Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Jo Chandler di Port Moresby
Enam bulan setelah ia digulingkan dari posisi perdana menteri PNG, Peter O’Neill duduk untuk berbicara tentang skandal dan peninggalan rezimnya.
Untuk mantan perdana menteri dengan surat perintah penangkapan atas namanya dan tuduhan korupsi, Peter O’Neill terlihat kalem.
Tetapi ia membiarkan sarapannya mendingin seraya menjawab pertanyaan tentang tuduhan itu, peninggalan kepemimpinannya – dan armada kendaraan Maserati.
Dia menegaskan bahwa ia tidak bisa banyak berkomentar tentang penyelidikan yang masih berjalan ini. Kemudian ia mulai bercerita.
Dia tenang, namun dia memang pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya. Pada 2014, pernah ada surat perintah penangkapan atas nama O’Neill yang dikeluarkan, sebagai bagian dari penyelidikan terhadap dugaan penipuan sebesar $ 30 juta, yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung PNG pada 2017.
Surat penangkapan tersebut diterbitkan berkat gugus tugas Task Force Sweep yang didirikan oleh O’Neill tidak lama setelah menjadi PM pada 2011, menjanjikan nol toleransi atas korupsi. Dia menutup gugus tugas itu beberapa hari setelah upaya penangkapan atas dirinya. “Ketika mereka menjadi terlalu politis, saya menghentikannya, saya tidak ragu melakukan ini saat itu, dan saya akan melakukannya lagi,” katanya.
Mengenai tuduhan yang dilayangkan kepadanya saat ini, ia berkata itu terkait dengan proposal pendanaan suatu pusat kesehatan yang dikelola oleh gereja Lutheran di Madang.
“Mereka mengajukan proposal ke kantor saya. Saya merujuk proposal ini untuk didanai oleh badan Community Development Fund, yang berada di bawah tanggung jawab saya. Mereka mendanai proposal itu. Mereka melakukan pembayaran langsung ke gereja. Jadi, apa yang salah dengan itu? Apa yang korup tentang itu? Ini adalah kasus yang bermotivasi politik.”
Jumat lalu (1/11/2019), beberapa hari setelah wawancara ini, polisi mencabut surat perintah penangkapan setelah ditantang oleh pengacara O’Neill dengan alasan validitas, tetapi sejumlah laporan menunjukkan bahwa penyelidikan itu belum berakhir, dan bahwa surat perintah penangkapan lainnya mungkin masih dalam proses.
Skandal APEC
O’Neill sedikit lebih bersemangat menjelaskan pandangannya mengenai peninggalan rezimnya.
Dia menyombongkan capaian-capaian utamanya melalui kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan, serta ‘pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya’ serta keberhasilannya menyelenggarakan konferensi APEC di PNG tahun lalu.
Tetapi KTT tersebut menuai kecaman global dan dalam negeri akibat hampir AS $135 juta yang dihabiskan untuk acara tersebut, termasuk untuk pembelian armada kendaraan Maserati dan Bentley.
Padahal PNG sedang menghadapi berbagai kendala ekonomi yang sulit, tingkat kemiskinan tinggi, sambil berjuang menyelesaikan keadaan darurat penyakit beruntun (polio, TB, malaria, dan HIV) dan dampak gempa bumi. Apakah mungkin bagi para pemimpin bisa puas juga kemewahan mereka sedikit dikurangi dalam konteks ini?
O’Neill merespons, “Saya pikir kalian harus menghadiri beberapa pertemuan seperti ini dan menyaksikan sendiri,” tuturnya. “Kalian harus pergi ke pertemuan berikutnya di Chili dan melihat kendaraannya nanti seperti apa – Audi atau Mercedes atau Maserati.” Sejak wawancara itu, Chili telah mengumumkan mundurnya mereka dari tuan rumah APEC berikutnya akibat protes di seluruh negeri itu.
‘Keputusan yang sulit untuk diambil’
Kembali berbicara tentang pendidikan, O’Neill berkata bahwa selama pemerintahannya, tingkat pendaftaran sekolah meningkat dari kurang lebih 900.000 anak, menjadi lebih dari 2 juta anak, setelah ia menggratiskan biaya sekolah. “Kita memungkinkan lebih banyak anak perempuan, yang selalu menjadi prioritas paling bawah dalam keluarga, untuk mendapatkan pendidikan… untuk mandiri dan tidak ditekan oleh keluarga dan berakhir dengan pernikahan dini dan semua masalah lain yang kita hadapi di negara berkembang.”
Tapi ada sisi negatif dari narasinya ini. Kebijakan itu mendatangkan siswa, tetapi tidak mendatangkan sumber daya untuk mendukung pembelajaran mereka. Konsekuensinya adalah ruang kelas yang rusak dan penuh sesak di pelosok negeri, dan keprihatinan orang tua dan calon pemberi kerja tentang prestasi siswa.
O’Neill mengakui adanya persoalan ini. “Tapi saya harus memutuskan untuk meninggalkan anak-anak di jalanan, atau untuk menempatkan mereka di lingkungan di mana mereka bisa belajar… apakah adil bagi anak-anak perempuan jika mereka terus ditahan di rumah? Ini adalah keputusan yang sulit untuk diambil.”
Mengenai kesehatan, ia menyatakan bahwa ia telah menaikkan anggaran yang dialokasikan, dan memungkinkan program pelayanan kesehatan dasar cuma-cuma di seluruh negeri, terutama untuk masyarakat pedesaan dan terpencil.
Tetapi analisis yang dilakukan oleh Australian National University menemukan penurunan anggaran kesehatan sebesar 37% dalam dari 2014 hingga 2016. Penderitaan masyarakat PNG akibat kurangnya layanan kesehatan adalah isu utama dalam protes massal menjelang APEC.
Audit nasional 2017 melaporkan minimnya ketersediaan obat-obatan penting yang meluas di seluruh negeri, dan asosiasi dokter nasional PNG menyalahkan penutupan banyak fasilitas kesehatan di daerah pedesaan, karena terbatasnya obat-obatan atau pekerja akibat korupsi yang endemik.
“Itu adalah masalah manajemen, bukan pemerintah yang tidak memprioritaskan,” jawab O’Neill. “Sejauh yang saya tahu, alokasi dana untuk sektor kesehatan selama masa pemerintahan saya, adalah alokasi paling tinggi dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya sejak kita merdeka. Pendanaan itu disediakan sebagai prioritas setiap tahunnya.”
Ekonomi adalah bidang lain dari peninggalannya yang disoroti O’Neill, ia mengklaim telah berhasil menggandakan PDB PNG dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sebuah Survei Ekonomi PNG 2019 yang baru-baru ini diterbitkan oleh ANU dan Universitas PNG menunjukkan kenyataan yang berbeda, dimana laporan itu mengutip hasil penilaian Bank Dunia yang menunjukkan bahwa PNG termasuk dalam kategori negara yang rapuh dari 2013 hingga 2017.
‘Tidak memiliki penyesalan apa-apa’
PNG akan menghadapi ujian yang sangat signifikan dalam beberapa bulan mendatang dengan adanya referendum kemerdekaan Bougainville, yang akan berlangsung akhir bulan ini. Analisis dari Lowy Institute mengantisipasi pemungutan suara ini akan didominasi oleh suara pro-merdeka, tetapi O’Neill memperingatkan bahwa ini dapat menyebabkan perpecahan PNG.
Di bawah amanat yang disepakati melalui perjanjian perdamaian Bougainville, ‘hasil referendum bukanlah penentu akhir kemerdekaan di Bougainville. Hasil itu harus didukung oleh parlemen. Dan saya yakin parlemen akan mengambil keputusan yang tepat’. Sudah banyak peringatan bahwa jika pemerintah PNG menolak untuk meratifikasi hasil referendum, hal itu dapat menyulut kembali api kerusuhan.
Mengenai kesepakatan Manus, yang menampung pencari suaka dan pengungsi yang berusaha datang ke Australia, O’Neill berkata bahwa ia ‘tidak memiliki penyesalan apa-apa’. Kesepakatan ini menciptakan lapangan pekerjaan, menjadi sumber pendapatan dan infrastruktur di Pulau Manus, katanya.
Dan akhirnya, O’Neill membahas pinjaman kontroversial AS $ 1,24 miliar pada 2014 yang diatur oleh UBS Australia, kini menjadi subjek investigasi di PNG. O’Neill menggunakannya pinjaman itu untuk membeli 10% saham perusahaan Oil Search. Ketika harga minyak merosot pada tahun berikutnya, PNG rugi sekitar $ 420 juta.
“Saya tidak percaya itu adalah kesalahan,” tegasnya.
Pada Selasa lalu (5/11/2019), dilaporkan bahwa PNG telah menunda penyelidikan atas pinjaman itu, tanpa batas waktu. Ketua tim yang melakukan penyelidikan itu, Salamo Injia, berkata komisi yang bertanggung jawab belum menerima dana yang diperlukan, dan menemukan pengacara asing untuk bekerja dengan komisi itu. (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo