi – .Pixabay

Papua No.1 News Portal | Jubi

“Di sini terjalin komunikasi antara pembeli dan penjual”

Selain seabagai perekat relasi sosial, bahan kontak dan alat transaksi, meetawa juga memiliki nilai ekonomi. Penulis buku “Manusia Mee di Papua” Titus C. Pekey mengatakan, setelah pemerintah dan agama masuk ke wilayah Mee, meetawa mulai dijual di pasar. Namun perempuan tidak bisa menjual barang yang menjadi konsumsi laki-laki seperti meetawa.

Read More

“Kalau misalnya paitua-paitua mereka memberikan tembakau kepada perempuan untuk dijual di pasar pasti perempuan menolak,” kata Pekey.

Mama-mama juga menolak untuk menjual meetawa di pasar. Laki-laki yang harus menjual meetawa. Perempuan tidak diperbolehkan menjual meetawa. Ini sudah menjadi tradisi.

Uniknya ketika paitua-paitua menjual rokok itu, dia menyediakan cadangan untuk dites oleh setiap pembeli atau pelanggan. Pelanggan pun membawa pulang dan gulung sendiri tembakaunya.

“Ini daun yang sudah saya keringkan, ini daun yang saya belum keringkan sehingga kamu rasa daun tembakau yang telah dikeringkan,” ujarnya.

Jika pelanggan merasakan kenikmatan dan kualitas meetawa yang baik, maka dia tak sungkan-sungkan untuk memujinya. Di sini terjalin komunikasi antara pembeli dan penjual. Ketika komunikasi terjalin baik, saat itu pula terjadi utang-mengutang untuk membeli meetawa atau langsung membelinya. Namun itu pun tergantung kepercayaan antara kedua belah pihak. Meetawa menjadi pelekat hubungan sehingga semakin akrab.

Membudidayakan meetawa

Meetawa memiliki nilai sosial, ekonomi, bahan kontak dan transaksi bagi tetua suku Mee dan suku-suku tetangga di Meuwo. Namun persoalannya meetawa kini tidak dibudidayakan.

“Rokok bukan budaya baru bagi suku Mee. Rokok sudah ada sejak moyang suku Mee di Papua umumnya atau Meepago khususnya. Pemerintah harus menghidupkan budaya budidaya meetawa,” katanya.

Menurut Pekey, orang tua-tua pasa masa lalu menanam meetawa dengan penuh penghayatan, sebab meetawa menjadi sarana untuk menyelesaikan masalah, dan membangun relasi sosial beberapa suku di Meepago.

“Nilai ini sudah ada turun-temurun. Pemerintah di wilayah adat Meepago dan Pemerintah Provinsi Papua harus membudidayakan rokok asli (meetawa),” katanya.

Dia mengatakan, meetawa ini harus dibudidayakan karena memiliki nilai historis juga. Oleh sebab itu, harus ada hak ciptanya. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya harus dipelihara.

Menurut Titus, pemerintah setempat semestinya tidak hanya membudidayakan kopi yang gencar digalakkan, tetapi juga meetawa. Tanaman ini merupakan tanaman jangka panjang atau bertahan lama.

Orang tua-tua pada masa lalu sangat teliti dalam mebudidayakan meetawa. Namun generasi sekarang tidak bisa membudidayakannya lagi. Padahal leluhur mereka sangat memahami dengan baik manfaat rokok tradisional, seperti, menyatukan diri dan mendatangkan inspirasi.

Orang tua-tua sudah mengetahui dengan baik bau rokok berkualitas baik. Kalau jenis tembakau ini ditanam oleh marga Yeimo dan sering melakukan barter dengan marga Tebai di Kampung Mauwa, Moanemani mereka akan tahu dari rasa dan serta asap yang dikeluarkan, sehingga di sinilah awal membangun relasi orang dari Muwa dan Aikai.

“Jadi dari rokok saja mereka bisa tahu, bahan tanaman ini ditanam di kebun atau di pekarangan rumah, pasti ini rokoknya dia. Dari rasa bau (aromanya) mereka sudah tahu,” katanya.

Namun dia sulit menemukan generasai-generasi sekarang yang punya insting seperti orang tua-tua untuk mengetahui rokok berkualitas baik.

“Sekarang karena banyak rokok modern (pabrik). Kalau kita berinvestasi tentang rokok, pasti akan banyak investor yang akan membuka mata. Apalagi pabrik rokok habis dia akan mengeluarkan beberapa rokok lalu dia punya pemasukan kemana, yang punya daun tembakau, Pemda Paniai, Deiyai Intanjaya Dogiyai atau Nabire,”katanya.

Oleh sebab itu, lanjutnya pemerintah melalui dinas terkait harus menyiapkan bibit tembakau (tawa iyo) untuk dibudidayakan.

Meski Pekey bukan perokok, dia masih menyimpan cerita orang tua-tua tentang meetawa. Dia bahkan sejak kecil menyaksikan bagaiman orang tua-tua mengisap meetawa dengan baik di depan rumah atau setelah kerja kebun.

“Paitua-paitua dari Lembah Paniai, Tigi, Kamuu, Mapiha itu baku tahu. Jadi orang dari Kamuu datang ke Paniai mereka tahu mau beli rokok dengan kualitas yang baik itu kepada siapa,” katanya.

“Tujuannya bukan jual-beli. Tapi kalau ada dua daun yang disisipkan di noken langsung diberikan kepada tamu yang datang. Hubungan kekerabatan orang tua dulu itu juga dipertahankan oleh rokok ini juga. Jadi bukan sekadar asal suka senang. Mereka saling tahu kebutuhan akan rokok itu,” katanya.

“Selain untuk medapatkan nilai kekerabatan mereka juga membuat rokok menjadi sahabat agar menjadi alat barter, untuk menjangkau semua suku di Tanah Papua,” katanya. (Selesai)

 

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply