Media sosial, teori konspirasi, dan keraguan terhadap vaksin Covid-19 di Pasifik

Tenaga kesehatan bersiap untuk memberikan vaksin kepada Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, orang pertama yang menerima vaksin Covid-19 di PNG. - The Guardian/ Kalolaine Fainu

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Hugh McClure

Media sosial dibanjiri dengan hoaks tentang infertilitas, kontrasepsi, dan pengintaian tentang vaksin Covid-19  sementara negara-negara Pasifik terus berupaya untuk memastikan jumlah warga negaranya yang divaksin memadai.

Read More

Ketika Papua Nugini menghadapi wabah Covid-19 yang monumental bulan lalu, Perdana Menteri James Marape menjadi orang pertama di negara itu yang menerima suntikan vaksin, dikirimkan dalam paket darurat dari Australia.

Sebelum menerima suntikan itu, dia telah memberi tahu orang-orang PNG bahwa dia akan menjadi ‘kelinci percobaan’ PNG; bahwa jika dia meninggal, orang-orang tidak perlu menerimanya, tetapi jika tidak, dia berharap orang-orang lain akan mengikuti jejaknya dan menerima vaksin itu.

Dua saudara laki-laki Marape juga termasuk dalam kelompok pertama yang menerima vaksin Covid-19, padahal mereka tidak bekerja sebagai tenaga kesehatan garis depan. Saat diwawancarai oleh surat kabar Post-Courier tidak lama setelah menerima suntikan, saudaranya, Warren Marape, mengatakan mereka melakukan hal itu karena mereka peduli akan saudara laki-laki mereka.

“Kami khawatir, kami resah,” tutur Warren kepada Post-Courier. “Yang lebih parah lagi, banyak teori konspirasi yang beredar dan bahkan ada beberapa orang mengunggah pos menentang vaksin AstraZeneca di forum-forum publik dan media sosial… seorang Papua Nugini akan berdiri di samping saudaranya, kalau itu berarti ia harus mati bersama kakaknya, dia akan tetap melakukan itu,” tegasnya.

Komentar tersebut tidak hanya membuktikan tingkat keraguan dan penolakan terhadap vaksin di PNG, tetapi juga besarnya kekuatan dari penyebaran informasi yang salah melalui media-media sosial. Sebuah kampanye misinformation yang berbahaya telah membanjiri kanal-kanal media sosial dengan teori konspirasi mengenai vaksin Covid-19 hampir sepanjang satu tahun lalu.

Sebuah laporan yang disusun oleh ABC International Development dan Pacific Media Assistance Scheme telah mengungkap hal yang mengkhawatirkan, bahwa 62% dari pos yang dibagikan di Facebook tentang vaksin Covid-19 di wilayah Pasifik itu membuat klaim yang tidak berbasis bukti tentang vaksin. Hoaks yang paling dibagi orang banyak termasuk bahwa semua vaksin telah diproduksi untuk melacak data pribadi mereka, bahwa itu bertentangan dengan dasar-dasar agama Kristen, atau itu bisa menyebabkan infertilitas pada perempuan.

Salah satu pos, dalam kelompok diskusi berita Samoa, mengatakan bahwa hal ini telah “diprediksikan dalam Alkitab… saat ini kita hidup di hari-hari akhir zaman”, sementara pengguna lainnya di Fiji mengatakan bahwa “selain memicu gangguan pembekuan darah, vaksin itu juga diracik untuk membuat perempuan menjadi tidak fertil untuk mengendalikan jumlah populasi.“

Di PNG, dimana kasus baru Covid-19 telah meningkat sepuluh kali lipat sejak Februari lalu, Menteri Kesehatan dr. Jelta Wong menyebut disinformasi di media-media sosial sebagai ‘tantangan terbesar’ dalam membatasi penyebaran Covid-19 di negaranya. Seperti yang diketahui oleh dr. Wong, seberapa cepatnya PNG bisa pulih ke keadaan normal itu bergantung pada keberhasilannya dalam melakukan vaksinasi komunitas yang meluas untuk mengembangkan kekebalan kelompok.

Hanya 3.075 dari 8.500 vaksin AstraZeneca yang disumbangkan oleh Australia ke PNG pada Maret lalu yang telah disuntikkan di Port Moresby hingga 11 Mei, menurut WHO, dr. Wong menegaskan bahwa keraguan terhadap vaksin adalah kendala utama.

Pengiriman 100.000 dosis vaksin lainnya, dari inisiatif COVAX yang menyediakan vaksin Covid-19 ke negara-negara berkembang, kini telah tiba di PNG, dan kekhawatiran para pejabat PNG sekarang bukan lagi bahwa tidak akan ada cukup vaksin bagi mereka yang membutuhkannya, tetapi apakah vaksin itu akan kedaluwarsa sebelum disuntikkan ke dalam lengan masyarakat.

“Mengatasi keraguan terhadap vaksin itu sangat penting untuk keberhasilan program vaksinasi Covid-19 di PNG,” dukung Dr. Pamela Toliman, seorang peneliti di institut penelitian medis negara itu, PNG Institute of Medical Research. Saat ini lembaga ini sedang melakukan penelitian tentang peran media sosial di masa Covid-19.

“Tentunya penting untuk memastikan masyarakat mau menerima vaksin, tetapi juga untuk memahami faktor-faktor yang mendasari penyebaran hoaks,” katanya.

Di negara tetangganya, Kepulauan Solomon, presiden Asosiasi Medis Kepulauan Solomon, dr. Claude Posala, menceritakan bahwa banyaknya informasi yang salah di media sosial awalnya sempat mengurangi kepercayaan masyarakat pada vaksin di negaranya sementara masyarakat Kepulauan Solomon berusaha untuk menyaring informasi mana yang dapat dipercaya dan yang mana yang hoaks.

Kepulauan Solomon menerima pengiriman pertama 24.000 dosis vaksin AstraZeneca pada tanggal 23 Maret. Tenaga kerja garis depan awalnya diprioritaskan untuk menerima vaksin, namun hanya 600 suntikan yang diberikan dalam tiga hari pertama. Masalahnya bukan pasokan, tapi permintaan. Para pekerja sama sekali tidak memercayai vaksin tersebut.

Namun, pemerintah lalu meluncurkan kampanye balasan yang kuat dan mereka telah berhasil meningkatkan akses masyarakat ke informasi yang dapat dipercaya, dan membangun kepercayaan. Pada 25 April, hampir 5.000 orang telah divaksinasi di Provinsi Honiara dan Provinsi Barat, dengan laporan adanya antrian di luar pusat-pusat vaksinasi.

“Pemerintah sekarang mulai berkomunikasi melalui media sosial. Hasilnya, informasi tentang vaksin yang biasanya memerlukan waktu dua minggu untuk sampai ke masyarakat, bisa diberikan dalam waktu singkat, meningkatkan kepercayaan akan vaksin. Kami sekarang menyaksikan adanya antusiasme dari masyarakat untuk menerima vaksinasi,” tutur Posala.

Pandemi telah menyoroti peran media-media sosial yang kuat dalam hal pembentukan narasi dan pembagian informasi di Pasifik. Di banyak negara, jauh lebih banyak orang yang mengakses Facebook daripada media-media konvensional. Oleh karena itu, sumber informasi yang diverifikasi menjadi sedikit dan lebih banyak yang mengakses opini daripada fakta.

Di ibu kota Fiji, Suva, dimana karantina wilayah diterapkan setelah varian Covid-19 dari India dideteksi di negara itu, keraguan akan vaksin berkurang, menurut Jope Tarai, pakar media sosial di Universitas Pasifik Selatan.

“Antusiasme terhadap vaksinasi meningkat drastis. Dengan Suva dikarantina, orang-orang Fiji siap menerima vaksin Covid-19 agar mereka dapat melanjutkan kehidupan mereka kembali. Semakin banyak orang yang menerima vaksinasi, rasa percaya masyarakat pun meningkat bahwa teori-teori konspirasi yang beredar di media sosial itu salah,” jelas Tarai.

Karena kekuatan penting yang dipegang oleh media sosial, kini itu digunakan untuk membantu mempercepat proses vaksin, bukan menghambatnya.

“Sekarang media-media sosial dibanjiri dengan foto-foto orang-orang yang mengantri untuk menerima vaksinasi – yang dapat membangun rasa percaya dan keinginan masyarakat untuk juga menerima vaksinasi,” kata Tarai. (The Guardian)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply