Mantan diplomat ragu akan upaya Malaita surati Dewan Keamanan PBB

Mantan Komisaris Tinggi Australia di Kepulauan Solomon tidak yakin bahwa kesepakatan Townsville adalah pendekatan terbaik yang dapat diambil Malaita untuk mencapai otonomi. - Evan Wasuka

Papua No.1 News Portal | Jubi

Honiara, Jubi – Provinsi Malaita di Kepulauan Solomon sedang mengandalkan perjanjian damai berusia 20 tahun, difasilitasi oleh Australia, untuk mendorong otonomi saat hubungannya dengan pemerintah nasional mencapai titik terburuk.

Premier provinsi itu, Daniel Suidani, telah menyurati Dewan Keamanan PBB untuk memastikan apakah persyaratan Perjanjian Perdamaian Townsville (Townsville Peace Agreement/ TPA) telah dipenuhi.

Perjanjian tersebut ditandatangani pada tahun 2000 untuk mengakhiri konflik antara kelompok dari Malaita dan Guadalcanal bertahun-tahun.

“Sudah seharusnya Dewan Keamanan PBB, sebagai pihak yang juga menjadi saksi dokumen itu, untuk terlibat…terutama di bagian keempat dari TPA, yang mengatur pemerintahan otonomi,” kata Suidani.

Desakan untuk merdeka kembali muncul setelah protes anti-pemerintah bulan lalu, dimana sebagian besar pemrotes berasal dari Malaita, dan sebuah mosi tidak percaya yang diajukan untuk menggulingkan Perdana Menteri Manasseh Sogavare gagal.

Menjelang pemungutan suara untuk mosi tidak percaya Senin lalu (6/12/2021), Suidani sudah memperingatkan bahwa Malaita akan terus mendorong otonomi jika Sogavare kembali menjabat sebagai PM.

Dia mengatakan kepada ABC bahwa sebuah survei akan dilakukan selama 30 hari untuk menentukan pandangan publik akan kemerdekaan dari Kepulauan Solomon.

“Kita perlu berkonsultasi dengan masyarakat di provinsi ini untuk mengetahui pendirian mereka, dengan survei ini kita dapat dengan mudah mengetahui berapa banyak orang yang setuju dengan ini dan berapa banyak yang tidak.”

Tetapi mantan Komisaris Tinggi Australia di Kepulauan Solomon, James Batley, tidak yakin bahwa kesepakatan Townsville adalah pendekatan terbaik yang dapat mereka ambil menuju otonomi.

“Saya rasa PBB tidak akan menanggapi permintaan ini, saya rasa PBB akan menganggap ini masalah internal,” tegasnya.

Batley, yang memimpin misi RAMSI yang didanai Australia pada awal 2000-an, menerangkan bahwa ketentuan utama dari perjanjian itu – penyerahan senjata – tidak pernah benar-benar terjadi. (Pacific Beat)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Leave a Reply