Papua No.1 News Portal | Jubi
Beberapa perempuan Orang Asli Papua (OAP) di Nabire memiliki kesadaran mengimunisasi anaknya. Contoh menarik di tengah sebagian lainnya minim kesadaran. Petugas kesehatan pun mencari cara untuk mencapai target.
Para perempuan “Orang Asli Papua” (OAP) yang memiliki anak dan biasa dipanggil “Mama-Mama” di Provinsi Papua sudah banyak yang sadar dengan kewajiban untuk mengimunisasi anak mereka. Salah satu di Kabupaten Nabire.
Regina Rumbrar, 30 tahun, ibu dua anak yang berumur 5 tahun dan 2 tahun mengaku selalu rutin mengimunisasi kedua anaknya.
“Dua anak saya ini imunisasinya lengkap, saya rajin bawa ‘dong’ (mereka) dua ke posyandu tiap bulan,” ujar Rumbrar kepada Jubi di Nabire, Kamis, 27 Februari 2020.
Ibu rumah tangga warga Kompleks Kampung Harapan, Kelurahan Karang Tumaristis, Nabire tersebut mengaku sejak kecil selalu membawa anaknya ke posyandu yang buka setiap tanggal 7 dan 8.
Imunisasi, kata perempuan asal Biak tersebut, sangat penting dalam meningkatkan kekebalan tubuh anak terhadap berbagai penyakit. Menurutnya dengan rutin membawa anak ke posyandu, selain imunisasi juga memantau perkembangan dan pertumbuhan anak, serta menambah pengetahuan bagi ibu dalam merawat buah hatinya.
“Imunisasi sangat penting untuk anak saya dan tentu ibu yang lain juga pasti begitu,” ujarnya.
Ia mengaku banyak manfaat yang didapatkan dengan rutin ke posyandu, karena petugas memberikan pengertian dan pengetahuan cara merawat anak sehingga ia paham.
Pandangan yang sama juga disampaikan ‘Mama’ Tya Korowa. Perempuan 27 tahun dari suku Moora di Nabire tersebut memiliki seorang anak berumur 4 tahun. Korowa rajin mendatangi posyandu untuk memeriksa dan mengimunisasi anaknya.
“Imunisasi anak harus lengkap sampai usia sekolah, nanti usia sekolah beberapa imunisasi yang perlu harus diulang untuk memastikan kekebalannya,” katanya.
Beberapa imunisasi perlu diulang, tambah Korowa, karena imunisasi mencegah si anak menderita cacat atau kematian akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah.
“Setiap orang tua berkewajiban melindungi anak, imunisasi adalah cara melindungi anak dari penyakit dan sekaligus melindungi lingkungan dari wabah penyakit, contohnya polio atau cacar,” ujarnya.
Petugas kesehatan, kata Korowa, sudah memiliki jadwal imunisasi anak. Pelaksanaan imunisasi biasa dilakukan di puskesmas atau posyandu.
“Imunisasi sangat penting dan diprioritaskaan, karena selain memberikan kekebalan tubuh anak atas beragam jenis penyakit, juga bisa menghilangkan penyakit tertentu,” katanya.
.Ia mencontohkan polio. Sejak ditemukannya imunisasi polio jenis penyakit tersebut sudah jarang didapati penderitanya.
“Jika kita tidak melakukan imunisasi akan dapat mengakibatkan wabah polio kembali, jadi imunisasi anak kita juga berarti melindungi anak orang lain,” ujarnya.
Korowa mengaku selama ini ketika ia mengimunisasi anaknya selalu lancar. Tanpa masalah yang dikhawatirkan sebagian ibu.
‘Mama’ Lusi Zongginau juga antusias dengan program imunisasi untuk anak-anaknya. Perempuan suku Moni berusia 40 tahun tersebut memiliki tiga anak. Anak pertama perempuan sudah besar, 20 tahun. Anak kedua dan ketiga laki-laki berusia 12 tahun dan 6 tahun.
Ia mengatakan ketiga anaknya mendapatkan imunisasi lengkap. Bahkan ia mengaku juga diimunisasi.
“Puji Tuhan, anak saya semua diimunisasi dan saya juga, jadi kami tidak sakit sembarang, palingan batuk pilek biasa,” katanya kepada Jubi.
Hanya saja, katanya, ada keraguan baginya bahwa imunisasi dulu mungkin saja berbeda dengan imunisasi sekarang, sebab mungkin saja vaksin yang digunakan sekarang sudah banyak terkontaminasi dengan banyaknya bahan kimia.
“Dulu bagus, jangankan anak-anak, kita orang tua rasakan hal itu, yang dikhawatirkan jangan sampai banyak bahan kimia, tapi ini kan hanya pikiran saya, intinya anak-anak saya semua sehat, termasuk anak-anak kakak saya yang juga rajin imunisasi,” ujarnya
Zongginau bertekad akan terus menjalankan imunisasi untuk anak bungsunya hingga usia sekolah.
“Imunisasi itu penting untuk kesehatan anak, terlepas dari asumsi sebagian orang akibat pemahamannya, tapi sebenarnya imunisasi untuk kebaikan kita sendiri,” katanya.
Kepala Puskesmas Yaro, Distrik Yaro, Kabupeten Nabire Rosmawati Samosir mengatakan kebanyakan ibu-ibu di wilayah kerjanya bersemangat membawa anaknya imunisasi saat baru lahir sampai berumur satu tahun.
“Namun setelah itu sudah jarang, bahkan tidak melanjutkan lagi, sebab mereka beranggapan imunisasi sudah selesai,” katanya.
Padahal, kata Rosmawati, imunisasi tidak hanya sampai bayi berumur satu tahun, tapi ada kelanjutannya. Seperti DPT dan campak lanjutan tetap dan harus diberikan sampai anak memasuki usia sekolah.
“Tapi memang kami akui bahwa kurang memberikan pengertian kepada para ibu, tapi pada prinsipnya tidak semua ibu, ada juga yang rajin membawa anaknya imunisasi, tapi dasarnya dalam pemikiran ibu-ibu imunisasi itu sampai enam bulan selesai,” ujarnya.
Kepala Puskesmas Kampung Moor, Distrik Moora, Yudit Raru menceritakan hal yang hampir serupa. Selain ada ibu yang rajin imunisasi, juga ada yang malas membawa anaknya.
Agar program imunisasi sukses, puskesmasnya menanggulangi dengan kegiatan “door to door”. Petugas puskesmas mendatangi ibu yang memiliki anak langsung ke rumah-rumah.
“Untuk memberikan pengertian kepada para ibu agar mereka tidak takut, baik dalam pertemuan atau rumah ke rumah, hal ini untuk mencapai desa bebas imunisasi maka sangat perlu dilakukan ‘sweeping’,” katanya.
Kendala lain, katanya, khususnya di daerah pesisir pantai adalah ketika diberikan imunisasi, anak biasanya panas. Kejadian tersebut terkadang mengakibatkan ibu tidak membawa lagi anaknya untuk imunisasi lanjut.
“Padahal itu efek, jika anak panas berarti vaksin yang diberikan bagus, sedang bekerja, dan hal itu bagus untuk anak yang divaksin,” ujarnya.
Kendala melakukan imunisasi
Penanggung jawab program imunisasi, Bidang P2P (Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit) di Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire, Tri Joko menekankan pentingnya imunisasi diberikan kepada anak sejak usia 0 hingga 9 bulan. Jika sebilan bulan belum lengkap, maka akan dilanjutkan sampai umur satu tahun.
“Ini kan baik untuk anak, imunisasi adalah suatu usaha menambah kekebalan tubuh anak untuk meningkat dengan memberikan vaksin, jadi anak tidak gampang diserang penyakit,” ujarnya.
Menurut Tri Joko, jika tidak diberikan imunisasi akan berdampak kepada kekebalan tubuh anak. Misalnya, bila ada keluarga yang terpapar penyakit tertentu, seperti TBC, lalu ada bayi atau anak di dalam keluarga tersebut, maka kemungkinan besar anak itu akan diserang atau terjangkit juga.
“Jadi ini pencegahan untuk tidak terpapar atau tertular satu jenis penyakit,” katanya.
Dalam pemberian imunisasi di Kabupaten Nabire, katanya, ada sedikit kendala yang dihadapi petugas di lapangan, seperti ada beberapa masyarakat yang melakukan penolakan dengan alasan tertentu.
“Misalnya saat imunisasi MR beberapa waktu lalu, ada yang menolak terkait kehalalan vaksin, namun hal itu sudah diatasi dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah mengeluarkan fatwa bahwa vaksin tersebut halal dan bisa diberikan,” ujarnya.
Ia menambahkan, memang ada informasi ‘katanya’ haram. Hanya saja bila suatu hal yang dilakukan untuk kebaikan bisa dilakukan. Jadi untuk MR bisa diberikan kepada anak demi kebaikan.
“Memang ada beberapa masyarakat yang tolak, tapi kita beri pemahaman dan diterima,” katanya.
Sedangkan untuk OAP (Orang Asli Papua) ada juga yang menolak terkait dengan budaya.
“Itu tentunya hanya soal pemahaman, tapi syukurlah kami sudah bisa atasi dengan memberikan pemahaman,” ujarnya.
Tri Joko menjelaskan untuk wilayah Nabire ada tiga distrik yang paling rendah dalan capaian pemberian imunisasi. Ketiga distrik adalah Distrik Dipa, Distrik Menouw, dan Distrik Wapoga.
Hal itu disebabkan oleh akses transportasi yang sulit. Untuk Distrik Dipa dan Distrik Menouw persoalan transportasi yang satu-satunya hanya menggunakan helikopter. Sedangkan Distri Wapoga melalui laut. Masalah imunisasi di ketiga distrik tersebut juga berhungunan dengan pemahaman budaya.
Sementara untuk distrik lain, katanya, capaiannya bagus, seperti Distrik Wanggar dan Distrik Nabire Barat. Meski begitu ada juga puskesmas di dalam kota, seperti Puskesmas Kalibobo yang capaian imunisasinya rendah.
“Jadi selain transportasi, biasanya kalau petugas turun ke lapangan anak- anak di sana menghilang dan orang tuanya jarang mengantarkan anak mereka untuk diimunisasi,” ujarnya.
Dengan rendahnya capaian imunisasi di beberapa distrik dan puskesmas di Kabupaten Nabire, langkah yang dilakukan dinas adalah melakukan supervisi ke puskesmas-puskesmas dan memberikan pemahaman kepada petugas dan masyarakat.
“Selain itu, pemberian pelatihan dan pembekalan kepada kader posyandu, itu terus-menerus kami lakukan,” ujarnya.
Meningkat meski sedikit
Menurut Tri Joko capaian imunisasi di Nabire dalam tiga tahun terakhir sedikit meningkat. Pada 2017 capaian imunisasi Nabire 75,7 persen, 2018 turun sedikit 73,5 persen, namun 2019 naik menjadi 82,2 persen. Hanya saja capaian tersebut masih di bawah target 95 persen.
Berdasarkan laporan rutin imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Papua terbaru per 17 Februari 2020, cakupan HB0 (Hepatitis B-0 yang diberikan kepada bayi yang baru lahir) 2019 Kabupaten Nabire tertinggi ketujuh dari 29 kabupaten dan kota dengan capaian 82,4 persen.
Tertinggi adalah Kabupaten Jayapura, Keerom, Kota Jayapura, dan Mimika dengan capaian di atas 100 persen.
Cakupan BCG urutan kedelapan di Papua dengan capaian 99,8 persen. Sedangkan cakupan Polio1 dengan capaian 101,2 Nabire berada di urutan juga kedelapan.
Untuk DPT-HB-HiB Nabire berada di urutan ketujuh dengan capaian 100,1 persen. Cakupan Polio2 Nabire berada di urutan kesembilan dengan capaian 98,8 persen. DPT-HB-HiB (2) Nabire urutan kesembilan dengan capaian 93,1 persen.
Vaksin DPT adalah vaksin kombinasi yang diberikan untuk mencegah tiga penyakit, yakni difteri, pertusis (batuk rejan), dan tetanus.
Sedangkan untuk cakupan Polio 3 Nabire juga berada di urutan kesembilan dengan capaian 92,2 persen dan DPTD-HB-HiB (3) juga di urutan kesembilan dengan capaian 87,7 persen. Polio 4 urutan kesepuluh dengan capaian 90,1 persen.
Untuk cakupan IPV (Inactivated Polio Vaccine) Nabire urutan keenam dengan capaian 66,0 persen. Cakupan Campak 1 urutan kesembilan dengan capaian 86,0 persen.
Pada cakupan IDL (Imunisasi Dasar Lengkap) capaian Nabire 106,7 persen dan berada pada urutan keenam. Sedangkan DPT-HB-HiB (4) urutan keesebelas dengan capaian hanya 43,6 persen.
Cakupan total Campak 2 lebih rendah lagi hanya urutan 14 dengan 29,8 persen. Namun total cakupan Provinsi Papua memang rendah hanya 37,8 persen.
Tokoh Papua yang juga mantan anggota DPR Papua Jhon NR Gobai mengatakan capaian untuk Nabire dalam tiga tahun terakhir memang meningkat.
“Namun belum memenuhi target yang seharusnya mencapai 95 persen,” katanya ketika diminta komentarnya oleh Jubi.
Penyebabnya, kata Gobai, jika sesuatu yang baru masuk di suatu daerah maka tentu ada pro dan kontra.
“Ada yang langsung menerima dan ada yang butuh waktu untuk itu dan di mana-mana pasti mengalami hal serupa, sama halnya dengan imunisasi,” ujarnya.
Biasanya, kata Gobai, jika diberitahukan dengan baik pasti orang mengerti.
“Maka yang perlu dilakukan adalah penyuluhan dan memberikan informasi terus-menerus, butuh edukasi, sebab tingkat pengetahuan orang berbeda, mestinya petugas jangan sampai bosan memberikan pemahaman jika ingin targetnya tercapai,” katanya.
Gobai mengingatkan bahwa dokter, perawat, dan guru adalah profesi mulia yang sama dengan Yesus. Sebab Yesus adalah guru dan perawat yang siap melayani umatnya, sehingga tenaga kesehatan perlu melayani dengan hati.
“Jangan bekerja dengan sistem proyek-proyekan, artinya ada proyek baru kerja, dan tidak diam saja, kan pegawai itu dibayar gajinya oleh negara untuk kerja, maka tugas yang melekat pada seorang ASN adalah melayani masyarakat,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi