Masa depan perwakilan perempuan di PNG

Murid-murid sekolah menengah Jubilee di Port Moresby selang acara penyambutan Utusan Sekretaris Jenderal PBB untuk Pemuda, Jayathma Wickramanayake, dimana mereka berbagi visi tentang masa depan yang inklusif dan aman bagi perempuan dan anak-anak perempuan di Papua Nugini, 12 Maret 2020. - PBB di PNG /Flickr

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Leanne Jorari

Read More

Dalam 46 tahun sejak kemerdekaan Papua Nugini, hanya ada tujuh perempuan yang pernah terpilih menjadi Anggota Parlemen di negara itu. Namun apakah ini saatnya untuk perubahan?

Kelihatannya sesuai jika sebuah partai politik yang progresif, yang membantu Papua Nugini menuju kemerdekaannya 46 tahun yang lalu, dan telah menjadi partai yang memimpin pemerintahan selama dua tahun terakhir, menjadi parpol yang mengajukan calon presiden perempuan pertama di negara itu, Erigere Singin. Ini adalah langkah yang berani dan tepat untuk masa depan parpol itu, Pangu Pati.

Perdana Menteri PNG, James Marape, tidak membuang-buang waktu ketika ia mengumumkan keputusan tersebut, dimana ia menyatakan dalam konferensi pers tidak lama setelah melakukan pemilihan dalam Konvensi Nasional ke-26 Pangu Pati di Port Moresby, pada 27 Agustus lalu, bahwa “salah satu capaian utama kami hari ini adalah pemilihan yang bersejarah, Erigere Singin sebagai Presiden Nasional kita… Ini adalah peristiwa yang penting bagi Pangu Pati.” Ia lalu menambahkan bahwa, “Pada tahun 1977, perempuan pertama yang berhasil menjadi anggota parlemen adalah Nahau Rooney dari Pangu Pati, and sekarang Pangu Pati kembali mencatat sejarah lagi. Tidak hanya laki-laki yang bisa melakukan pekerjaan itu, perempuan juga bisa melakukan pekerjaan itu.”

Kita harus mengakui capaian dan kemajuan seperti ini. PM Marape dan Pangu Pati telah mengambil keputusan yang tepat dengan mencalonkan seorang perempuan untuk memimpin mereka menuju ke pemilu 2022. Tetapi banyak pihak yang mempertanyakan alasannya, apakah langkah ini hanyalah permainan politik untuk menggalang dukungan pemilih menjelang pemilu nasional. Selama ini, PNG dan pemerintahnya harus menghadapi berbagai kritik dan kecaman untuk segera meningkatkan jumlah perwakilan perempuan di parlemen. Namun tidak ada langkah apa pun dalam bentuk perundang-undangan untuk memberikan pembenaran yang memadai akan janji-janji yang dibuat oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya, termasuk yang saat ini dipimpin oleh Marape. Sejak mencapai kemerdekaan pada 1975 lalu, hanya tujuh perempuan yang pernah terpilih menjadi anggota parlemen nasional di PNG.

Pada April tahun ini, Komite Parlementer Khusus untuk Kekerasan Berbasis Gender (Special Parliamentary Committee on Gender-Based Violence/ SPC GBV) – dipimpin langsung oleh mantan Wakil Perdana Menteri Charles Abel, Gubernur Allan Bird dari Provinsi Sepik Timur, dan Gubernur Powes Parkop, serta Anggota Parlemen Allan Marat dan Aiye Tambua – mengajukan agar ada lima kursi yang dialokasikan untuk perwakilan perempuan di parlemen pusat. Namun beberapa bulan telah berlalu, satu RUU pun masih belum dibahas dan rincian dari RUU tersebut juga belum diumumkan.

Berita tentang dukungan pemerintah terhadap rekomendasi SPC GBV itu pun membawa perpecahan. Meski banyak pihak yang menyambut baik inisiatif tersebut, yang lain menolaknya dengan alasan bahwa lima kursi saja itu belum cukup. Mereka menuntut agar proposal sebelumnya, dimana ada 22 kursi khusus yang diwajibkan oleh RUU yang serupa pada 2011 lalu dan kemudian ditolak, itu kembali diajukan. RUU itu diajukan oleh Dame Carol Kidu, seorang MP perempuan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat selama masa pemerintahan PM Somare. RUU tersebut lolos dalam pembahasan pertama, tetapi amendemen konstitusional yang diperlukan untuk memungkinkan pengesahan RUU itu tidak berhasil menang dalam pemungutan suara berikutnya.

Pada 12 Agustus tahun ini, Abel mempresentasikan sebuah laporan dari komite SPC GBV di parlemen yang disusun setelah mereka melakukan konsultasi publik, juga disertakan dalam laporan ini adalah daftar rekomendasi untuk pemerintah. Salah satu rekomendasi lainnya, selain lima kursi tadi, adalah untuk mendukung RUU yang mewajibkan 22 kursi cadangan bagi perwakilan perempuan di parlemen.

Abel menekankan bahwa “Laporan dari komite kami mendesak pemerintah untuk segera memajukan proposal untuk membentuk kursi cadangan bagi perwakilan perempuan di Parlemen Nasional… termasuk dalam pembentukan parlemen berikutnya.”

Secara khusus, rekomendasi nomor 70 dari laporan tersebut mencatat bahwa: ”Pemerintah harus segera merampungkan legislasi untuk memperkenalkan kursi cadangan bagi perwakilan perempuan di parlemen, dalam waktu yang cukup dini agar undang-undang ini dapat disahkan/diubah sebelum Pemilihan Umum Nasional 2022. Komite ini tidak ingin PNG untuk tidak memiliki perwakilan perempuan di Parlemen Nasional lagi, dan mendukung kursi yang dikhususkan untuk perwakilan perempuan sebagai tindakan khusus sementara dalam menghadapi risiko ini.”

Namun, apakah sekarang semuanya sudah terlambat, terutama mengingat tidak ada RUU resmi yang diajukan di parlemen PNG untuk lima kursi regional bagi perwakilan perempuan sesuai dengan rekomendasi SPC GBV?

Ini bukan pertama kalinya ada desakan di parlemen untuk perwakilan perempuan yang lebih adil. Secara khusus, suara perempuan harus didengarkan terkait dengan persoalan kekerasan berbasis gender yang mereka hadapi di negara ini, dimana isu ini telah didokumentasikan secara meluas dalam berbagai artikel, tulisan opini, dan penelitian yang dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun kemauan politik untuk bergerak tampaknya masih kurang. Sepuluh tahun setelah RUU yang pertama diusulkan, dan pada malam sebelum peringatan kemerdekaan negara itu yang ke-46, belum ada satupun kursi yang dialokasikan untuk perwakilan perempuan dan proposal itu, yah, masih berupa sebuah proposal. (The Interpreter)

Leanne Jorari adalah seorang spesialis media dan komunikasi, produser televisi, dan penulis lepas yang tinggal di Port Moresby, Papua Nugini. Sebelumnya ia juga bekerja sebagai jurnalis dan produser di badan penyiar nasional PNG, EMTV.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply