Papua No. 1 News Portal | Jubi
Artikel ini ditulis oleh Victor Mambor. Merupakan versi asli dari artikel tentang West Papua yang dimuat dalam laporan “Indgenous World 2020”, terbitan The International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA). Artikel ini merekam beberapa peristiwa penting yang dialami oleh Orang Asli Papua (OAP) sepanjang tahun 2019.
Masa depan West Papua dalam konflik, kekerasan dan ketidakpercayaan
West Papua terdiri dari dua provinsi yaitu, Provinsi Papua dan Papua Barat. Dua provinsi ini terletak di bagian barat pulau New Guinea dan berbagi perbatasan dengan Papua New Guinea. Provinsi Papua memiliki populasi sekitar 3,5 juta jiwa sedangkan Provinsi Papua Barat berpenduduk sekitar 878 ribu jiwa. Lebih dari 50 persen penduduk di dua provinsi ini merupakan penduduk migran yang datang melalui program transmigrasi sejak tahun 1970 an hingga awal 2000an. Selanjutnya, penduduk migran ini datang secara mandiri.
West Papua adalah pulau dengan budaya dan bahasa paling beragam di Indonesia. Ada lebih dari 250 bahasa local yang digunakan oleh masyarakat adat Papua. Bahasa resmi yang digunakan di Papua adalah bahasa Indonesia. Meskipun memiliki beragam budaya dan bahasa, secara umum masyarakat adat West Papua diklasifikasikan dalam 7 wilayah adat. Ketujuh wilayah adat tersebut adalah Mamberamo Tabi (Mamta), Saireri, Domberai dan Bomberai. Keempat wilayah adat ini berada di pesisir utara Pulau Papua. Domberai dan Bomberai secara administrative berada dalam pemerintahan Provinsi Papua Barat. Wilayah adat berikutnya adalah Mee Pago dan La Pago yang berada di dataran tinggi Papua. Sedangkan wilayah adat terakhir adalah Ha Anim yang berada di pesisir selatan Papua.
Bersama Papua New Guinea, West Papua memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Hutan tropis West Papua dikenal memiliki kekayaan biodiversity yang luar biasa dan menjadi paru-paru dunia selain hutan Amazon dan Kongo Bazin.
Selain kaya dengan biodiversity, West Papua juga sangat kaya dengan mineral. Tambang emas terbesar di dunia dan tambang nikel ketiga terbesar di dunia berada di pulau ini. Namun tambang ini tidak memberikan keuntungan yang seimbang dengan kerusakan yang diakibatkan pada masyarakat Papua di sekitar tambang.
Sebagian besar penduduk Papua beragama Kristen dimana 38% lainnya beragama Islam, Hindu dan Budha yang merupakan penduduk migran.
Pada tahun 2018, Index Pembengunan Manusia Provinsi Papua berada di angka 60,06 sedangkan Provinsi Papua Barat di angka 63,74. Angka ini menempatkan Provinsi Papua sebagai provinsi dengan index pembangunan manusia terendah di Indonesia. Parameter social seperti angka kelahiran, tingkat buta huruf dan penderita HIV/AIDS di Papua dan Papua Barat sangat mempengaruhi index ini.
Sejak dianeksasi oleh Indonesia dari Belanda pada tahun 1969, rakyat West Papua terus berupaya mendapatkan kemerdekaannya dari Indonesia. Konflik dan kekerasan terus terjadi hingga pada tahun 2001 pemerintah Indonesia menerbitkan UU Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua yang dulu disebut Irian Jaya. Kemudian lahirlah provinsi Papua Barat yang dimekarkan dengan paksa oleh pemerintah Indonesia.
Namun status Otonomi Khusus ini belum menjawab persoalan rakyat Papua. Konflik bersenjata dan kekerasan masih terjadi hingga saat ini.
Konflik bersenjata di Nduga merampas hak hidup Orang Asli Papua
Konflik bersenjata di Kabupaten Nduga, Papua, dan gelombang pengungsian ribuan warga sipil yang menghindari dari konflik itu, berlangsung sepanjang tahun 2019. Konflik itu berawal dari pembunuhan 16 pekerja PT Istaka Karya oleh kelompok bersenjata yang dipimpin Egianus Kogoya pada 2 Desember 2018 lalu.
Sejak pembunuhan itu terjadi, aparat keamanan Indonesia (TNI dan Polri) melakukan operasi militer untuk mengejar Egianus Kogoya. Sejak saat itu pula, kabar kematian, penembakan, dan pengungsian terus mewarnai pemberitaan berbagai media di Papua. Sepanjang tahun 2019, puluhan ribu masyarakat Nduga harus mengungsi dari kampung mereka. Sekitar dua ratus orang dikabarkan meninggal dunia dalam pengungsian dan ribuan anak-anak tak bisa bersekolah.
Aparat keamanan Indonesia dituduh menggunakan bom fosfor dalam operasi militer yang dilakukan untuk mengejar pelaku pembunuhan pekerja PT Istaka Karya. Meskipun aparat keamanan Indonesia membantah tuduhan tersebut beberapa media Australia menyiarkan bukti-bukti penggunaan fosfor yang tampak pada tubuh masyarakat yang menjadi korban bom fosfor tersebut.
Akibat serangan menggunakan bom fosfor ini, tujuh orang tewas karena luka bakar dan ribuan orang dari Kampung Yal, Yigi dan Mbua mengungsi ke Kabupaten Puncak.
Operasi militer di Kabupaten Nduga ini telah ditolak oleh Gubernur Papua, Parlemen Papua dan Majelis Rakyat Papua meminta pemerintah Indonesia menarik pasukan keamanan di Nduga agar masyarakat Nduga bisa kembali ke kampung mereka dan beraktifitas seperti biasanya namun permintaan ini tidak ditanggapi. Akibatnya, aktivitas pembangunan Kabupaten Nduga yang berada di atas kawasan Taman Nasional Lorentz menjadi lumpuh.
Pada akhir Desember 2019, Wakil Bupati Nduga, Wentius Nemiangge memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya. Keputusan itu diambil setelah sopir yang juga ajudannya, Hendrik Lokbere, tewas tertembak pada 20 Desember 2019. Wentius mengatakan, Hendrik Lokbere tertembak saat berjalan di Kampung Yosema, Distrik Kenyam, Nduga, Papua. Padahal, kata Wentius, sebelum Hendrik tertembak keadaan di Kampung Yosema relatif kondusif. Kala itu tidak ada kontak senjata.
“Tidak ada kontak senjata, itu di tengah jalan dia dapat tembak,” kata Wentius.
Tewasnya Hendrik membuat Wentius terpukul dan memutuskan mengundurkan diri.
Cagar Alam Cycloop dan eksistensi masyarakat adat Tabi
Banjir bandang menerjang Kota Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua pada 16 Maret 2019. Ratusan orang meninggal dan belasan ribu orang kehilangan rumah. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua menyatakan, banjir bandang ini terjadi karena hujan lebat sepanjang hari dan tanah tidak mampu lagi menyerap volume air. Sesuai data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika curah hujan yang terjadi mengguyur Kabupaten Jayapura pada saat banjir terjadi intensitasnya mencapai 114 militemer.
Banjir ini mengkonfirmasi pembangunan kawasan Kabupaten Jayapura yang terletak di bawah Cagar Alam Cycloop telah berkontribusi pada kerusakan kawasan agar alam yang tersebut. Cycloops sendiri diakui sebagai bagian penting dari eksistensi masyarakat adat Tabi. Kerusakan Cycloops berarti kerusakan juga pada masyarakat adat Tabi.
Cycloop ditunjuk sebagai Cagar Alam (CA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 56/Kpts/Um/1/1978 tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 dengan luas 22.500 Ha.
“Luas kawasan cagar alam Cycloop sekitar 31.000 hektare, yang rusak itu sekitar 1.000 hektare lebih, dihitung-hitung dibawah 7 persen lah,” kata kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Timbul Batubara.
Banjir bandang dan kerusakan Cagar Alam Cycloops ini memunculkan persoalan baru, konflik antara masyarakat adat Tabi dengan masyarakat asli Papua yang berasal dari pegunungan Papua. Orang-orang yang berasal dari pegunungan Papua yang bermukim di Kabupaten Jayapura sejak tahun 2000an dituduh sebagai perusak kawasan cagar alam Cycloop oleh masyarakat Tabi. Tuduhan ini berdampak sangat besar dalam peta politik lokal. Jumah orang pegunungan yang terus meningkat ini disebutkan sebagai bagian dari praktek politik curang untuk menguasai jabatan-jabatan di pemerintahan Provinsi Papua maupun parlemen Papua.
Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Mamberamo Raya dan Kabupaten Keerom kemudian menginginkan Daerah Otonom Baru atau pemekaran provinsi karena alasan tersebut.
Komitmen Papua sebagai paru-paru dunia
Pada tanggal 1-3 Mei, Gubernur Papua. Lukas Enembe menghadiri konferensi tahunan Governor’s Climate and Forest (GCF) Task Force di Caqueta, Kolombia. Dalam konferensi tersebut, Enembe menyampaikan Papua sebagai pemilik hutan tropis siap berkontribusi sebagai paru-paru dunia.
“Papua siap menjaga 90 persen hutan tropisnya. Tapi kami butuh bantuan. Sebab menjaga hutan tidaklah mudah. Karena besarnya tantangan yang kita hadapi, seperti pembalakan hutan dan perkebunan skala besar yang massif di Papua,” ujarnya.
Meskipun demikian, Enembe yakin cara masyarakat adat Papua memandang hutan sebagai “mama” merupakan satu kekuatan yang bisa berkontribusi dalam keberlanjutan hutan tropis Papua sekaligus menjaga Papua sebagai paru-paru dunia dan ketahanan iklim.
Menurutnya, sekitar 85 persen hutan di Papua masih utuh dan sekitar 90 persen masyarakat adat Papua yang tinggal di atau dekat hutan.
“Karena itu, kita ikut berkomitmen untuk pertumbuhan ekonomi hijau yang mengakui keberadaan masyarakat adat,” lanjutnya.
Gubernur Enembe mengajukan Papua sebagai tuan rumah konferensi selanjutnya. Pengajuan ini disetujui oleh forum GFF. — > Lanjut baca bagian 2
Victor Mambor adalah jurnalis senior asal Papua dan pendiri media online utama di Papua, tabloidjubi.com/arsip.jubi.id. Ia telah meliput isu Papua berbagai negara, terutama di kawasan Pasifik. Artikel-artikelnya tentang Papua bisa ditemukan di Jakarta Post, benarnews.org, The Internationalist, The Guardian, Radio New Zealand, ABC dan AlJazeera.