Malaria harus ditangani serius menjelang PON di Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

KEPALA Unit Pelaksana Teknis AIDS, TB, dan Malaria (ATM), Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr. Beeri Wopari mengatakan, target pemerintah untuk mengeliminasi malaria pada 2028 sebenarnya sangat terbantu dengan akan dilaksanakannya PON XX di Papua pada 2020.

Sebab untuk mengamankan para peserta dan tim pendukung selama di Papua, pemerintah akan menggenjot program eliminasi.

Namun persoalan juga muncul karena berpotensi mengancam program eliminasi malaria secara nasional. Sebab, katanya, peserta, baik atlet maupun tim pendukung datang dari daerah-daerah yang tingkat endemis malarianya sangat rendah, bahkan tidak ada.

“Mereka ini datang ke Papua yang tingkat endemis malarianya cukup tinggi, artinya di sini (Papua) akan berpotensi penularan malaria yang hebat di lingkungan atlet dan official,” katanya kepada Jubi.

Jika itu terjadi, kata Wopari, program eliminasi malaria hanya tinggal wacana. Sebab bisa jadi setelah penyelenggaraan PON penyebaran malaria akan semakin tinggi, tidak hanya di Papua, tetapi juga ke seluruh Indonesia karena dibawa pulang oleh para atlet dan tim pendukung.

Karena ancaman tersebut, tidak ada pilihan, semua sektor di Papua harus bekerja keras menurunkan kasus malaria menjelang PON XX yang hanya tinggal 1,5 tahun.

“Jika tidak ada kerja sama lintas sektoral maka program eliminasi malaria hanya tinggal wacana,” katanya.

Menurut Wopar, eliminasi malaria harus dilakukan bersama-sama sehingga daerah Papua, terutama di lokasi penyelenggaraan PON XX benar-benar aman untuk tamu PON dari seluruh Indonesia.

Ia juga mengharapkan partisipasi masyarakat Papua menjaga lingkungannya tetap bersih. Selain itu segera berobat ke rumah sakit jika terkena malaria.

Wopar tidak menampik malaria masih menjadi momok di Papua, terlebih ketika menjadi tuan rumah kegiatan besar seperti PON. Karena itulah Pemprov Papua membangun “Malaria Centre” yang fungsinya sebagai kontrol koordinasi dan bukan implementasi.

“Apa yang dikoordinasi? Semua lintas sektor agar bahu-membahu untuk menurunkan angka malaria tersebut, masalah malaria ada dua, yaitu masalah lingkungan dan masalah perilaku,” katanya.

Konsep awal, katanya, Malaria Centre dibentuk di 28 kabupaten dan kota. Namun setelah dilihat dari arah kebijakan nasional tentang eliminasi malaria kemudian akan dibangun sesuai dengan konteks wilayah lima adat, yaitu Mamta, Saireri, Lapago, Meepago, dan Animha.

Wopar menjelaskan bahwa sebenarnya penyakit endemis malaria sudah ada di Papua sejak ratusan tahun lalu dan hingga kini penyakit malaria masih sangat tinggi.

“Artinya masih saja masyarakat yang terjangkit penyakit tersebut baik itu bayi, anak, hingga orang tua dan yang paling mengkhawatirkan adalah penyakit malaria pada ibu hamil karena akan berdampak pada janin yang dikandung oleh ibu tersebut,” ujarnya.

Sesuai arah kebijakan Pemerintah Indonesia, pada 2030 Indonesia harus tuntas mengeliminasi malaria. Namun khusus untuk Papua, data yang dihimpun Dinas Kesehatan Papua dan Kementerian Kesehatan RI ternyata di Indonesia, Papua masih tertinggi kasus penyakir malaria.

“Tidak ada cara lain, kita harus segera atau akselerasi (percepatan) untuk menurunkan kasus malaria di Papua untuk melindungi masyarakat,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Papua, drg. Aloysius Giyai mengatakan, pencanangan eliminasi malaria yang genjot Dinkes Papua bukan karena adanya PON yang akan dilaksanakan di Papua pada 2020, namun lanjutan sejak 2009 dengan target bebas malaria pada 2030.

“Yang dikatakan ini benar bahwa jangan tunggu PON, tetapi ini membutuhkan dana yang cukup besar dan dana tersebut sudah diberikan kepada kabupaten dan kota, termasuk dana DAK pelayanan kesehatan dasar,” kata Giyai usai pelaksanaan HUT Hari Kesehatan Nasional di halaman Kantor Dinkes Papua Senin, 12 November 2018.

Pemerintah Indonesia melanjutkan program eliminasi malaria, termasuk di Provinsi Papua.

Eliminasi malaria masih terus digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Khusus untuk Provinsi Papua yang memiliki ranting tertinggi kasus malaria di Papua terus berupaya untuk melakukan penekanan terhadap penyebaran penyakit endemis tersebut.

Menteri Kesehatan RI Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) telah mencanangkan eliminasi malaria pada medio Mei 2009 silam. Kebijakan eliminasi malaria ini adalah kebijakan yang bertujuan untuk melakukan upaya pembasmian malaria secara bertahap di Indonesia, yaitu eliminasi di DKI, Bali, Barelang Binkar pada tahun 2010.

Eliminasi Jawa, NAD, Kepri pada tahun 2015

Eliminasi Sumatera, NTB, Kalimantan, Sulawesi pada tahun 2020, dan eliminasi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT pada tahun 2030.

Enam bulan sebelum pelaksaan PON, kata Giyai, pihaknya berharap sudah tidak ada lagi bibit atau virus yang menyebabkan malaria maupun penyakit tropis lainnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan Annual Parasite Incidence (API) atau jumlah penderita malaria dengan konfirmasi laboratorium positif terhadap populasi di wilayah tertentu dan waktu tertentu per 1.000 penduduk di Papua, masih tinggi yaitu 30 per 1.000 penduduk.

Padahal seharusnya dibawah angka 5 per 1.000 penduduk. Untuk itu, pihaknya berupaya sebelum pelaksanaan PON, API di Papua minimal di bawah angka 5 per 1.000 penduduk.

“Ada enam klaster PON dan empat kabupaten penyangga sudah saya tekankan untuk zero atau minilam API-nya 1, ini juga butuh kerja keras lintas sektor,” ujar Giyai. (*)

Related posts

Leave a Reply