Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Moanemani, Jubi – "Saya menjadi kader pendamping HIV/AIDS itu karena rasa sayang, iba, karena orang Papua semua sudah mulai habis-habis," demikian Margareta Degei membuka pembicaraan dengan Jubi saat ditemui Minggu, 23 Desember 2018 di rumahnya yang asri di punggir jalan lintas Paniai-Nabire, Kampung Bomomani, Dogiyai.
Margareta, seorang perempuan paruh baya yang sigap dan cekatan itu menceritakan alasan dia aktif menjadi kader pendamping Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) atau Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), binaan Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) di Dogiyai sejak tahun 2015.
"Peduli pada ODHA itu mestinya ada di semua orang. Tapi entah kenapa orang lain anggap tidak pusing begitu," ujar Margareta.
Dengan nada kesal bercampur sedih dia mengungkapkan kekhawatirannya atas masa depan hidup Orang Asli Papua (OAP) akibat penyakit yang padahal tidak mematikan ini.
Margareta menyebutkan ODHA dampingannya lebih banyak yang meninggal ketimbang hidup baik.
"Orang-orang yang saya dampingi itu sudah lebih banyak yang meninggal ketimbang hidup. Dan mereka lebih banyak perempuan remaja, belum pun jadi Ibu," katanya getir.
Dia lalu menceritakan seorang perempuan remaja dampingannya yang menyelesaikan program TBC dengan baik dan memulai ARV. Namun tiba-tiba menghilang dan memutuskan kembali ke kampung dengan mamanya.
"Tetapi ternyata tidak tinggal dengan mamanya dan malah kawin lagi dengan laki-laki, akhirnya dia kambuh lagi. Baru dia sudah mati dan laki-laki itu juga sudah mati," katanya sambil kesal.
Kini, setelah natal dan Tahun Baru Margareta akan mengantar istri (pertama) dari laki-laki yang meninggal itu ke layanan VCT di Madi, Paniai.
"Dia punya lima anak. Saya sudah kasi tahu juga ibu itu. Ko jangan dekat-dekat dengan ko pu suami. Dia ada main di luar itu. Tapi dia tidak dengar. Beberapa hari lalu dia minta tolong cari ramuan. Saya bilang iyo nanti saya kasi tau orang yang biasa bikin, tapi ko harus periksa darah dulu baru minum ramuan," tuturnya.
Dari banyak pengalaman getirnya mendampingi, Margareta merasa sedikit senang karena banyak yang mau memeriksakan diri. Namun dia juga sedih dan kecewa karena ternyata mereka tidak minum obat (ARV) secara teratur.
Aktivis perempuan akar rumput
Margareta Degei mulai berkenalan dengan YAPKEMA sekitar tahun 2013. Pada tahun 2015, ia mulai terlibat menjadi kader pendamping HIV/AIDS karena mendapat informasi dan pengetahuan dari yayasan.
Walau telah lama aktif membantu masyarakat di bidang sosial ekonomi, namun untuk isu HIV/AIDS ia sama sekali awam.
Dari gerak geriknya yang cekatan, dan tutur bahasanya yang teratur, orang dapat cepat mengira Margareta Degei memang berpengalaman mengurus masyarakat.
Sejak tahun 1979, ia dipercaya memimpin kelompok perempuan di Modio, kampung suaminya dulu. Tahun 1983 bahkan ia menjadi koordinator untuk seluruh wilayah Mapia dan Piyaye.
Selain soal perempuan, Margareta juga lama aktif membantu pengembangan ekonomi rakyat bersama kaum bapak.
"Dengan modal 80 ribu dan kain satu blok dari suster Belanda waktu itu kami gerakkan menjahit di Modio, Timepa, dan kampung-kampung lain dengan berjalan kaki. Kami dengan tim penggerak sosial ekonomi dengan bapak-bapak mereka ikut gabung. Kami juga kasih penyuluhan cara menanam kopi, dan menggerakkan orang untuk berusaha," ujarnya.
Perempuan yang memilih sendiri setelah berpisah dengan suami di tahun 2002 ini sering menampung pasien di rumahnya.
"Yang saya lakukan itu mengajak mereka pergi periksa darah lengkap. Baru ambil obat, arahkan mereka untuk minum obat. Biasanya permulaan mereka ikut program dengan baik. Tapi setelah 1 tahun begitu mereka malas minum obat lagi," ungkap Margareta.
Memang masalah "putus minum obat" menjadi batu sandungan besar bagi penanggulangan HIV/AIDS di banyak tempat di Papua. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan layanan kesehatan.
Macetnya layanan di Dogiyai
Sekarang kesulitan kader-kader pendamping di Dogiyai, seperti Margareta, bertambah lagi. Sejak 2018 layanan VCT di Kabupaten Dogiyai macet.
"Tahun 2016-2017 itu layanan VCT ada di Puskesmas Bomomani dan Moanemani. Tapi setelah “kerusakan” layanannya, pasien harus dibawa ke RSUD Madi, Paniai. Kerusakan itu katanya peralatan sudah rusak jadi layanan tutup. Tenaga juga tidak ada," ungkap Margareta yang merogoh uang dari kantong sendiri untuk ongkos transportasi dan kebutuhan lain demi mengantar pasien ke Madi, Paniai dengan kendaraan umum (taxi).
Ongkos ke Madi bisa mencapai Rp250-300 ribu. Belum lagi jika harus menginap di Waghete, Deiyai, karena kesulitan taxi dari Dogiyai. Waktu tempuh Dogiyai-Paniai sekitar dua jam.
Menurut Margareta layanan di Madi untuk ODHA sudah baik. Petugas ada dan pemeriksaan lancar.
"Sebenarnya kalau orang simpati pada ODHA maka harus ada dokternya, ada layanan yang lancar dari pemerintah atau Dinkes. Jadi kalau ada macam tempat yang layanannya bagus di Puskesmas atau di mana saja itu boleh supaya orang tidak mengalami kesulitan transportasi ke kota lain," kata dia.
Kecuali sakit, Margareta Degei tetap membantu mengantarkan orang-orang untuk memeriksakan diri atau mengambil obat.
"Saya akan tetap lakukan ini kalau umur saya panjang dan saya sehat. Kalau saya mati ya tidak tahu," katanya seraya tertawa. (*)