Papua No.1 News Portal | Jubi
“Cerita tentang mee tawa itu sudah dalam dalam cerita dongeng, cerita rakyat, mitos atau legenda.”
Orang Mee dan masyarakat pegunungan telah lama mengenal tembakau atau dalam bahasa Mee disebut mee tawa. Begitupula dengan masyarakat suku Dani maupun Amungme. Orang Dani mengenal dengan sebutan hanom atau cerutu Wamena yang dibungkus dengan daun khusus.
Tembakau juga sebagai bahan transaksi dalam barter ekonomi. Arnold Mampioper dalam bukunya “Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartehnsz” menulis, sejak dulu tembakau juga diperdagangkan di Bumi Amungsa.
Penggagas noken Papua di UNESCO dan penulis buku “Manusia Mee di Papua” Titus C. Pekey mengatakan, mee tawa multifungsi dalam sendi kehidupan orang Mee, mulai dari nilai sosial, ekonomi, politik, dan kekerabatan hingga mendatangkan inspirasi dari sisi kenikmatan merokok. Jadi, kalau berbicara tentang rokok sudah menjadi kebutuhan dasar orang Mee itu sendiri. Rokok tembakau dalam bahasa Mee disebut (tawa). Sementara Mee sendiri itu (manusia sejati). Jadi, arti daripada mee tawa (rokoknya manusia Mee).
“Cerita tentang mee tawa itu sudah dalam dalam cerita dongeng, cerita rakyat, mitos atau legenda, sehingga mee tawa merupakan warisan leluhur yang ada sebelum suku Mee melakukan kontak dengan pengnjil dan pemerintah,” kata Pekey, Selasa (3/8/2021).
Pekey mengatakan, dengan adanya kontak suku Mee dengan pemerintah, agama, lalu sampai sekarang mee tawa itu perlahan mulai hilang. Karena dengan arus perubahan dan kontak dari luar itu mulai diperkenalkan dengan rokok yang sudah jadi. Akhirnya mee tawa ini mempertegas rokok yang sudah datang di dalam komunitas Mee itu sendiri.
“Seketika misionaris masuk ke Papua mereka membawa juga kopi, rokok dalam bungkusan itu diperkenalkan oleh misionaris. Nilai inspirasi rokok tinggi yang sekarang disepelekan dari rokok pabrik yang beredar rokok moderen,” kata Pekey.
Pekey mengatakan, mee tawa adalah warisan leluhur orang Mee, sehingga leluhur orang Mee itu sudah mengetahui cara menanam, merawat, dan mengelola tembakau hingga mengisap meetawa itu sendiri.
“Mereka tanam seperti biasa, mereka tanam di samping rumah. Selain itu di kebu. Kalau mereka menanam di kebun mereka mencari tanah yang cocok. Mereka biasa tanam di kebun yang baru dibuka. Pohon besar yang mereka tebang lalu mereka tanam,” katanya.
Pekey mengatakan, setelah orang Mee melakukan kontak dengan misionaris dan pemerintah, mereka mulai mengenal parang dan alat kerja, kapak parang. Setelah mengenal alat-alat kerja mereka menanam di pekarangan rumah. Tidak hanya asal menanam tapi mereka merawat mee tawa dengan cara yang khas.
“Jadi orang tua dulu mereka tebang di sekeliling pohon mengeringkan daun-daun, membakar lalu mereka menanam (tumbuhan) rokok tersebut dan mereka tanam di tempat tempat tertentu. Dan mereka sendiri yang tahu dimana tempat yang layak,” katanya.
Pekey mengatakan, leluhur suku Mee juga masih mengenal jenis tanah lalu ditanam. Selain itu mereka juga mengetahui bahwa tanaman ini masih muda, setengah muda dan sudah matang sudah siap untuk dipakai. Kemudian mereka melakukan proses panen dan memasukan dalam daun pandang.
“Perhitungan seperti ini yang muda itu masih bona (muda). Kalau masih muda dan olah menjadi tembakau tentunya tidak bagus. Ini masih remaja sudah tua mereka sudah tahu. Nanti mereka ambil saat sudah tua. Setelah mengambil tembakau tersebut bahwa, mereka menjemur tempat pengeriangan di atas tungku api, atau mereka biasa menaruh jauh dari tungku api agar supaya dikeringkan. Kalau mereka mengeringkan di tungku api kemudian daunnya mulai kering lalu mereka memasukkan ke daun pandan tempatnya, untuk memasukan rokok tembakau. Setelah itu barulah mereka isap mee tawa yang telah dikeringkan itu,” katanya. (Bersambung)
Editor: Timoteus Marten