Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Indah Ein Fajarwati Wainsaf
Dahulu kala di wilayah Waigeo Raja Ampat, hiduplah seorang pemuda nelayan bernama Man Dunia yang bekerja mencari hasil laut di perairan Raja Ampat. Setiap hari saat nelayan lain mencari ikan di laut yang lebih luas, Man Dunia memilih untuk mencari ikan di wilayah dekat daratan yang berdekatan dengan hutan-hutan bakau.
Suatu hari saat hujan deras menyergap perairan Waigeo, Man Dunia mencari tempat berteduh di pinggiran daratan pulau, dilihatnya sebuah rumah di dekat bebatuan. Rumah tersebut dihuni oleh tiga perempuan dari bangsa jin yang hidup berdampingan dengan manusia; seorang ibu bersama dua anak gadisnya. Manusia percaya bahwa hidup selalu berdampingan, manusia hidup bukan hanya bersama alam namun juga bersama makhluk abstrak lainnya.
Sang ibu dari bangsa jin tersebut rupanya telah melihat Man Dunia yang sedang mencari tempat berteduh. Sang ibu kemudian mendorong batu yang memisahkan penampakan rumah mereka dari pandangan manusia. Ketika batu itu dilepas, maka bangsa manusia dapat melihat rumah mereka di bebatuan. Namun, sebaliknya jika tidak dilepaskan, maka rumah bangsa jin itu tampak hanya bebatuan berukuran besar.
Man Dunia pun dipersilakan masuk ke rumah bangsa jin oleh sang ibu. Dia kemudian melayani tamunya dari bangsa manusia tersebut dengan memberi makanan dan minuman sama seperti tuan rumah pada tamu pada umumnya.
Ketika Man Dunia hendak beristirahat sebentar di rumah tersebut, sang ibu mempersilakannya untuk memilih salah satu kamar dari dua kamar di rumahnya dengan maksud mempersilakan Man Dunia memilih salah satu dari anak gadisnya.
Man Dunia masuk ke kamar putri bungsu. Si putri bungsu mengatakan bahwa Man Dunia salah memasuki kamar, seharusnya kamar yang ia masuki adalah kamar kakak perempuan di sebelahnya. Man Dunia lalu memasuki kamar putri sulung dan diterima oleh putri sulung dari keluarga tersebut.
Hari berganti hari, Man Dunia sering datang ke rumah tersebut dan akhirnya menikahi putri sulung tadi. Dari perkawinan mereka lahirlah seorang anak yang semakin melengkapi keluarga mereka.
Namun tidak seperti isu yang tersebar di masyarakat manusia. Kabar Man Dunia menikahi wanita dari bangsa jin tersebar ke segala penjuru wilayah, cerita dan desas-desusnya beredar hingga putri sulung mengetahuinya.
Kabar dari manusia rupanya mengganggu ketentraman hati putri Sulung, hingga suatu hari, Man Dunia hendak pergi mengunjungi keluarganya di kampung. Putri sulung menyiapkan persiapannya dan turut di dalamnya memberikan Man Dunia tempat sirih pinang. Dalam tempat sirih pinang tersebut Putri Sulung juga meletakkan dua kupu-kupu untuk mengikuti Man Dunia ke daratan kampung.
Man Dunia kemudian menemui keluarganya, dan seperti biasa saat berkumpul selalu disiapkan sirih pinang sebagai pelengkap percakapan.
Man Dunia turut memberikan kotak sirih pinang yang dibawanya. Tapi ada keluarga yang melihat adanya kupu-kupu dan menyadari bahwa kupu-kupu tersebut dikirimkan oleh istri Man Dunia untuk mengikutinya. Keluarga Man Dunia yang belum bisa menerima keputusan Man Dunia, dengan berkata kasar meludahi kupu-kupu tersebut dengan kuah pinang mereka.
Dua kupu-kupu tersebut sedih dan pergi ke tuan putri Sulung. Mereka memberitahukan segala yang dialaminya di sana. Mendengar kejadian tersebut betapa sedih dan kecewa hati Putri Sulung. Karena kekecewaannya, Putri Sulung melepaskan batu pemisah rumahnya agar tak terlihat lagi oleh Man Dunia.
Ketika Man Dunia balik (pulang) ke rumah istrinya untuk berjumpa dengan istri dan anaknya, yang ia lihat hanyalah batu. Hanya batu. Man Dunia tetap menunggu di luar dan mengikatkan perahunya di pohon beringin dekat batu tersebut.
Man Dunia bersedih dan menunggu selama berhari-hari di depan batu tersebut. Sementara itu, ibu Putri Sulung (istrinya) mulai khawatir, ia meminta putri sulungnya untuk melihat sejenak ke luar apa yang terjadi pada Man Dunia, tapi ditolak oleh putrinya.
Setelah lama menunggu, Man Dunia dengan keputusasaannya menggantungkan kapak pada akar pohon beringin yang menggantung tepat di atasnya. Ia pun tidur dengan pasrah di bawahnya dalam penantian sedihnya hingga akar pohon terputus dan kapak jatuh mengenai tubuhnya.
Ibu putri sulung berada di puncak kekhawatirannya dan memaksa menarik batu pemisah mereka dengan dunia manusia, namun ia terlambat, di depan rumahnya hanya ada jazad Man Dunia yang telah meninggal. Ia semakin bersedih dan memberitahu putrinya.
Putri Sulung dan Putri Bungsu menangis sedih. Putri Sulung bersama adik dan anaknya yang belum berusia satu tahun itu membawa pulang jazad Man Dunia ke keluarganya di kampung dengan mendayung perahu.
Mereka mendayung hingga mendekati kampung Man Dunia dan adik putri sulung menangis sedih sambil bernyanyi:
“Man Dunia eee, Man Dunia… walya takopat si meten oooo, del awa
(Man Dunia ee, Man Dunia.. Batu-batu di Kali Walya kering itu karena kau)
Man Dunia eee, Man Dunia.. o sancun galiwaooo nik an bono
(Man Dunia ee, Man Dunia.. Beli baju baru itu saya yang duluan)
Ee sif galiwaoooo nik an bono
(beli sarung baru itu saya yang dapat duluan [baru istrimu]).
*Kali Walya : nama tempat dimana terdapat rumah Putri Sulung bersama keluarganya.
Suara tangisan tersebut terdengar oleh warga kampung. Orang-orang berlarian menuju sumber suara dan mengetahui Man Dunia telah meninggal.
Warga kampung kemudian mengambil jazadnya dan dikebumikan. Putri sulung bersama adik dan anaknya tetap tinggal di kampung hingga pemakaman selesai dan dilanjutkan dengan pengiriman doa hingga beberapa hari.
Tiba saat putri Sulung akan pamit dan kembali ke rumahnya karena ibu mereka sendirian di rumah. Putri Sulung bertanya kepada keluarga Man Dunia perihal anaknya, apakah hendak dijaga oleh keluarga Man Dunia atau dirawat olehnya. Keluarga Man Dunia meminta Putri Sulung untuk merawat anak tersebut, dan jika suatu waktu mereka ingin bertemu akan mendatangi rumah putri Sulung.
Putri Sulung bersama adik dan anaknya kembali ke rumah mereka. Putri Sulung dalam kesedihannya meletakkan sisir yang biasa digunakan untuk menyisir rambutnya di jendela kamarnya dan mendorong batu pemisah, sehingga tidak dapat dilihat oleh manusia manapun, ia kembali memisahkan diri dengan keluarganya dari manusia dan hanya menyisakan sisir rambutnya yang terlihat di batu besar di atas pohon beringin.
Hingga saat ini hanya batu berbentuk sisir yang terlihat di batu tersebut.
Cerita ini tidak hanya mengisahkan mitos, tetapi juga diyakini oleh warga bahwa ketika rumah warga didatangi kupu-kupu, maka itu menandakan akan datang tamu dari tempat yang jauh. (*)
Penulis adalah mahasiswa Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat. Cerita ini merupakan cerita favorit ke-8 pilihan juri lomba penulisan cerita rakyat dalam rangka HUT ke-18 Jubi
Editor: Timo Marten