Papua No. 1 News Portal | Jubi
Kerang pernah memicu jiwa petualangan dan naluri berdagang. Uang jadi tanda kuasa Belanda dan Indonesia atas Papua.
Orang Amungme di kawasan pegunungan suci Nemangkawi, telah lama mengenal barter dalam sistem dagang masa silam. Kala itu, belum ada benda untuk alat ukur transaksi jual beli. Barter didasari tawar menawar dan kesepakatan dua pihak.
Barang yang dipertukarkan, umumnya hasil kebun, ternak atau hewan buruan dan senjata tradisional. Sebut saja, talas, ubi jalar, tembakau, kulit kayu, rotan, gigi taring babi, gigi anjing, bulu anjing gunung atau berbagai jenis bulu burung yang indah; Kasuari, Cenderawasih, Mambruk, Kakatua.
Di kemudian hari, benda yang difungsikan mata uang tradisional dikenal dengan nama “Kusam” atau “Usambibi”. Terbuat dari malam madu. Di atasnya ditempelkan kulit kerang kecil (Plicarcularis Pullus). Lalu di atas kulit kerang itu, ditempelkan bulu burung Kakatua Merah. Atau bulu burung Nuri Merah.
Lambat laun, orang Amungme di wilayah yang kini dikenal kawasan pertambangan PT Freeport, mengenal kerang sebagai alat tukar dalam perdagangan. Mereka menyebutnya “Elal”.
Di masa lalu, Elal dan babi adalah tujuan perjuangan setiap laki laki dewasa Amungme. Kerang dan babi adalah lambang hormat dan gengsi.
“Mereka bekerja keras, ulet dan rajin agar dapat mengumpulkan kedua benda ini sebanyak-banyaknya. Dari sini ia dapat beranjak menjadi orang kaya dan sekaligus dermawan sehingga terpandang di dalam masyarakatnya,” tulis Arnold Mampioper dalam “Amungme; manusia dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz” (2000).
Penemuan Elal memicu jiwa petualangan orang Amungme. Mereka mengembara. Berjalan kaki menempuh gunung tinggi, lembah dalam. Menerabas hutan rimba di pegunungan tengah untuk berdagang. Mereka bertransaksi dengan banyak suku; Mori, Ekari/Mee, Dani, Nduga. Menjangkau danau Jamor hingga ke timur di perbatasan Papua New Guinea dari wilayah Nabire di Utara sampai ke Uta di pantai selatan.
Ada pun nilai sebuah Elal, ditentukan dari jenis kerangnya. Dalam bukunya di atas, Mampioper menjabarkannya. Elal Ingkop dan Into dari jenis kerang Cypraea moneta bernilai kelas satu dan dua. Elal Kamsen dari jenis kerang Cypraea annulus bernilai kelas tiga. Elal Mungka dari jenis kerang Cypraea bernilai kelas empat. Elal Bege,Neing dan Nigip yang juga dari jenis kerang Cypraea berturut-turut punya nilai kelas lima, enam dan tujuh.
Tinggi rendahnya nilai kulit kerang itu, misalnya dapat terlihat dari transaksi jual beli babi. Seekor babi terbaik, hanya dapat dibeli dengan Elal Ingkop Sampai Elal Mungka.
Elal Ingkop juga berlaku untuk pembayaran mas kawin, korban perang, sewa tanah atau hutan yang digunakan untuk berburu. Elal masih difungsikan sebagai mata uang hingga 1961.
Ketika perang dunia II usai – ketika pos pemerintah di Enarotali dibuka pada 1947-1948, berkarung-karung Elal diangkut dengan pesawat dari Biak ke Paniai. Begitu juga ketika pos pemerintah dibuka di Lembah Baliem pada 1956.
Perkembangan pesat terjadi ketika organisasi misi gereja dan pemerintah mulai masuk ke wilayah itu.
“Perang uang”
Ketika Papua jadi rebutan dan sengketa Indonesia dan Belanda, pernah beredar uang Nederlandsche Nieuw Guinea Gulden. Gulden Nugini belanda ini dicetak di percetakan Johan Enschede en Zonen, Haarlem. Diedarkan oleh derlandsche Handel Maatschapij (NHM), Bank Komersial Belanda. Ini salah satu upaya Belanda mempertahankan kekuasaan di Irian Barat.
Sukarno berang. Pada 19 Desember 1961, dia mengumpulkan massa di alun alun Utara Yogyakarta. Dia mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat.
Operasi militer digelar. Bank Indonesia turut dilibatkan. “BI membentuk peleton bank yang tujuannya antara lain untuk membuka bank-bank di 5 kota utama Irian Barat… Peleton bank terdiri dari beberapa kesatuan: Bank Indonesia; Bank Negara Indonesia; Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan urusan Exim; Bank Bumi Daya; dan Bank Dagang Negara,” tulis Syefri Luwis di laman berita Tirto.id, 4 Januari 2018.
Bank Indonesia di Irian Barat kemudian mengedarkan Rupiah Irian Barat (IBRp) sebagai alat pembayaran yang sah. Mata uang IBRp diedarkan berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 2 tahun 1963 tentang satuan rupiah yang khusus berlaku untuk daerah Provinsi Irian Barat. Ia menggantikan Nederlandsche Nieuw Guinea Gulden yang dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 30 November 1963. Ada tiga jenis uang yang beredar di Irian Barat kala itu; uang logam dan kertas pemerintah khusus untuk Irian Barat, serta uang kertas Bank Indonesia khusus untuk Irian Barat.
Pada 31 Mei 1971, tulis Luwis, uang kertas dan logam Irian Barat ditarik melalui mekanisme penukaran dengan perbandingan IBRp1 setara Rp18,90. Sejak itu, di Irian Barat berlaku mata uang Rupiah yang sama dengan yang berlaku di seluruh Indonesia. (*)
Editor: Angela Flassy