Masalah kesehatan pelajar dan mahasiswa serta solusinya

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Oleh: Daniel Wakei

KESEHATAN merupakan salah satu kebutuhan penting manusia. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara fisik, mental, dan sosial serta bukan hanya bebas dari penyakit. Orang sering mendengar semboyan latin “Mens sana incopore sano” (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). Oleh sebab itu, kesehatan perlu dijaga dan dimiliki setiap individu.

Untuk menjaga kesehatan masyarakat secara menyeluruh, tentunya ada sistem kesehatan yang dijalankan di sebuah negara. WHO mempunyai kerangka sistem kesehatan yang dipakai sebagai acuan: a) Kepemimpinan dan pemerintahan dalam bidang kesehatan; b) Pembiayaan perawatan kesehatan; c) Tenaga kerja kesehatan; d) Produk-produk kesehatan dan teknologi kesehatan; e) Informasi dan penelitian tentang kesehatan, serta; f) Pelayanan kesehatan. 

Jika semua bagian dapat dioptimalkan, cakupan akses serta kualitas dan keamanannya baik, maka hasil yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan kesehatan (mutu dan keadilan), kemampuan berespons yang semakin cepat dan tepat dalam memberikan pelayanan, perlindungan terhadap risiko sosial dan keuangan yang mungkin terjadi akibat masalah kesehatan, dan peningkatan efisiensi pelayanan kesehatan.

Pembiayaan perawatan kesehatan merupakan salah satu masalah besar dalam sistem kesehatan. Ada sindiran-sindiran tertentu yang dibuat oleh media massa terhadap sistem kesehatan Indonesia seperti, ‘Orang miskin dilarang sakit’. 

Biaya pelayanan kesehatan yang dianggap terlalu mahal bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah membuat masyarakat sulit mengakses pelayanan kesehatan. Hal ini pun dirasakan dan sering dikeluhkan juga oleh pelajar dan mahasiswa Papua di perantauan.

Pelajar dan mahasiswa Papua, yang notabene masih bergantung pada orang tua (kerabat), sangat kesulitan ketika sakit, karena harus mengakses fasilitas kesehatan dengan biaya banyak–Biaya periksa dokter, menebus resep obat, pemeriksaan penunjang, rawat inap, dan biaya tindakan.

Ada beberapa pelajar dan mahasiswa yang dirawat inap minta dipulangkan saja karena biaya semakin bertambah hingga akhirnya meninggal dengan tenang di indekos (asrama) karena tidak melanjutkan perawatan yang seharusnya diterima. Ada beberapa pelajar dan mahasiswa yang meninggal di ruang rawat inap karena penanganannya terhenti akibat belum beresnya biaya administrasi.

Ada yang bahkan tidak berani ke fasilitas kesehatan karena tidak memiliki biaya. Ada yang memilih untuk pulang berobat di Papua dan harus meninggalkan studinya.

Sumber biaya kesehatan pelajar dan mahasiswa Papua beragam. Ada pasien yang dibayar orang tua dan organisasi (paguyuban) mahasiswa. Ada pula yang dikumpulkan dengan cara “ebamukai” atau menjalankan sumbangan sukarela kepada seluruh anggota organisasi pelajar dan mahasiswa Papua.

Tidak sampai di situ, jika pasien akhirnya meninggal, maka harus dipikirkan lagi biaya pengiriman jenazah ke Papua, yang biayanya sangat besar. Semakin pasien tersebut tidak ditangani dengan baik karena kendala biaya, maka risiko angka kematian pelajar dan mahasiswa Papua di perantauan akan semakin tinggi. Hal ini berarti semakin banyak putra-putri harapan bangsa Papua, yang sedang menuntut ilmu di luar Papua, yang gugur.

Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah biaya kesehatan yang tinggi sudah mulai bergerak ke pendanaan kesehatan berbasis asuransi. Bukan lagi pasien yang memikirkan dan membayarkan biaya kesehatannya, tetapi akan ditangani oleh pemerintah atau lembaga asuransi. 

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) sejak 1 Januari 2014 berdasarkan UU No. 24/2011 tentang BPJS. Tahun 2019, diharapkan seluruh penduduk Indonesia maupun WNA yang telah bekerja di Indonesia selama minimal 6 bulan sudah memiliki kartu BPJS Kesehatan.

Terdapat dua kategori peserta BPJS Kesehatan yaitu peserta penerima bantuan iuaran (PBI) dan peserta non penerima bantuan iuran (Non-PBI). Menurut Perpres 28 Tahun 2016. Peserta BPJS Kesehatan yang masuk kategori PBI dibayarkan iurannya oleh pemerintah sebesar Rp 23 ribu per orang per bulan dengan manfaat ruang perawatan kelas III, sedangkan peserta non-PBI membayar iuran sesuai kelas masing-masing per orang per bulannya–kelas I Rp 80.000, kelas II Rp 51.000, kelas III Rp 25.500.

Obat-obatan dan tindakan yang didapatkan oleh peserta PBI dan Non-PBI kelas manapun sama. Hanya manfaat ruang rawat inap saja yang berbeda. 

Warga yang didaftarkan sebagai peserta BPJS PBI adalah fakir miskin dan warga kurang mampu berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011 yang sudah divalidasi dan berdasarkan Basis Data Terpadu yang dibangun dari sensus penduduk, sedangkan untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan Non-PBI, masyarakat dapat mendaftarkan diri di Kantor BPJS terdekat di kabupaten/kota tempat tinggal masing-masing atau mendaftarkan diri secara online melalui situs web BPJS Kesehatan. 

Peserta BPJS Kesehatan dapat menikmati pelayanan kesehatan dengan sistem rujukan yang lebih terstruktur yang dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, kedua, dan ketiga.

Rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi akan diberikan oleh fasilitas kesehatan yang lebih rendah jika pasien memerlukan tindakan lebih lanjut. Setiap kasus harus terlebih dulu diperiksakan di puskesmas, klinik, atau tempat praktik dokter umum atau dokter gigi yang sudah dipilih saat mendaftar sebagai peserta BPJS untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar. Selanjutnya jika membutuhkan penanganan spesialistik lebih lanjut, maka akan dirujuk ke rumah sakit yang ditangani oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis. 

Kemudian jika perlu penanganan subspesialistik, maka akan dirujuk ke dokter subspesialis atau dokter gigi subspesialis di rumah sakit yang memiliki teknologi subspesialistik yang memadai. Namun dalam keadaan darurat, peserta BPJS Kesehatan dapat ditangani langsung di fasilitas kesehatan terdekat tanpa harus melalui jalur rujukan yang berlaku. Dalam BPJS Kesehatan dikenal juga sistem rujukan balik yaitu merujuk kembali pasien yang dianggap sudah dapat ditangani oleh fasilitas kesehatan yang tingkatnya lebih rendah.

Oleh sebab itu, program Jaminan Kesehatan Nasional dari BPJS Kesehatan dapat menjadi salah satu solusi atas kendala pembiayaan, sehingga diharapkan ejekan ‘orang miskin dilarang sakit’ dapat dihilangkan sekaligus mendukung program pemerintah pusat bahwa pada tahun 2019 universal health coverage dapat tercapai di Indonesia. 

Pelajar dan mahasiswa Papua perlu memiliki Kartu BPJS Kesehatan sebelum merantau ke luar Papua agar memudahkan akses pelayanan kesehatan tanpa harus memikirkan biayanya. Mereka yang belum memiliki kartu BPJS Kesehatan dapat mendaftarkan diri bersama dengan keluarga. Tidak hanya pelajar dan mahasiswa saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat Papua.

Kartu BPJS Kesehatan tidak dapat langsung digunakan di tempat dominsili yang baru jika peserta berpindah tempat dominsili karena masih terdaftar di fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes tingkat pertama) di tempat asal sehingga perlu diubah terlebih dahulu ke faskes tingkat pertama yang terdekat di wilayah dominsili yang baru. 

Hal ini dapat diurus di kantor BPJS Kesehatan terdekat di tempat domisili yang baru. Pelajar dan mahasiswa Papua yang sementara berkuliah di luar Papua harus memastikan bahwa di kartunya tertera nama puskesmas, klinik, tempat praktik dokter umum, atau tempat praktik dokter gigi terdekat yang sudah dipilih sebagai faskes tingkat pertama.   

Provinsi Papua sendiri memiliki Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dalam bentuk Kartu Papua Sehat (KPS). Kartu KPS sendiri tidak tumpang tindih dengan kartu BPJS Kesehatan, sebab banyak warga Papua yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan belum terdaftar menjadi peserta BPJS PBI sehingga dikover semuanya oleh kartu KPS. 

Namun, Jamkesda tersebut diharapkan dapat diintegrasikan dengan JKN-BPJS Kesehatan sehingga warga Papua yang memiliki Kartu KPS tersebut tidak hanya bisa menggunakannya saat di Papua atau ketika dirujuk ke luar Papua saja tetapi juga dapat digunakan di luar Papua misalnya ketika sedang menempuh pendidikan di luar Papua. Pendanaan yang sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah daerah menjadi keuntungan tersendiri bagi pemilik Kartu KPS. 

Namun, faktanya terdapat banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah untuk mengintegrasikan kedua hal ini. Salah satu kendalanya adalah pembiayaan BPJS Kesehatan yang bersifat gotong royong dengan sistem polling atau penyetoran dana dari sumber-sumber dana termasuk dari APBD masing-masing daerah ke BPJS Kesehatan untuk kemudian digunakan secara bersama bagi pembiayaan pelayanan kesehatan di seluruh provinsi di Indonesia. 

Hal in berarti pemerintah Papua harus tetap membayarkan iuran per orang setiap bulannya walaupun peserta penerima bantuan iuran tidak menggunakan fasilitas kesehatan. Jamkesda Papua sendiri masih menggunakan sistem klaim yang artinya pemerintah membayar fasilitas kesehatan sesuai dengan pelayanan kesehatan yang telah diberikan kepada pasien pemilik Kartu KPS.

Oleh karena itu, untuk membantu pelajar dan mahasiswa Papua yang sedang menuntut pendidikan di luar Papua selagi JKN dan Jamkesda belum terintegrasikan, pemda dapat pula mengambil solusi lain, seperti bekerja sama dengan organisasi pelajar dan mahasiswa Papua di kota studi masing-masing untuk membuat KPS khusus pelajar dan mahasiswa di luar Papua, sehingga mahasiswa dapat mengakses pelayanan kesehatan di luar Papua dengan gratis dan pembiayaannya dapat diklaim oleh fasilitas kesehatan langsung kepada pemerintah daerah. 

Pemda dan organisasi pelajar dan mahasiswa Papua di tiap kota studi di luar Papua diharapkan dapat saling berkoordinasi dengan baik, tidak hanya dalam urusan dana tugas akhir dan dana pemondokan dengan dinas terkait saja, tetapi juga untuk menyukseskan program-program pemerintah daerah yang lainnya, salah satunya program BPJS Kesehatan. 

Pelajar dan mahasiswa adalah penerus bangsa sehingga perlu diberdayakan. Jika kaum terpelajar saja tidak mengetahui program-program pemerintah seperti ini apalagi masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang rendah. 

Di samping program ini berguna bagi pelajar dan mahasiswa itu sendiri dalam menempuh pendidikan di luar Papua, mereka juga dapat menjadi agen sosialisasi program pemerintah yang dianggap sangat bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Akhirnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan pembiayaan kesehatan di kalangan pelajar dan mahasiswa Papua di luar Papua diharapkan tidak terjadi lagi, sehingga mereka dapat berkuliah di luar Papua dengan baik tanpa harus khawatir. (*)

Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Jurusan Pendidikan Dokter Reguler Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM Yogyakarta   

Related posts

Leave a Reply